Brilio.net - Mantan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menjalani pemeriksaan di Bareskrim Polri sehubungan dengan kasus judi online. Pemeriksaan ini berfokus pada dugaan keterlibatan sejumlah pegawai Kementerian Kominfo dalam aktivitas ilegal tersebut. Selama sekitar enam jam pemeriksaan berlangsung, Budi Arie mengonfirmasi bahwa dirinya dimintai keterangan terkait penyelidikan kasus tersebut.
Kasus ini mencuat saat Budi Arie menjabat sebagai Menkominfo pada periode 2023-2024. Meski demikian, ia tidak memberikan penjelasan rinci mengenai keterlibatan pihak-pihak tertentu. Direktur Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Ade Safri Simanjuntak, menyebut pemeriksaan dilakukan pada Kamis siang, 19 Desember 2024. Selain soal judi online, Budi Arie juga diperiksa atas dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi.
BACA JUGA :
Harvey Moeis bacakan pleidoi, sebut hak anak untuk punya ayah dirampas
Sayangnya, Ade Safri tak menyebutkan atas kasus korupsi apa. Meski begitu, ia menegaskan pemeriksaan yang dimaksud hanya sebagai saksi. Menilik kasus tersebut, tentu jadi pertanyaan sejumlah pihak terkait aturan hukum apabila pejabat negara melakukan tindak pidana korupsi. Lantas apa saja aturan hukuman yang berlaku di Indonesia terkait tindak pidana korupsi?
Yuk simak ulasan lengkap yang brilio.net lansir dari berbagai sumber, Jumat (20/12)
- Hukuman menteri terlibat korupsi
BACA JUGA :
Yasonna Laoly diperiksa selama 7 jam terkait kasus Harun Masiku, ini yang ditanyakan KPK
foto: freepik.com/freepik
Tindak pidana korupsi di Indonesia diatur secara tegas dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Pejabat negara, termasuk menteri maupun pegawai kementerian, yang terbukti melakukan korupsi dapat dijatuhi hukuman berat.
Korupsi didefinisikan sebagai tindakan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dengan berbagai bentuk, seperti penyalahgunaan wewenang, menerima suap, atau gratifikasi.
Hukuman pidana bagi pejabat yang terlibat korupsi mencakup pidana penjara paling singkat 4 tahun lalu paling lama 20 tahun, bahkan seumur hidup. Denda juga menjadi komponen penting dalam hukuman, dengan jumlah minimal Rp200 juta hingga maksimal Rp1 miliar. Ketentuan ini bertujuan memberikan efek jera, terutama bagi pejabat yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat tetapi malah menyalahgunakan kekuasaannya.
Selain hukuman utama berupa penjara dan denda, pejabat yang terlibat korupsi juga bisa kehilangan hak politiknya. Hak untuk dipilih maupun memilih dalam pemilu dapat dicabut, biasanya selama 5 tahun setelah menjalani hukuman pokok.
Pencabutan ini dianggap penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap pemerintahan. Selain itu, pengadilan dapat memerintahkan penyitaan aset yang diperoleh dari hasil korupsi sebagai langkah untuk memulihkan kerugian negara.
- Mekanisme penyelidikan dan penindakan kasus korupsi
foto: freepik.com/freepik
Kasus korupsi yang melibatkan pejabat negara biasanya ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kepolisian, atau Kejaksaan. Penyelidikan dimulai dengan pengumpulan bukti dan pemeriksaan saksi-saksi. Apabila ditemukan cukup bukti, status tersangka dapat diberikan kepada pejabat yang diduga melakukan tindak pidana tersebut.
Proses hukum akan berlanjut dengan tahap penuntutan di pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor). Pengadilan Tipikor yakni lembaga khusus yang bertugas menangani perkara korupsi. Di sini, tersangka akan menjalani sidang untuk menentukan apakah mereka bersalah atau tidak. Jika terbukti bersalah, hakim akan menjatuhkan hukuman sesuai dengan tingkat kejahatan yang dilakukan.
Di luar hukuman formal, pejabat negara yang terlibat korupsi juga menghadapi sanksi sosial. Masyarakat sering kali kehilangan kepercayaan terhadap individu maupun lembaga yang terlibat. Untuk itu, selain penegakan hukum, penting juga ada langkah pencegahan melalui transparansi serta akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan negara.
- Gratifikasi dan penyalahgunaan wewenang sebagai bentuk korupsi
foto: freepik.com/jcomp
Gratifikasi merupakan salah satu bentuk korupsi yang sering kali menjerat pejabat negara. Berdasarkan hukum, gratifikasi didefinisikan sebagai pemberian dalam bentuk uang, barang, diskon, tiket perjalanan, hingga fasilitas lain yang diterima oleh pejabat negara terkait jabatannya. Apabila tidak dilaporkan dalam waktu 30 hari kerja, gratifikasi dianggap sebagai suap sekaligus dapat diproses hukum.
Penyalahgunaan wewenang juga termasuk dalam tindak pidana korupsi. Ketika pejabat menggunakan kekuasaannya untuk mengambil keputusan yang menguntungkan dirinya atau pihak lain, namun merugikan negara, hal ini masuk dalam kategori korupsi. Pejabat yang terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang dapat dijerat dengan hukuman penjara hingga denda sesuai dengan tingkat kerugian yang ditimbulkan.
Penting bagi setiap pejabat untuk memahami batasan sekaligus tanggung jawab jabatannya. Dengan menjalankan tugas secara profesional maupun jujur, mereka tidak hanya menjaga integritas pribadi, tetapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pemerintahan. Transparansi serta pengawasan yang ketat menjadi kunci untuk mencegah praktik korupsi di masa mendatang.
- Dasar hukum pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia
foto: freepik.com/jcomp
Indonesia memiliki berbagai dasar hukum yang menjadi pedoman dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi. Salah satu landasan penting tersebut yakni pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang berperan sebagai ujung tombak dalam memerangi korupsi di tanah air. Lalu, bagaimana dasar hukumnya yang berlaku di Indonesia?
1. UU Nomor 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN
Undang-Undang ini diterbitkan pada masa pemerintahan Presiden BJ Habibie sebagai langkah awal reformasi pemberantasan korupsi setelah tumbangnya rezim Orde Baru. UU ini menjabarkan pengertian korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang dianggap perilaku tidak etis bagi pejabat negara.
Pembentukan Komisi Pemeriksa menjadi salah satu poin penting dalam regulasi ini. Komisi tersebut bertugas memeriksa kekayaan pejabat negara baik saat menjabat maupun setelahnya untuk mencegah praktik korupsi.
Selain itu, dibentuk juga lembaga seperti Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan Ombudsman yang berperan penting dalam menjaga transparansi serta akuntabilitas pemerintahan.
2. UU nomor 20 tahun 2001 jo UU Nomor. 31/1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi
Undang-Undang ini menjadi tonggak utama dalam memerangi korupsi di Indonesia. Regulasi ini mendefinisikan korupsi sebagai tindakan melanggar hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau yang merugikan negara.
Terdapat 13 pasal dalam UU ini yang mengklasifikasikan korupsi menjadi 30 bentuk dan tujuh kategori besar, seperti suap menyuap, penggelapan, gratifikasi, hingga kerugian keuangan negara. Pengelompokan ini membantu aparat hukum dalam mengidentifikasi serta menangani berbagai jenis kasus korupsi.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 71 tahun 2000
Peraturan ini mengatur partisipasi masyarakat dalam upaya pemberantasan korupsi. Pemerintah mendorong warga untuk memberikan informasi atau data terkait tindak pidana korupsi yang mereka ketahui.
Hak masyarakat yang berkontribusi dilindungi secara hukum, serta peran aktif tersebut dapat diberikan penghargaan sebagai bentuk apresiasi dari pemerintah. Regulasi ini mencerminkan pentingnya kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat dalam menekan angka korupsi.
4. UU Nomor 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang ini menjadi dasar pembentukan KPK pada masa Presiden Megawati Soekarnoputri. Lembaga ini dirancang untuk menangani tindak pidana korupsi secara independen dan bebas dari intervensi kekuasaan manapun.
KPK bertugas meningkatkan efektivitas pemberantasan korupsi. Pada 2019, UU ini direvisi melalui UU No. 19 Tahun 2019 yang mengatur sinergi KPK dengan aparat penegak hukum lain seperti kepolisian dan kejaksaan untuk memperkuat penanganan kasus korupsi.
5. UU Nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang
Pencucian uang sering digunakan untuk menyembunyikan hasil kejahatan korupsi. Undang-Undang ini mengatur cara pelaporan dan penanganan kasus pencucian uang serta mencurigai transaksi keuangan yang tidak wajar.
Melalui regulasi ini, pemerintah membentuk Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang bertugas mengawasi sekaligus menganalisis transaksi keuangan yang mencurigakan.
6. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2018 tentang strategi nasional pencegahan korupsi
Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) menjadi panduan utama bagi lembaga pemerintah, daerah, dan pihak terkait lainnya dalam melaksanakan aksi pencegahan korupsi. Perpres ini menggantikan aturan sebelumnya yang dianggap tidak lagi relevan.
Stranas PK menitikberatkan pada tiga fokus utama: perizinan dan tata niaga, keuangan negara, serta penegakan hukum sekaligus demokrasi birokrasi. Program ini bertujuan memperkuat pencegahan korupsi di setiap lini pemerintahan.
7. Peraturan Presiden Nomor 102/2020 tentang pelaksanaan supervisi pemberantasan tindak pidana korupsi
Perpres ini memberikan KPK kewenangan untuk mengawasi instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan dalam memberantas korupsi. Jika ditemukan indikasi penanganan kasus yang tidak sesuai, KPK berhak mengambil alih perkara tersebut. Aturan ini dirancang untuk memperkuat fungsi pengawasan serta efektivitas KPK dalam menangani tindak pidana korupsi.
8. Permenristekdikti Nomor 33 tahun 2019 tentang pendidikan anti korupsi di perguruan tinggi
Selain penindakan, pemberantasan korupsi juga dilakukan melalui pendidikan. Permenristekdikti ini mewajibkan perguruan tinggi menyelenggarakan pendidikan antikorupsi dalam bentuk mata kuliah atau kegiatan mahasiswa lainnya.
Tujuannya adalah membangun kesadaran generasi muda terhadap bahaya korupsi sejak dini. Dengan begitu, nilai-nilai integritas sekaligus transparansi dapat ditanamkan secara mendalam.
Berbagai dasar hukum ini menunjukkan komitmen Indonesia dalam memberantas korupsi melalui pendekatan hukum, edukasi, hingga pemberdayaan masyarakat. Upaya ini diharapkan menciptakan tata kelola pemerintahan yang lebih baik di masa depan.