Brilio.net - Suasana di kaki Bukit Turgo tampak sangat sejuk pada Senin terakhir bulan Januari 2024. Sinar matahari yang menembus sela-sela pepohonan terasa tidak terlalu terik. Namun di antara pepohonan, sinar matahari ini juga menyorot sebuah rumah sederhana nan asri pinggir hutan di Dusun Turgo, Kelurahan Purwobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Rumah asri tersebut milik Musimin (58), salah satu warga asli Dusun Turgo. Berbeda dari rumah pada umumnya, rumah Musimin ini berbatasan langsung dengan hutan Gunung Merapi. Uniknya lagi, rumah tersebut dilengkapi dua green house (rumah kaca) di halaman depan dan belakangnya. Sedangkan di sekitar green house dan rumah utama miliknya, terdapat banyak sekali pohon besar dan tanaman buah, seperti markisa, pepaya, hingga pohon nangka.
BACA JUGA :
Cerita WNI jadi guru ngaji di Jepang ini banjir sorotan, dapat banyak murid dari bocah hingga lansia
Tak hanya ditumbuhi oleh pohon buah, ada juga tanaman hias yang sebagian besar merupakan spesies tanaman dari anggota famili Orchidaceae atau yang lebih dikenal dengan anggrek. Saat memasuki pekarangan rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari jalan beraspal, puluhan anggrek yang diletakkan di bagian luar rumah kaca ini tampak sudah menyambut para pengunjung yang datang. Lantas, menengok sedikit ke bagian timur, ada juga bibit-bibit anggrek yang di tata di sebuah papan kayu yang berada tepat di samping pintu masuk rumah Musimin.
foto: brilio.net/annatiqo
BACA JUGA :
Cerita Risa dan Gram dirikan pasar artisan campur budaya, ajak masyarakat kota hidup minim sampah
Musimin merupakan warga yang membudidayakan semua anggrek tersebut. Lebih tepatnya, pria paruh baya tersebut membudidayakan anggrek lokal Gunung Merapi, seperti spesies Vanda tricolor yang kerap disebut sebagai 'ratu'-nya anggrek di wilayah ini. Di Lereng Merapi, anggrek jenis ini termasuk tanaman endemik yang dulunya tersebar dan bisa ditemukan dengan mudah di hutan. Namun sejak erupsi Gunung Merapi pada tahun 1994 yang menyapu Desa Turgo dan Tlogo Nirmolo, anggrek Vanda tricolor di hutan juga ikut tersapu awan panas dan mulai menipis jumlahnya. Kondisi tersebut membuat anggrek jenis ini mengalami ancaman kepunahan. Melihat fenomena tersebut, hati Musimin mulai tergerak.
"Mungkin pernah baca atau dengar cerita erupsi tahun 1994 di kampung kami di Turgo, ya. Di situlah mungkin sekitar 1 kilometer dari tempat (rumah) kami ini yang dulu itu, ya (hangus), bisa dibilang flora fauna lah itu banyak sekali itu melimpah, tapi dengan peristiwa itu semuanya luluh lantah. Saya menyisihkan atau mencari sisa-sisa yang ada di tempat tetangga-tetangga kami pada saat itu," terang bapak dua anak ini saat ditemui brilio.net pada Senin (29/1) lalu.
foto: brilio.net/annatiqo
Keganasan erupsi Gunung Merapi pada 1994 silam menjadi kisah awal Musimin dengan Vanda tricolor atau anggrek lokal merapi. Sejak peristiwa yang menghanguskan banyak jenis anggrek di daerah tersebut, Musimin lantas mengambil langkah untuk mengantisipasi adanya kepunahan lokal yang lebih parah.
Setelah keluar dari pengungsian, misi pengembalian anggrek lokal Merapi ini dimulai tepat pada tahun 1996. Dia pun memulainya dengan cara mengumpulkan anggrek Vanda tricolor yang tersisa, baik dari hutan atau koleksi para tetangga untuk kemudian dibudidaya. Selain anggrek Vanda tricolor, Musimin juga mencari jenis anggrek lokal lainnya. Nah, anggrek-anggrek ini kemudian dikembangbiakkan dan diperbanyak populasinya oleh Musimin di sekitar rumahnya.
Lantas setelah tiga tahun berjuang, usaha ini kemudian dilirik oleh pihak dari Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Yogyakarta. Tepatnya pada tahun 2000, langkah Musimin dalam membudidayakan anggrek lokal Merapi ini telah diakui oleh BKSDA. Selain diberi hibahan 50 anggrek Vanda tricolor untuk dibudidaya, dalam kurun waktu 2001-2003, anggrek lokal yang sebelumnya hilang mulai dikembalikan ke habitatnya.
"Kami sudah ikut mengembalikan sekitar 150 batang (jenis anggrek). Kemudian kalau khusus Vanda tricolor sudah tidak kurang dari 500 batang. Kalau spesies (lain)nya mungkin belum begitu banyak, mungkin masih ada yang riskan untuk dikembalikan. Untuk Terrestris (anggrek tanah) itu baru sekitar 4 spesies, terus (jenis anggrek) Epifit (yang menempel pada tanaman lain) sendiri yang paling banyak itu dengan didukung berbagai komunitas maupun instansi yang sekiranya peduli. Itu dikembalikan sekitar 800 batang," jelas pria berjenggot dan berkopiah putih ini.
foto: brilio.net/annatiqo