Menulis buat bertahan hidup.
Di malam temaram itu, para anggota Komunitas Kutub melingkar mendiskusikan perihal pelbagai mazhab seni. Ada enam anggota dan satu senior yang jadi peserta diskusi malam itu.
BACA JUGA :
Belajar mengaji Alquran dengan bahasa isyarat bersama Komunitas Muslim Tuli Yogyakarta
Sebelum diskusi dimulai, para peserta dengan khidmat membaca puisi bergantian. Ada yang membaca Sutardji Calzoum Bachri, Chairil Anwar, hingga Acep Zamzam Noor.
Setelah pembacaan puisi, diskusi pun berlangsung. Meskipun pesertanya terbilang sedikit, diskusi berlangsung cukup berat dan alot. Ada perdebatan-perdebatan kecil antara pemantik, Aldi Hidayat yang juga merupakan ketua Komunitas Kutub, dengan peserta diskusi lainnya.
BACA JUGA :
Kecelakaan hingga buta dan ditinggal istri, kisah sedih tukang pijat tuna netra ini bikin terenyuh
foto: Komunitas Kutub (arsip)
Seusai diskusi, obrolan seputar topik pun sedikit-sedikit masih menyelundup. Di tengah-tengah obrolan itulah brilio.net memulai kembali wawancara, termasuk ke Muhammad Ali Fakih, anggota senior yang sudah masuk Kutub sejak 2007.
Fakih pun menceritakan kenapa Komunitas Kutub tak membolehkan anggotanya menerima kiriman dari orang tua. Menurut Fakih, itu adalah salah satu pengejawantahan slogan Kutub yang dicetuskan Gus Zaenal: spiritualitas, intelektualitas, dan profesionalitas.
Maka dari itulah, para anggotanya diwajibkan untuk bisa mandiri. Alhasil, kebanyakan dari mereka pun jadi penulis lepas dan mengerjakan aktivitas-aktivitas literasi lainnya. Mulai dari jualan buku, koran, koran dan lain sebagainya. Mengerjakan naskah pesanan penerbit.
"Aku kalau nulis buku, kayaknya udah nggak kehitung berapa. Ada 100 judul mungkin," ujar penulis buku puisi Ceracau si Gila itu.
Tentu angka tersebut tak muncul tiba-tiba. Fakih juga menjalani berbagai proses seperti ditolak berkali-kali oleh koran. Dulu, kata Fakih, ia punya daftar koran yang menerima tulisan dari kontributor. Semua koran yang sudah dia daftar itu lantas dijajal satu per satu.
"Tulisan pertama itu biasanya emang pasti nggak keterima. Kita perlu 'kenalan' dulu sama redakturnya, kirim banyak tulisan," ujar Fakih. "Nanti kalau sudah banyak, redaktur nggak asing lagi sama nama kita."
Dengan kebiasaan macam itu, Fakih pun terbiasa menghasilkan banyak tulisan setiap hari.
Lantaran kebiasaan itu pula Fakih pun jadi punya penghidupan di dunia literasi. Kini ia bekerja lepas sebagai editor di berbagai penerbit. Kadang-kadang juga menerima pesanan naskah dari penerbit.
Nggak dimuat, nggak makan.
foto: brilio.net/Sidratul Muntahan
Namun, itu baru cerita manisnya. Bagi kebanyakan mahasiswa, hidup tanpa sokongan orang tua tentu berisiko. Anggota Komunitas Kutub pun sudah akrab dengan konsekuensinya, misalnya saja kelaparan.
Hal tersebut diceritakan secara gamblang oleh penyair Daruz Armedian yang dulunya pernah bergiat di Komunitas Kutub. Dilansir dari akun Facebook-nya, Daruz bercerita tentang temannya yang kelaparan dan belum makan lebih dari 24 jam. Sementara itu, ia hanya memegang uang Rp3.000.
Alhasil, temannya itu membeli nasi seharga Rp2.500 di burjo dan satu gorengan. Tiba-tiba, di perjalanan pulang, ia melihat kucing yang membawa paha ayam. Entah apa yang ada di kepalanya hari itu, ia mengagetkan kucing hingga si kucing lari dan meninggalkan paha ayam yang ia bawa.
Kejadian-kejadian macam ini kerap dan masih sering terjadi di Kutub. Kalau nggak ada tulisan yang dimuat di koran, mereka kemungkinan besar sulit makan. Itu masih satu persoalan.
Di sisi lain, sebetulnya kegiatan menulis sendiri butuh modal. Ghufron, misalnya, bercerita paling tidak ia butuh internet untuk mencari referensi tulisan. Maka dari itu, ia rutin mencari warung kopi terdekat, yang segelas kopinya hanya dibanderol Rp8.000. Itu pun bagi dia masih berat.
"Dulu Rp6.000, sekarang Rp8.000. Kalau tulisan di muat sih untung. Kalau nggak, itu yang sulit," ujar Ghufron.