Brilio.net - Konflik antara ibu dan anak dari kalangan selebriti kini tengah jadi konsumsi publik tiap hari. Tak henti-hentinya kasus ini, hingga berujung pada laporan polisi. Awalnya seperti konflik hubungan antara ibu dan anak remaja, tapi rupanya ada duga pengaruh orang ketiga. Kasus ini pun menjadi pengingat bagi siapa saja akan kemungkinan terciptanya celah tak terduga yang sanggup mengasingkan anak dari orang tuanya.
Tak mudah menjadi orang tua, apalagi saat anaknya menginjak usia remaja. Brilio.net mengutip penelitian yang dipublikasikan dalam Journal of Child and Family Studies (2019), konflik antara orang tua dan anak cenderung meningkat pada masa remaja, terutama ketika anak mulai berusaha meraih kemandirian. Apalagi masa remaja adalah fase di mana anak mencari identitas diri, sehingga dalam perjalanannya, terkadang ia sampai menantang otoritas orang tua. Hal inilah yang sering kali menjadi akar dari konflik dalam keluarga.
BACA JUGA :
Hindari konflik keluarga, ini 7 cara memperkuat hubungan anak perempuan dan ibu
Pertanyaan klasik pun tercipta: Siapa yang harus mengalah? Apakah benar menjadi orang tua selalu dalam posisi serba salah?
Brilio.net menemui Guru Besar Psikologi Profesor Khoirudin Bashori untuk mendapatkan jawaban tentang bagaimana konflik antara ibu dan anak ini dijembatani. Sebenarnya, dalam konflik orang tua dan anak, sudah bukan lagi masalah tentang siapa yang harus mengalah. Melainkan, bagaimana permasalahan itu dikelola agar tak berlarut dan menjadi situasi tak terkendali. Jika konflik dikelola dengan baik, hal ini bisa memperkuat hubungan dan membantu anak belajar tentang kompromi serta empati.
BACA JUGA :
Bagaimana cara mengatasi kenakalan remaja? Ini 7 peran penting orang tua guna mengontrol perilaku anak
foto: freepik.com
Yang pertama sebagai orang tua harus cukup sensitif dengan persoalan, dengan hal-hal yang dirasa tidak nyaman pada anak-anak. Jangan sampai, karena tidak sensitif kita merasa baik-baik saja. Padahal, yang dirasakan oleh anak tidak sedang baik-baik saja, buka Prof. Khoiruddin pada brilio.net dalam sesi wawancara.
Bagi beliau, resolusi konflik ini bisa diawali dengan mengembangkan sensitivitas orang tua pada anaknya. Sensitivitas ini bisa tercipta melalui pola komunikasi yang terbuka. Jika orang tua tak membuka komunikasi, dikhawatirkan anak justru akan mencari validasi kepada pihak lain. Hakikatnya, hal ini hanya persoalan kepada siapa seorang anak nyaman berbicara. Apabila di rumah tak difasilitasi dengan komunikasi dan afeksi yang baik, hal ini bisa menjadi lubang besar yang dimana pengaruh lingkungan mendominasi pola pikir maupun perilaku anak.
Ya akhirnya dia merasa nyaman di sana daripada di rumah. Ini kan soal persaingan untuk mendapatkan kenyamanan. Saya selalu bilang ke teman-teman usahakan apapun yang terjadi di rumah harus lebih nyaman dibandingkan di tempat lain. Biar di tetap kembalinya ke rumah. Karena kalau di luar lebih nyaman, ya tentu dia lebih milih di luar kan, beliau menambahkan.
foto: brilio.net/istimewa
Alih-alih fokus pada siapa yang harus mengalah, lebih penting untuk membangun komunikasi yang sehat, sehingga kedua belah pihak dapat memahami perasaan masing-masing. Sebagai orang tua, sering kali muncul perasaan berada di posisi yang serba salah. Ketika bersikap tegas, anak mungkin merasa dikekang. Namun, ketika terlalu longgar, ada risiko anak justru membangkang.
Profesor Khoiruddin juga menegaskan, jika ingin mengakhiri konflik antara ibu dan anak, peran penting orang tua adalah menggali akar masalahnya. Masalah tak akan selesai jika hanya memerhatikan bagian permukaan. Ia juga menyinggung soal langkah yang bisa dilakukan oleh ibu jika menghadapi persoalan pelik dengan anaknya. Langkah ini dalam ilmu psikologi disebut pacing dan leading.
Pacing itu menyamakan langkah. Berarti orang tua, harus belajar untuk berempati kepada apa yang dirasakan oleh anak. (Dalam hal ini) orang tua yang mencoba menyelami suasana psikologi anak. Setelah dekat, anak merasa nyaman baru leading, paparnya saat ditemui di taman rumahnya yang asri.
Leading adalah proses di mana orang tua menarik anak lebih mendekat ke arahnya lalu mengarahkan ke arah yang diinginkan. Dua proses ini menjadi kunci penting dalam membesarkan mental seorang anak. Prosesnya pun harus berlangsung berurutan agar anak tak merasa terlalu dikontrol oleh orang tuanya yang mengakibatkan kebebasannya terpenjara.
foto: freepik.com
Senada dengan Profesor Khoiruddin, Psikolog Klinis Choirunisa Nirahma juga mengungkapkan komunikasi terbuka lah yang menjadi kunci dari relasi yang baik antara anak dan orang tuanya. Ia menekankan bahwa komunikasi yang tercipta antara ibu dan anak harus berlangsung dua arah. Artinya tak hanya orang tua terkesan memberi perintah, tetapi juga mencoba mengakomodir keinginan anaknya.
Kadang orang tua itu sukanya "aku maunya yang ini". Jadi yang emang sebaiknya komunikasi itu dua arah. Jadi memang harus ada, istilahnya mendengarkan maunya anak itu seperti apa. Kalau ada yang kurang pas ya diarahkan, tuturnya pada brilio.net.
Dua pembelajar psikologi ini juga sepakat bahwa sebelum menghadapi konflik dengan anak, orang tua terutama ibu juga harus mampu mengelola emosinya atau dalam ilmunya disebut sebagai manajemen amarah. Jika orang tua telah selesai dengan pergolakan dalam dirinya, maka ia mampu memahami anak dengan lebih baik.
Pada akhirnya, konflik antara ibu dan anak ini adalah sesuatu yang lumrah terjadi. Namun, dalam mengatasinya perlu berbagai strategi. Orang tua juga harus mampu memetakan akar masalah dan kemungkinan adanya pengaruh pihak lain yang memperparah konflik yang terjadi. Komunikasipun menjadi faktor kunci, agar permasalahan bisa diredam sebelum mencapai titik kulminasi.