Brilio.net - Perkembangan digital yang semakin pesat memaksa setiap orang beradaptasi. Kecepatan internet dan semakin canggihnya aplikasi berbasis digital membuat berbagai aktivitas dilakukan lewat perangkat ini. Tak terkecuali aktivitas pendidikan yang kini mulai merambah era digital.
Peserta didik seringkali mendapat bahan ajar sampai tugas lewat platform digital seperti media sosial. Kondisi ini secara tidak langsung berawal dari peristiwa pandemi 4 tahun lalu. Ketika semua orang dipaksa tak bisa bertemu tatap muka, akhirnya sistem pengajaran beralih pada inovasi digital, yakni memberi tugas pada peserta didiknya lewat media sosial.
BACA JUGA :
Gelar S.Pd dinilai tak laku, begini siasat mahasiswa jurusan pendidikan agar diterima di dunia kerja
Namun, ketika berjalan sampai sekarang, timbul pertanyaan, seberapa berkualitas tugas yang dikerjakan lewat media sosial? Apakah tugas ini cenderung menyulitkan atau justru memudahkan para mahasiswa sebagai generasi yang tentunya melek teknologi.
Brilio.net menelusuri dan mendengar cerita beberapa mahasiswa gen Z yang mengaku sering mendapat tugas lewat media sosial. Kira-kira bagaimana tanggapan mereka soal tugas yang diberikan via media sosial atau materi ajar yang dibagikan lewat platform digital?
BACA JUGA :
Jadi alat ukur penilaian siswa, kenali konsep asesmen formatif dan sumatif dalam Kurikulum Merdeka
foto: Brilio.net/Fathur Rahman
Riandi, mahasiswa Ilmu Komunikasi dari UIN Yogyakarta, mengaku tugas lewat media sosial jadi hal baru baginya ketika awal-awal masuk perkuliahan.
"Sekitar 60% ada tugas yang di-up ke Instagram," katanya saat dihubungi brilio.net, Rabu (11/9).
Riandi mengaku cara ini justru memudahkannya dalam mengerjakan tugas. Pasalnya, Riandi merupakan pengguna media sosial aktif. Dirinya bahkan lebih enjoy saat mengerjakan tugas kuliah lewat media sosial sebagai platform-nya.
"Jadi nggak ngerasa ngerjain tugas, kayak main HP aja gitu, lebih enjoy-lah ngerjainnya," lanjut Riandi.
Menurutnya, tugas kuliah bisa lebih terukur kualitasnya jika menggunakan media sosial sebagai alat unggah.
"Aku kan jurusan komunikasi, ada matkul komunikasi pemasaran. Waktu itu tugasnya membuat konten untuk memasarkan produk gitu. Jadi kualitas tugas bagus enggaknya tuh keliatan langsung dari hasil konten yang aku upload ke sosmed itu. Jadi kan bisa langsung dikira2 tuh berapa orang yg tertarik atau bahkan langsung beli (waktu itu di tiktokshop)," katanya.
Meski begitu, ia mengeluhkan effort yang cukup melelahkan ketika mengerjakan tugas. Karena tugasnya dikerjakan dalam bentuk konten media sosial, harus ada persiapan dari segi produksi yang mau tidak mau dilakukan.
"Kalau kendalanya yang kurasakan kita jadi butuh effort lebih, buat bikin konsep video, scriptnya kalo perlu, take video, belum lagi tahap editing. Kadang kerja sama sama temen komunikasinya juga perlu bener bagus apalagi waktu itu masih online jadi belum bisa ketemu. Ya walaupun yg kubilang di awal tadi ngerjainnya tugasnya jadi lebih enjoy, tapi waktu yg harus diluangkan buat ngerjain tugasnya juga butuh sedikit lebih banyak," kata Riandi pada brilio.net, Rabu (11/9).
foto: Brilio.net/Fathur Rahman
Lain lagi dengan Saddam, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Negeri Yogyakarta. Menurutnya tugas kuliah lewat media sosial gampang untuk dikerjakan, namun tak lantas mendapat nilai yang bagus. Pasalnya, tugas kuliah yang diunggah lewat media sosial terkesan lebih mementingkan bungkus ketimbang substansinya.
"Kalau dibilang gampang juga enggak, karna penilaian tugasnya juga diliat dari kualitas video atau konten yang dibuat," kata Saddam kepada brilio.net, Rabu (11/9).
Selain itu, menurut Saddam, tugas lewat media sosial cenderung merugikan mahasiswa yang tak punya keahlian membuat konten di media sosial. Ada pula permintaan teknis yang kadang membuatnya pusing.
"Jadi ya bagi yang belum terbiasa bikin hal semacam itu juga bakal kesulitan. Bahkan juga ada semacam request yang harus ada di videonya, semisal videonya harus singkat, padat, dan jelas dengan durasi satu menit. Agak pusing juga sebenarnya bikin video/konten sependek itu dengan pembahasan akademis tapi pesannya harus sampai, dan harus menarik," lanjut Saddam mengeluh.
Bagi mahasiswa Komunikasi sepertinya, Saddam melihat ini sebagai kendala. Tugas kuliah lewat media sosial membuat para mahasiswa jadi harus belajar berbagai teknis rinci tentang pembuatan konten.
"Ya karena emang sulit juga, musti belajar lagi ngulik gimana cara ngedit video, terus gimana cara ngisi dubbingnya, dan tentunya gimana isi kontennya. Tapi yang saya liat dari teman teman saya kendalanya mungkin, malu atau minder buat mengupload tugas video atau konten itu ke media sosial karena kontennya jelek, atau mereka sendiri di video itu merasa jelek. Mereka sampai sampai kayak bikin second account cuma buat mengupload konten tersebut di media sosial mereka," kata Saddam, Rabu (11/9).
Gita, mahasiswa Universitas Atma Jaya, justru mengaku kalau tugas kuliah lewat media sosial kualitasnya tergantung arahan dari dosen.
"Kualitasnya kurang, Kalau di kampusku harus didampingi oleh dosen. Jadi kalo arahannya kurang pasti kualitas tugasnya pun kurang," keluh Gita.
Sementara itu Rangga Adha, merasa tugas kuliah lewat platform digital akan jadi menyebalkan jika sang dosen tak sulit dihubungi jika ditengah pengerjaannya ada kendala.
"Jika terjadi problem di platform, harus chat ke dosennya dan nunggu balesannya lama sehingga ngurangin waktu untuk ngerjainnya," kata Rangga, mahasiswa prodi Sastra Inggris, Rabu (11/9).
Meski begitu, Rangga merasa tugas yang dikerjakan lewat media sosial atau platform digital lainnya, membuat tugas jadi lebih teratur. Menurut Rangga, para mahasiswa akan lebih teratur mengumpulkannya.
"Kalo dari sisi dosen mungkin bisa lebih bagus, karena membuat mahasiswa ngumpulinnya teratur," tandas Rangga pada brilio.net, Rabu (11/9).