Brilio.net - "Anak saya tiga, yang nomor satu (lulus) S2, yang nomor dua alumni MMTC, Jalan Magelang, Yogyakarta, yang nomor tiga tahun lalu lulus dari UNY (jurusan) Kebijakan Pendidikan, tapi sekarang sudah kerja." tutur Pak Gatot, penjual es goreng di Yogyakarta saat menceritakan kesuksesan anak-anaknya.
Tak ada yang tidak mungkin dilakukan di dunia ini jika mau berusaha, berdoa dan bekerja dengan baik. Bahkan, di tengah keterbatasan. Seperti yang dialami oleh GatotSunardi (62), bayangan akansukses mengantarkan anak-anaknya menempuh pendidikan tinggibisa jadi tak pernah terlintas di pikirannya tatkala ia sadar hanya seorang penjual arum manis dan juga es potong keliling.
BACA JUGA :
Kisah Rachel Vennya dan suami raih beasiswa S2 ini inspiratif
Pada tahun 1981, pria yang biasa disapa Pak Gatot inihanya seorang pedagang jajanan arum manis. Namun tak lama berjualan arum manis, ia memutuskan banting setir menjadi penjual es potong. Pasalnya, menurut Pak Gatot, usaha arum manis tidak bisa diinovasikan menjadi jajanan yang unik.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
BACA JUGA :
Cerita perjuangan Salma El Mutafaqqiha, sempat nggak pede
Setelah sekian lama berjualan es potong, Pak Gatot merasa ada yang kurang. Baik dari segi penjualan, keuntungan dan inovasi, hingga pada akhirnya ia mencari inspirasi. Pada saat itu, es goyang sangat populer di kalangan masyarakat. Hal inilah yang mendorong Pak Gatot untuk mencari tahu lebih jauh mengenai kelebihan es goyang.
"la saya ngutak-atik es goyang itu. Kalau es goyang itu saya produksi dengan rasa enak, terus kemudian dengan ukuran yang tepat, saya pasarkan gimana. Ketemu itu! Tapi belum ketemu cara membuatnya, dengan apa saya membuatnya, orang listrik saya saja belum punya," ujar Pak Gatot mengenai keinginan terbesarnya saat itu.
Akhirnya, Pak Gatot berniat melakukan percobaan membuat adonan es. Ia menitipkan bahan es di kulkas ke tetangga sebelah rumah mertuanya. Ia pun mencoba untuk melakukan percobaan membuat es potong yang beda.
"Saya membikin, tak cicipi wah rasanya kok rasanya belum (lezat) ya? Dua kali, wah belum, tapi mendekati enak, ketiga kali saya bikin paling enak," ungkap Pak Gatot dengan penuh semangat.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Setelah melakukan tiga kali percobaan, akhirnya Pak Gatot pun menemukan es potong ala citarasa yang khas. Pada sat itu, membuat es potong buka perkara mudah. Hal itu dikarenakan pada era 80-90an, tak ada sambungan listrik di tempat tinggalnya, hal itu memaksa Pak Gatot mencari jasa setrum listrik pembuat es batu.
Adonan mentah es potong tersebut 'diseterumkan' ke lapak es batu berjarak kurang lebih 15 kilometer dari rumahnya. Setelah es potong yang diberi nama 'Es Masa Kini' membeku, Pak Gatot menjualnya dengan mengayuh sepeda sekitar 15 menit dari lokasi penyeteruman.
"Kebetulan saya dolan-dolan (jalan-jalan) sambil jualan arum manis itu di daerah Tempel, Sleman, itu ada perusahaan es batu kecil tetapi laris, esnya nggak gede-gede, cuma ukuran batako. Saya beranikan diri, (menanyakan kepada penjual es batu) kalau bisa bikin es, saya numpang nyetrum gimana? Saya mbayarnya manut (ikut), ya sudah boleh, dicoba perkiloan, sekilo Rp 15 pada waktu tahun 1981, saat anak saya lahir," Pak Gatot bercerita.
Ia menjual es potong tersebut di depan komplek sebuah pabrik di daerah Jalan Magelang-Yogyakarta.
"Saya jualan itu paling 1,5 jam habis, karena orang membeli es satu batang panjang," cerita Pak Gatot. Inovasi es tersebut pun diminati para pekerja pabrik karena rasa yang lezat dan harga yang sesuai kantong.
"Saya kalau ke Tempel itu naik angkutan, saya bikin (es) cepat-cepat disetrumkan, 10-15 menit sudah keras (beku), terus saya jual. Jadi saya bangun jam 3 pagi bikin, jam 6 saya lari ke Tempel, nyetrum, paling setengah 7 pagi sudah matang es-nya, saya jual pakai sepeda, gerobak saya tinggal di sana (tempat setrum)," lanjut Pak Gatot.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Semakin lama, Pak Gatot semakin kewalahan dengan jumlah permintaan konsumen. Ia beralih tempat jualan yang dekat dengan rumah mertuanya. Ia berjualan di SD Kanisius Wirobrajan, Yogyakarta. Tak disangka, es potong buatannya disukai anak sekolahan.
"Pertama saya jual di SD Kanisius, laris, orang itu cuma jualan es doang kok laris, penjual-penjual lain akhirnya meminta ikut berjualan, tiap hari saya cuma menerima setoran," jelas Pak Gatot.
Selain itu, ia juga menjual es potong ketika ada acara pagelaran wayang dan hajatan pernikahan. Stok es potong Pak Gatot selalu habis. Melihat kesuksesannya, banyak orang yang melamar untuk dijadikan sebagai karyawan Pak Gatot. Mereka ingin ikut berjualan es potong karena banyak sekali peminatnya. Usaha yang ia bangun dengan susah payah untuk menghidupi keluarganya berkembang pesat.
Kala itu, ia mempunyai puluhan karyawan yang tersebar di sekitar Kota Yogyakarta. Tiap harinya, selain ia masih tetap berjualan keliling, ia juga mendapat setoran dari sejumlah karyawannya. Kehidupan ekonomi Pak Gatot menjadi terangkat dari hasil berjualan es potong.
Namun, persaingan antar penjual es tak bisa dielakkan oleh Pak Gatot. Banyak varian es bermunculan di Yogyakarta yang membuatpenjualan es potong Pak Gatot meredup. Namun, Pak Gatot tak putus asa. Ia memutar otak lagi bagaimana caranya agar usaha es-nya tak gulung tikar. Setelah beberapa waktu, ia menemukan cara untuk mempertahankn usahanya, yaitu dengan cara menciptakan inovasi produk. Bapak tiga anak itu pun membuat inovasi es goreng.
Istilah es goreng sendiri berasal dari kata 'es garing' yang kemudian dipelesetkan menjadi es goreng. Tentunya, sifat garing atau kering tersebut diambil dari cokelat yang membeku menjadi balutan es yang gurih. Bagaimana tidak, es goreng yang dijual oleh Pak Gatot ini bisa dibilang yang paling eksis hingga hari ini.
Tim brilio.net berhasil mengunjungi kediaman Pak Gatot, di Jalan Arjuna No.36, Wirobrajan, Kota Yogyakarta, Selasa (13/8). Kepada kami, Pak Gatot menuturkan bagaimana perjuangannya mempertahankan usaha dan bisa diterima masyarakat.
Hingga saat ini, Pak Gatot terbilang mampu bersaing dengan pedagang es lainnya. Menurutnya, usaha yang sempat mengalami penurunan omset kembali menunjukkan eksistensi. Eksistensi es goreng bisa dikatakan mengalahkan jajanan jenis es lain. Bukan hanya dari segi rasa yang kuat dengan paduan cokelat celup.
Salh satu yang juga menarik, Pak Gatot mempunyai cara unik dari segi pemasaran yaitu dengan menggunakan pengeras suara megaphone. Setiap berjualan, ia memutar lagu-lagu kenangan seperti halnya Koes Plus dan lain-lain dengan suara nyaring.
Berbeda dengan awal meniti karier yang mengharuskan Pak Gatot berkeliling di sekolah, hajatan maupun perkampungan. Saat ini, Pak Gatot memilih untuk berjualan di kawasan Alun-Alun Kidul Yogyakarta.
Setiap kali berjualan, Pak Gatot menjajakan es goreng dengan cara unik kepada calon pembeli dengan menggunakan microphone jenis lavaliere atau clip on. Sapaan khas yang unik dan terkadang dibumbui dengan humor, membuat para pembeli terhibur. Tak hanya mengenalkan produk baik komposisi dan rasa, Pak Gatot juga menyapa dan mengimbau pengendara motor agar disiplin terhadap lalu lintas.
Salah satu yang menurut Pak Gatt bikin bangga, ia sukses mendapatkan penghargaan dari kepolisian karena telah berperan menjadi pelopor ketertiban lalu lintas.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
"Bapak Haka Astana (pensiunan Asisten SDM Kapolri) memberikan penghargaan kepada saya, kaitannya dengan es goreng, karena saya jualan di sini sembari saya waktu Kamtimpas (Keamanan dan Ketertiban Masyarakat), di sini (Alun-alun Kidul Yogyakarta) itu kan jalannya ramai. Saya sering menyampaikan kepada pengunjung terima kasih dengan hormat atas kehadiran anda diucapkan terima kasih, saya ucapkan selamat jalan dan terima kasih atas perhatiannya para pengunjung, para pengguna roda empat, roda dua, telah memperhatikan keselamatan dari pada kecepatan, semoga selamat sampai di tempat tujuan, itu saya sampaikan seperti itu, tapi nggak tau di belakang saya itu ada Wakapolda, siapa itu orang dari Bandung waktu itu," ungkap Pak Gatot.
Selain itu, Pak Gatot juga menggunakan pakaian formal berupa kemeja dan dasi saat berjualan. Inisiatif Pak Gatot menggunakan pakaian yang tak umum adalah ingin memuliakan pelanggan.
"Supaya kita ada pengaruh, biar pembeli menghargai saya, saya menghargai pembeli," kata Pak Gatot.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Bertahun-tahun menjalani bisnis es goreng membuat Pak Gatot dikenal banyak orang. Banyak yang mencoba meniru membuat es goreng serupa, namun nasibnya tak semujur es goreng milik Pak Gatot. Seringkali ia didatangi orang untuk meminta resep khasnya, namun ia tetap konsisten untuk merahasiakan resep menu 'es tempo doeloe' itu.
Ia pun mengaku tak terlalu banyak mengambil keuntungan dari penjualan esnya. Satu potong es goreng dijual Rp 3.000 dan dua potongnya Rp 5.000. Ia bisa saja menaikkan harga, namun ia berusaha konsisten dengan harga tersebut agar terjangkau pelanggan.
Kerja Pak Gatot selama puluhan tahun pun membuahkan hasil. Keluarga Pak Gatot yang dulunya tinggal di rumah berdinding bambu disulap menjadi hunian dua lantai.
foto: Brilio.net/Faris Faizul Aziz
Pak Gatot pun mampu mengantarkan putra-putrinya ke jenjang perguruan tinggi. Bahkan, anak pertamanya lulusan S2 di salah satu kampus ternama di Yogyakarta. Kini anak pertamanya berprofesi sebagai psikolog. Ketiga anaknya bernama Novia Utami, SPs.I, M.Pd, Yoga Agung Nugroho dan Putri Susilowati, S.Pd.
"Anak saya tiga, yang nomor satu S2, yang nomor 2 alumni MMTC, Jalan Magelang, Yogyakarta, yang nomor 3 dua tahun lalu lulus dari UNY (jurusan) kebijakan pendidikan, tapi sekarang sudah kerja. Anak S2-nya (bekerja mengurusi) autis karena di Psikolog," ungkap Pak Gatot dengan bangga.
Keberhasilan Pak Gatot pun diakuinya karena konsistensi membangun usaha dari awal. Kesulitan yang pernah ia hadapi menjadi pelajaran berharga untuknya. Ia berniat suatu saat akan menurunkan usaha es gorengnya kepada generasi selanjutnya. Ia mengungkapkan bahwa dirinya sudah mengkader anak bungsunya untuk menjadi penerusnya di masa depan.