false
  1. Home
  2. ยป
  3. Wow!
18 Oktober 2024 16:15

Ketika gelar doktor banyak dikejar oleh orang yang tidak perlu-perlu amat

Untuk apa pejabat hingga selebriti berlomba-lomba mengejar gelar doktor? Farika Maula

Brilio.net - Di panggung pendidikan, gelar doktor memang berkilau seperti berlian. Namun sayangnya, pesonanya sering kali menyesatkan. Bukan hanya bagi para akademisi yang ingin naik pangkat, gelar ini juga dikejar oleh individu yang tak perlu-perlu amat.

Fenomena ini memunculkan pertanyaan, mengapa status ini disemarakkan oleh mereka yang tidak menjalani proses akademis secara sepenuh hati?

BACA JUGA :
Hasto Kristiyanto akan jalani sidang Doktor di UI, begini isi disertasinya


Mulai pejabat publik hingga para selebriti, gelar doktor seolah menjadi magnet yang menarik hati. Baru-baru ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyelesaikan studi doktornya dari Universitas Indonesia (UI). Menteri sekaligus Ketua Umum Golkar ini menyelesaikan sidang terbuka promosi doktor di UI pada Rabu (16/10) lalu. Bahlil berhasil lulus dari Sekolah Kajian Stratejik dan Global Pascasarjana UI usai menamatkan disertasi yang bertajuk hilirisasi nikel di Indonesia.

foto: Instagram/@sksg_ui

BACA JUGA :
Bisa lulus doktor cuma 1,5 tahun, ini peraturan dan syarat pendidikan S3 di Universitas Indonesia

Kelulusannya bisa dibilang kilat. Bahlil Lahadalia tercatat masuk Universitas Indonesia pada Februari 2023 lalu. Artinya, dirinya hanya perlu 1 tahun 8 bulan untuk meraih gelar S3-nya.

Sebelumnya, ada Raffi Ahmad. Selebriti papan atas ini menerima gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa dari Universal Institute of Professional Management (UIPM) asal Thailand. Gelar tersebut diberikan kepada Raffi Ahmad oleh Profesor Kanoksak Likitpriwan selaku Presiden UIPM Thailand.

Raffi Ahmad mengaku, dirinya menerima gelar itu karena dianggap berkontribusi dalam industri hiburan selama 23 tahun. Raffi juga berperan mengembangkan dunia digital di bidang kreatif. Terkait pemberian gelar itu Raffi Ahmad berjanji akan terus mengembangkan dunia digital dan kreatif, serta memberikan pengaruh baik dan motivasi kepada pengikutnya dalam mengejar impian.

Sosiolog dan Sastrawan, Okky Madasari mengamini bahwa seseorang memang tidak perlu menempuh jalur pendidikan S3 jika ingin memperoleh gelar doktor honoris causa. Apalagi harus repot menulis riset atau penelitian seperti yang dilakukan oleh mahasiswa S3 pada umumnya.

Namun, Okky memberikan penjelasan bahwa seorang doktor honoris causa sudah selayaknya memiliki sebuah kontribusi pengetahuan dan keilmuan yang bisa memperkaya pembicaraan dan diskusi dalam masyarakat.

Okky mencontohkan beberapa orang yang diberi gelar doktor honoris causa dari Universitas Gadjah Mada (UGM), seperti Soekarno, Hatta, dan Ki Hajar Dewantara adalah orang-orang yang bisa dilihat kontribusinya untuk masyarakat.

"Hanya di Indonesia orang yang tidak ada sangkut pautnya dengan dunia akademik tidak ingin berkarier di dunia akademik merasa bahwa gelar doktor itu harus dimiliki," dikutip Brilio.net dari akun YouTube Okky Madasari, Jumat (18/10).

Namun, apakah gelar ini memang mencerminkan penguasaan pengetahuan yang mumpuni, atau sekadar sekat hias yang menambah keindahan wajah publik?

Kisah Raffi Ahmad yang meraih gelar doktor honoris causa malah menjadi salah satu fenomena menarik. Ketika seorang entertainer yang dikenal karena keahlian di layar kaca, bisa mendapatkan pengakuan akademis. Pertanyaan lanjutannya, apakah kontribusi di dunia hiburan dapat disamakan dengan pencapaian di ranah akademis? Atau hanya menjadi upaya untuk menjangkau langit status yang lebih tinggi, tanpa menyentuh substansi ilmu?

foto: Instagram/@raffinagita1717

Sementara itu, bagi akademisi betulan, perjalanan menuju gelar doktor adalah jalan berbatu yang penuh gronjalan. Mereka harus menempuh waktu 3 hingga 4 tahun, bahkan lebih, dalam tekanan pikiran. Proposal penelitian, pengumpulan data, analisis, hingga penulisan disertasi, semuanya menjadi ujian ketahanan dan ketekunan. Layaknya penjelajah di lautan ilmu, berlayar dengan harapan untuk menemukan pengetahuan.

Gelar doktor sebagai simbol dedikasi pengetahuan

Ketika gelar doktor dijadikan alat untuk menambah kilau status, dampak yang dirasakan juga bisa sangat mencolok. Gelar yang seharusnya menjadi simbol dedikasi dan komitmen terhadap ilmu pengetahuan justru terdegradasi menjadi sekadar perhiasan.

Promosi doktor yang diterima Bahlil Lahadalia sampai saat ini masih menjadi perdebatan di berbagai kalangan. Bahkan, usai sidang promosinya, tersebar petisi melalui platform change.org dengan judul "Tolak Komersialisasi Gelar Doktor, Pertahankan Integritas Akademik" pada 17 Oktober 2024.


foto: Istimewa

Sebelumnya, Bahlil mengatakan bahwa ia mampu menyelesaikan program doktoralnya kurang dari dua tahun. Ia mengaku prosesnya mendapatkan gelar doktor dalam waktu singkat itu cukup sulit. Namun ia memaksimalkan waktu semenjak kuliah di S1.

Alasan Bahlil bisa mendapat gelar doktor di waktu yang cepat adalah karena fokus dan rela mengalokasikan waktu di antara banyak kesibukan.

"Agak susah (membagi waktu) tapi saya harus lakukan karena sejak saya masih mahasiswa S1 saya konsisten dengan waktu sekolah. Dan saya dalam proses tidak pernah ada pemberian, dalam konteks pemberi cuma-cuma, harus perjuangan. Perjuangan salah satunya konsekuensinya adalah fokus dan memberikan waktu sekalipun sempit. Jadi saya mengerjakan," dikutip Brilio.net saat Bahlil memberikan sambutan, Rabu (16/10).

foto: YouTube/Universitas Indonesia

Pihak UI sendiri juga sudah membantah kejanggalan promosi doktor Bahlil Lahadalia. Pihak universitas menyatakan kelulusan Menteri ESDM ini sudah sesuai prosedur dan Peraturan Rektor UI Nomor 016 Tahun 2016 Tentang Penyelenggaraan Program Doktor di UI.

Dalam peraturan rektor di Pasal 6 disebutkan bahwa ada dua jenis penyelenggaraan program doktor di Universitas Indonesia. Mahasiswa bisa memilih jalur kuliah dan riset, serta jalur riset saja. Artinya, jika memilih jalur riset, mahasiswa tak dibebani dengan kuliah. Namun, pemilihan program ini ditentukan oleh program studi masing-masing. Bahlil Lahadalia dikonfirmasi sebagai mahasiswa S3 UI jalur riset alias memang dirinya tak dibebani SKS perkuliahan. Inilah yang membuatnya mampu lulus lebih cepat dibanding idealnya kuliah doktoral.

Peraturan penyelenggaraan program doktor di setiap universitas tentu berbeda-beda. Waktu kelulusan setiap mahasiswa juga berbeda satu sama lain. Jika dibandingkan dengan UGM, brilio.net mengutip dari unggahan Facebook Ketua Departemen Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Dr. Abdul Gaffar Karim terkait program doktoral di UGM. Mahasiswa kemungkinan bisa menyelesaikan studi doktor secepat-cepatnya sekitar 2 tahun, dan paling lama 5-7 tahun.

"Mahasiswa harus mematangkan proposal lewat empat rangkaian perkuliahan selama 1 semester, dilanjutkan dengan pematangan proposal bersama para promotor/ko-promotor di semester berikutnya," tulis Abdul Gaffar Karim seperti dikutip brilio.net, Jumat (18/10).

Sesuai dengan alur, jika mahasiswa terdaftar program doktor pada tahun 2024, maka ujian proposal harus terlaksana paling cepat pada Februari 2025 dan paling lambat pada Juli 2025. Ia juga menambahkan bahwa riset mahasiswa S3 umumnya ditempuh dalam 1-4 semester. Penulisan riset juga idealnya memakan waktu 1-4 semester.

"Kalau sampeyan cerdas seperti Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah, maka sampeyan bisa lulus doktor ilmu politik dalam dua tahun, asal sudah ada publikasi internasional," tulisnya.

"Tapi kalau sampeyan cerdas rata-rata, biasanya sampeyan akan lulus di tahun keempat. Kalau sampeyan cerdas tapi sibuk, ya 5-7 tahun baru lulus," tambahnya.

Refleksi makna gelar doktor di dunia pendidikan

Peraihan gelar doktor Bahlil Lahadalia ini menciptakan ketidakpuasan di kalangan akademisi. Mereka yang berjuang keras, mencurahkan jiwa dan raga demi pencapaian akademis, merasa terpinggirkan.

Apalagi publikasi dan penelitian yang dilakukannya diduga terbit di jurnal predator. Kabar ini pastinya juga menimbulkan kekecewaan banyak orang khususnya akademisi.

Saat melihat orang-orang yang tidak melalui proses yang sama, memperoleh gelar yang mereka impikan, rasa keadilan pun mulai pudar. Seakan gelar doktor hanya menjadi payung bagi mereka yang telah mencapai puncak, tanpa harus mengarungi badai yang sama.

"Jadi sudah menjadi hal wajar di Indonesia seorang pejabat, bupati gelarnya harus ada S3-nya sebagaimana orang Islam ada haji dan hajjahnya. Jadi gelar S3 menjadi sebuah tempelan status sosial dan sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari akar feodalisme di Indonesia. Seseorang merasa memiliki kualitas, merasa layak mendapat penghormatan jika mendapat gelar," ungkap Okky Madasari dalam YouTube-nya seperti dikutip Brilio.net, Jumat (18/10).

Perlu ada refleksi mendalam dari dunia pendidikan. Gelar doktor yang seharusnya menjadi alat untuk memajukan ilmu pengetahuan, kini kerap kali hanya berfungsi sebagai alat legitimasi. Bagaimana mungkin pengetahuan yang dibangun di atas dasar ambisi semata dapat membawa perubahan yang berarti?

Saatnya bagi masyarakat untuk mempertanyakan nilai dan makna di balik gelar doktor. Apakah gelar ini layak menjadi lambang kehormatan, jika tidak disertai dengan pengabdian? Penting bagi institusi pendidikan untuk lebih selektif dalam memberikan gelar. Proses penilaian yang lebih ketat, serta pengakuan terhadap kontribusi nyata di bidang akademis, harus menjadi prioritas.

"Jadi di sini doktor hanya menjadi sebuah tempelan gelar bukan sebagai sebuah simbol atau wujud seseorang telah melakukan riset, penelitian yang bisa dipertanggung jawabkan," tambah Okky seperti dikutip Brilio.net (18/10).

Melalui langkah ini integritas pendidikan tinggi dapat terjaga. Masyarakat akan kembali menghargai gelar doktor sebagai simbol dedikasi dan pengetahuan, bukan sekadar aksesori yang memperindah penampilan.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags