Brilio.net - Perjalanan hidup seseorang tak ada yang pernah tahu. Roda itu terus berputar. Kadang di bawah, kadang di atas. Meskipun begitu, sebagai manusia tetaplah harus bersyukur apa pun yang terjadi. Selain bersyukur, manusia juga dituntut untuk bisa berusaha.
Usaha untuk bertahan hidup berhasil dibuktikan oleh Dinda Eka Wati. Bocah 10 tahun itu harus merasakan getirnya kehidupan. Sebab ia adalah anak korban broken home.
Broken home bukanlah keinginan dari semua orang, tapi mau tidak mau Dinda harus menerima pahitnya beban perceraian orangtuanya itu. Siswa SDN 1 Kentangan itu harus berjualan gorengan usai sekolah. Semua dilakukan demi bisa melanjutkan hidup dan mewujudkan cita-citanya sebagai seorang dokter.
Dilansir brilio.net dari liputan6 pada Rabu (14/8). Di kediamannya di Dusun Tales, Desa Kentangan, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Magetan, Jawa Timur, Dinda tengah sibuk mempersiapkan gorengan untuk dijajakan. Letak rumah Dinda berada paling ujung berdekatan dengan sungai. Di sekitar rumah berdinding kayu itu tampak sepeda butut yang biasa digunakan Dinda berjualan.
"Saya sehari-hari berjualan gorengan setelah sekolah. Pulang sekolah jam 12.00. Terus bantu nenek di dapur menyiapkan dagangan menggoreng tahu isi, bakwan, pisang goring dan masih banyak lagi, kata Dinda.
BACA JUGA :
Kisah 3 polisi kerja sampingan tambah penghasilan, ada jadi pemulung
foto: liputan6/@Dian Kurniawan
Setelah dirasa cukup membantu neneknya, Dinda terlihat bergegas mengambil wadah untuk dagangannya. Dirinya pun kemudian menuju lemari untuk mengambil baju dan jilbab. Tak lama, anak tunggal itu sudah siap mengayuh sepedanya untuk berjualan.
Dengan sepeda bututnya itu, Dinda menelusuri jalan-jalan. Terkadang Dinda juga masuk ke perumahan. Rutenya pun cukup jauh, Dinda kadang mengayuh sepedanya hingga tengah kota atau sekitar 5 km jika jajannya tidak kunjung habis.
"Gorengan-gorengan. Ayo dibeli gorengannya," teriak Dinda tanpa canggung.
Jika lelah, Dinda pun berhenti mencari tempat teduh. Lalu mengambil minum yang telah dibawanya dari rumah.
Dinda bercerita, berjualan gorengan sudah dilakukannya setahun belakangan. Dia mengaku, itu dilakukan karena keinginannya sendiri, tidak ada paksaan dari siapa pun.
Bapaknya lari dari tanggung jawab, tidak memberikan uang sepeser pun untuk kebutuhan Dinda. "Bapak dan ibu sudah pisah lama. Saya tinggal bersama nenek," katanya pelan.
Dinda tidak ingat lagi sejak kapan orangtuanya berpisah. Yang dia ingat dirinya dari kecil ikut dengan neneknya sampai saat ini.
Sehingga semua kehidupannya semua ditanggung neneknya. Uang sekolah juga terkadang ditanggung sang ibu. "Kasihan nenek cari uang terus. Saya pengen membantu nenek. Makanya saya jualan gorengan," katanya.
BACA JUGA :
Kisah Mbah Atmo, nenek 82 tahun perajin mainan tradisional
foto: liputan6/@Dian Kurniawan
Dinda mengaku, dirinya kerap bertemu bapak kandungnya saat menjajan gorengan di Pasar Magetan. Namun Dinda memilih tidak menyapa. Pun dengan si bapak, juga tidak menyapa saat melihat dirinya.
"Ya kalau ketemu sih ketemu saja. Tetapi cuma saling lihat saja. Setelahnya ya tidak menyapa," katanya.
Hasil berjualan gorengan, kata Dinda, bisa membiayai sekolah dan kehidupan sehari-harinya bersama nenek. Dia mengaku setiap harinya mengumpulkan uang Rp80 ribu sampai Rp100 ribu.
"Kalau ramai ya terjual semua bisa mencapai Rp100 ribu. Karena gorengan yang saya bawa ada 100 jumlahnya. Jualnya kan Rp 1 ribu. Jika habis ya dapat Rp 100 ribu," tambahnya. Uang sebanyak itu, lanjut dia, hasil berjualan mulai pukul 13.00 sampai 17.00.
Menurutnya, jika jualannya habis langsung kembali ke rumahnya. "Tapi jika belum habis ya dihabiskan dulu. Kalau jam 5 sore sudah tidak ada yang beli saya baru pulang," katanya.
Dinda mempunyai alasan sendiri harus sudah kembali pada pukul 17.00. Dia berpedoman, walaupun berjualan gorengan, harus tetap meluangkan waktu belajar. Dia mengatakan, biasanya meluangkan waktu belajar setelah maghrib.
"Ya harus tetap belajar. Habis jualan, mandi dan lanjut belajar. Mengerjakan pekerjaan rumah yang diberikan guru saya. Terus belajar buat besok harinya," tambahnya.
Jadi tak heran, walaupun berjalan gorengan, Dinda selalu masuk 3 besar. Sayang, untuk penilaian terakhir kelas 4 semester Ganjil ini Dinda belum mengetahuinya. Pasalnya, ada yang belum dibayarkan oleh Dinda.
foto: liputan6/@Dian Kurniawan
"Ibu belum membayar apa gitu. Makanya raport saya masih ditahan. Tapi ndak papa. Saya tetap belajar," katanya.
Dinda ingin mewujudkan cita-citanya menjadi dokter. "Pengen jadi dokter. Ya harus belaajr. Dokter kan pinter karena belajar. Pengen menyembuhkan orang-orang, saya," harapnya.
Sang ibu, Endah Mulyahati mengatakan tidak bisa berbuat banyak melihat Dinda berjualan. Menurutnya, anak semata wayangnya itu tetap ingin berjualan walaupun dilarang. "Padahal sudah saya larang. Tapi tidak mau," jelasnya.
Termasuk perihal tempat tinggal, kata dia, Dinda memilih tetap tinggal bersama ibu nya. Padahal dirinya sudah sering meminta Dinda untuk tinggal bersama dirinya.
"Saya suruh tinggal bersama saya. Tetapi tidak mau. Anaknya pengen bersama neneknya. Mungkin karena sejak kecil sudah sama neneknya," ujar Endah.
Di sisi lain, simpati terhadap Dinda mulai bergulir dari berbagai pihak. Termasuk dari instasi Polres Magetan. Kapolres Magetanm AKBP Muhammad Rifai menyerahkan bantuan berupa tas sejikah, sepatu sekolah, peralatan tulis dan buku kepada Dinda. Selain itu, juga ada pemberian sepeda untuk Dinda.
"Ya kami memberikan kebutuhan untuk sekolahnya. Semoga bermanfaat tidak bisa digunakan Dinda untuk sekolah," katanya.