Brilio.net - Di dunia hiburan Indonesia, nama Raffi Ahmad seolah tak pernah redup. Usai memperoleh gelar Doktor Honoris Causa (HC) dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) namanya terus mencuri perhatian. Terbaru, gelar Doktor Honoris Causa Raffi Ahmad disebut saat pelantikan Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/10).
Sebagai informasi, Raffi Ahmad ditunjuk menjadi Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni melalui Keputusan Presiden Nomor 76/M tahun 2024 tentang Pengangkatan Utusan Khusus Presiden RI tahun 2024-2029.
BACA JUGA :
Raffi Ahmad dilantik jadi utusan khusus Presiden, intip gaji dan fasilitasnya
"Dr (HC) H Raffi Farid Ahmad Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni," kata Deputi Bidang Administrasi Aparatur Kemensetneg Nanik Purwanti saat membacakan daftar nama para utusan khusus yang dilantik dikutip Liputan6.
foto: Instagram/@raffinagita1717
BACA JUGA :
Tak pernah terbayangkan Raffi Ahmad bisa dilantik di Istana Negara, Amy Qanita tulis ungkapan haru
Sebelumnya, gelar Doktor Honoris Causa milik Raffi Ahmad sempat menuai polemik. Bahkan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) tidak mengakui gelar yang dikeluarkan oleh Universal Institute of Professional Management (UIPM) itu.
Terkait gelar yang diberikan kepada Raffi ini Deputy of Legal Affairs of UIPM UN ECOSOC, Helena Pattirane mengatakan, gelar yang diberikan kepada Raffi Ahmad sesuai prosedur dan telah diakui secara sah oleh Quality Assurance Higher Education (QAHE) sebagai Lembaga Akreditasi Internasional dan juga oleh Lembaga Pendidikan dari Order of Kingdom Prussia.
Menurut Helena, UIPM adalah kampus yang melakukan kegiatan belajar mengajar 100 persen secara online atau daring. Dengan begitu, UIPM tidak memerlukan kampus fisik dan menggunakan program yang mengatur tentang pelaksanaan kuliah online. "Keberadaan UIPM dalam menjalankan pendidikan tinggi dengan format pendidikan tinggi distance education (pendidikan jarak jauh) dan menggunakan sistem pendidikan full 100 persen online learning, virtual campus atau non-real campus," katanya.
Secara hukum Internasional, Helena menambahkan, UIPM masuk ke dalam aturan Pendidikan Online Internasional yaitu Lembaga Akreditasi Internasional bernama EDEN (European Distance and E-Learning Network), bagian dari Global Education Coalition UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Headguarter of UIPM-UN ECOSOC Representative.
"Maka secara otomatis sistem pendidikannya mengikuti aturan program, bukan aturan pemerintah setempat, sebab pendidikannya tidak menggunakan bangunan kampus," ucap dia.
Helena juga menegaskan, UIPM telah diakreditasi sebagai lembaga pendidikan tinggi online 100 persen, tanpa kampus fisik, sesuai dengan standar EDEN, dengan pasar pendidikan global yang ditujukan bagi mahasiswa di seluruh dunia.
Gelar HC tetap disebut saat dilantik meski tak diakui Kemendikbud
Seolah menghiraukan keputusan yang dikeluarkan Kemendikbud, gelar Doktor Honoris Cusa Raffi Ahmad ternyata tetap disematkan dan dibacakan saat pelantikannya sebagai Utusan Khusus Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Selasa (22/10). Gelar tersebut juga ditulis di Keppres pengangkatannya.
"Dr., (H.C.) H. Raffi Farid Ahmad Utusan Khusus Presiden Bidang Pembinaan Generasi Muda dan Pekerja Seni," kata pembawa acara.
Usai pelantikan, Raffi memilih merespons santai untuk menanggapi pernyataan tersebut.
"Ya kalau itu mungkin nanti ditanyakan saja kepada pihak sebelah sana (Istana), terima kasih," ujarnya di Kompleks Istana Kepresidenan dikutip Merdeka.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Dirjen Diktiristek) Prof. Abdul Haris mengatakan, gelar tersebut tidak sah karena UIPM tidak memiliki izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.
"Tanpa izin operasional penyelenggaraan pendidikan tinggi dari pemerintah, gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi asing tersebut tidak dapat diakui," kata dia, dilansir dari Merdeka
(23/11).
Menghadapi kontroversi ini, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek Kemdikbudristek) memberikan penjelasan. Mereka mengimbau masyarakat untuk lebih berhati-hati dalam memilih perguruan tinggi, demi memastikan kualitas pendidikan dan keabsahan gelar akademik yang diterima.
Ajakan tersebut muncul setelah adanya laporan dan isu yang beredar mengenai status UIPM, yang diduga belum memiliki izin dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Untuk menyikapi laporan tersebut, Kemdikbudristek melalui Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI) Wilayah IV melakukan investigasi pada tanggal 29 dan 30 September 2024 di lokasi UIPM di Plaza Summarecon Bekasi.
Sayangnya, tim investigasi tidak menemukan aktivitas operasional dari UIPM, dan hasilnya menunjukkan bahwa UIPM belum memiliki izin operasional di Indonesia. Sehubungan dengan temuan tersebut, Ditjen Diktiristek telah berkoordinasi dengan Inspektorat Jenderal Kemdikbudristek untuk menindaklanjuti masalah ini.
"Saat ini, tim Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tengah menindaklanjuti temuan yang ada. Kami akan bertindak tegas apabila ditemukan unsur-unsur pelanggaran," tegas Dirjen Diktiristek, Abdul Haris.
Menurutnya, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, setiap perguruan tinggi swasta dan lembaga pendidikan lainnya wajib memperoleh izin dari pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia.
foto: Instagram/@raffinagita1717
Perguruan tinggi asing yang berkeinginan untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di Indonesia harus memenuhi ketentuan yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 23 Tahun 2023 mengenai Penyelenggaraan Perguruan Tinggi Lembaga Negara Lain. Tanpa adanya izin operasional dari pemerintah, gelar akademik yang diperoleh dari perguruan tinggi asing tidak akan diakui.
Abdul mengajak masyarakat untuk lebih teliti dalam mencari informasi terkait perguruan tinggi di Indonesia maupun perguruan tinggi asing yang telah memperoleh izin untuk menyelenggarakan pendidikan tinggi di tanah air. Informasi tersebut dapat diakses melalui laman PDDikti (https://pddikti.kemdikbud.go.id/).
Selain itu, bagi mereka yang ingin melanjutkan studi di luar negeri atau melakukan penyetaraan ijazah dari perguruan tinggi asing, dapat juga mengunjungi laman penyetaraan ijazah luar negeri (https://piln.kemdikbud.go.id/) untuk mengetahui data perguruan tinggi yang ijazahnya dapat disetarakan.
Abdul menjelaskan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi menyatakan individu, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang memberikan ijazah dan gelar akademik tanpa izin dari pemerintah dapat dikenakan sanksi pidana. Oleh karena itu, Abdul memperingatkan kepada masyarakat yang ingin berkontribusi dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi agar mematuhi semua peraturan yang ada demi menjaga mutu akademik dan non-akademik pendidikan tinggi.
Mengapa Gelar Honoris Causa Raffi Ahmad Menjadi Kontroversi?
Meski tak diakui oleh Kemendikbud, publik masih terus membahas dan merayakannya. Seolah ada magnet kuat yang menarik perhatian orang, baik pro maupun kontra. Gelar Honoris Causa ini diberikan oleh sebuah institusi yang mengklaim memiliki hak untuk memberikan penghargaan tersebut.
Namun, Kemendikbud dengan tegas menolak mengakui gelar ini. Di sini muncul pertanyaan, mengapa gelar ini begitu penting bagi Raffi dan pendukungnya? Apakah ini hanya sekadar label atau ada makna yang lebih dalam?
Dalam pandangan banyak orang, gelar ini seperti selembar daun yang terjatuh di musim gugur. Ada yang menganggapnya sebagai simbol prestasi, sementara yang lain hanya melihatnya sebagai hiasan untuk meraih jabatan tinggi.
Untuk lebih memahami fenomena ini Sosiolog dan Sastrawan, Okky Madasari ikut berkomenatar. Apa yang terjadi pada Raffi Ahmad ini adalah sebuah kebetulan saja. Mengingat, bahwa yang sedang dibicarakan adalah artis paling populer di Indonesia hari ini.
Penulis novel ini Kerumunan Terakhir ini juga mengamini bahwa seseorang memang tidak perlu menempuh jalur pendidikan S3 jika ingin memperoleh gelar doktor honoris causa. Apalagi harus repot menulis riset atau penelitian seperti yang dilakukan oleh mahasiswa S3 pada umumnya.
Namun, Okky memberikan penjelasan bahwa seorang doktor honoris causa sudah selayaknya memiliki sebuah kontribusi pengetahuan dan keilmuan yang bisa memperkaya pembicaraan dan diskusi dalam masyarakat.
Okky mencontohkan beberapa orang yang diberi gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara adalah orang-orang yang bisa dilihat kontribusinya untuk masyarakat.
"Kita dihadapkan sebuah realita gelar akademik seolah-olah perlu dikejar oleh orang yang tidak perlu-perlu amat," ujar Okky lewat saluran Youtubenya dikutip Brilio.net.
"Hanya di Indonesia orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia akademik tidak ingin berkarier di dunia akademik merasa bahwa gelar doktor itu harus dimiliki," lanjutnya.