Brilio.net - Pendidikan di Indonesia terus mengalami berbagai perubahan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas serta mengakomodasi perkembangan kemampuan siswa. Salah satu wacana terbaru yang menarik perhatian masyarakat adalah rencana pengkajian ulang terhadap sistem ranking di sekolah.
Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Prof. Abdul Mu'ti, baru-baru ini mengungkapkan bahwa pihaknya sedang mempertimbangkan untuk mengevaluasi kembali relevansi dan dampak dari penerapan sistem pemeringkatan di lingkungan pendidikan. Sistem ini sebelumnya telah dihapus pada masa Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbud Ristek) Nadiem Anwar Makarim, karena dianggap tidak efektif dalam menggambarkan potensi dan kemampuan siswa secara keseluruhan.
BACA JUGA :
Wujudkan kesejahteraan pendidik, Mendikti Saintek siap perjuangkan kenaikan gaji dosen
Dalam kesempatan tersebut, Prof. Mu'ti juga menyampaikan bahwa keputusan ini didasarkan pada evaluasi dan diskusi bersama para peneliti serta pengambil kebijakan untuk mencari alternatif yang lebih tepat dalam menilai performa siswa. Langkah ini menjadi perhatian penting karena menyangkut proses pembelajaran yang selama ini kerap terfokus pada capaian akademik dan angka-angka, tanpa memperhitungkan aspek lain dari perkembangan siswa.
Alasan penghapusan sistem ranking
foto: Instagram/@abe_mukti
BACA JUGA :
Hadiri rapat kerja perdana dengan Komisi X DPR RI, ini 6 program prioritas Mendikdasmen
Pada masa kepemimpinan Menteri Nadiem Makarim, kebijakan penghapusan sistem ranking di sekolah diambil untuk menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif. Pemeringkatan dianggap kurang tepat karena tidak menggambarkan keunikan potensi setiap individu. Tidak semua siswa memiliki kemampuan yang dapat diukur secara akademik melalui tes atau nilai semata. Ada yang lebih unggul dalam keterampilan praktis, kreativitas, atau bakat di bidang tertentu yang tidak tercermin dalam hasil akademik.
Penghapusan ranking juga diharapkan mengurangi tekanan yang dirasakan siswa selama belajar. Dalam sistem rangking, siswa sering kali merasa tertekan untuk mendapatkan peringkat yang tinggi. Hal ini dapat menciptakan persaingan yang kurang sehat di antara siswa dan bahkan bisa menyebabkan dampak psikologis negatif, seperti rendahnya kepercayaan diri dan kecemasan. Dengan menghilangkan rangking, diharapkan siswa lebih fokus pada proses belajar tanpa harus merasa terbebani oleh kompetisi untuk menjadi yang terbaik secara akademis.
foto: Instagram/@abe_mukti
Dalam rapat bersama Komisi X DPR pada Rabu (6 /11) lalu, Prof. Abdul Mu'ti mengungkapkan bahwa pemerintah sedang mempertimbangkan untuk mengevaluasi kembali sistem ranking di sekolah. Ini dilakukan untuk menilai apakah pemeringkatan masih relevan dan efektif sebagai alat evaluasi capaian belajar siswa. Meskipun sistem rangking memiliki dampak negatif, beberapa pihak masih berpendapat bahwa rangking dapat memotivasi siswa untuk berprestasi lebih baik dan memberikan acuan bagi sekolah dalam menilai pencapaian akademis secara keseluruhan.
Menurut Prof. Mu'ti, kajian ini tidak hanya akan dilakukan secara internal tetapi juga melibatkan para peneliti serta pemangku kebijakan lainnya. Dengan cara ini, keputusan yang diambil nantinya dapat lebih objektif dan sesuai dengan kebutuhan pendidikan di Indonesia saat ini. Selain ranking, Prof. Mu'ti juga menyebutkan bahwa mereka sedang mengkaji kembali perlunya mengadakan Ujian Nasional (UN) sebagai bagian dari evaluasi pendidikan.
Selain pengkajian sistem rangking, Prof. Mu'ti juga menyinggung wacana menghidupkan kembali Ujian Nasional (UN). Namun, rencana ini mendapatkan reaksi yang beragam dari berbagai pihak, salah satunya Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Menurut Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, organisasi ini secara tegas menolak wacana penerapan kembali UN sebagai alat evaluasi kelulusan siswa.
Heru mengungkapkan bahwa penerapan UN sebagai penentu kelulusan siswa sering kali membawa dampak negatif bagi siswa, khususnya dalam hal kesehatan mental. Stres yang dialami siswa saat menghadapi UN dapat mengurangi fokus pada esensi pembelajaran dan mendorong mereka untuk hanya mengejar kelulusan. Kondisi ini sering kali memicu kecurangan dalam ujian, baik yang dilakukan siswa sendiri maupun pihak sekolah, demi mencapai angka kelulusan yang tinggi.
Lebih lanjut, FSGI juga menyatakan bahwa UN tidak ideal sebagai alat seleksi dalam proses penerimaan peserta didik baru (PPDB). Penggunaan hasil UN sebagai dasar seleksi dianggap tidak mencerminkan kemampuan dan potensi siswa secara menyeluruh, mengingat bahwa hasil ujian cenderung hanya menggambarkan kemampuan siswa pada satu waktu tertentu.
Rencana pengkajian ulang sistem ranking dan UN oleh Mendikdasmen ini menunjukkan bahwa pemerintah tengah berupaya mencari solusi evaluasi pendidikan yang lebih menyeluruh dan sesuai dengan perkembangan zaman. Evaluasi ini tidak hanya sebatas angka dan nilai, tetapi juga mencakup berbagai aspek lain yang lebih luas, seperti perkembangan karakter, keterampilan sosial, dan kemampuan beradaptasi dalam lingkungan belajar.
Sistem pendidikan yang fokus pada perkembangan holistik siswa akan memberikan ruang bagi semua jenis potensi, sehingga siswa yang unggul di bidang non-akademis juga dapat diakui. Hal ini tentunya membutuhkan perubahan dalam cara pandang serta penyesuaian kurikulum dan metode evaluasi di sekolah-sekolah.
Selain itu, evaluasi pendidikan yang holistik dapat membantu guru dalam mengidentifikasi kelebihan dan kelemahan setiap siswa. Dengan pemahaman yang lebih baik tentang siswa mereka, para guru diharapkan dapat memberikan dukungan yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan masing-masing siswa.