1. Home
  2. ยป
  3. Wow!
29 Agustus 2023 11:45

Men Ta (Too Way) ala maestro tari Sardono W Kusumo, merayakan warisan tertua seni rajah tubuh

Tato Mentawai sebagai sebuah identitas sudah berkembang sejak sebelum Masehi, jauh sebelum Mesir Khansa Nabilah
foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

Brilio.net - Jam menunjukkan pukul 19.00 WIB, Sabtu (26/8), sekelompok penari sudah bersiap-siap tampil di pentas penutup ArtJog2023. Sorot lampu merah sudah menyala, menandakan pentas bakal dimulai. Penonton pun sengaja berkerumun untuk menikmati seni tari dari sang maestro Sardono W Kusumo bertajuk Men Ta (Too) Way.

Jangan bayangkan pentas ini digelar di dalam ruangan. Bukan Sardono, jika tidak menyuguhkan pentas seni yang beda dari yang lain. Panggung ada di bawah pohon beringin di sisi timur Jogja National Museum, Jogja.

BACA JUGA :
Indonesia dalam mimpi dan nyata ala Paundrakarna


Begitu penari masuk, sorotan langsung pada penari yang emakai busana adat Suku Mentawai. Kayu merupakan bahan dasar pakaian kabit untuk pria. Kalung manik-manik berwarna-warni menghiasi leher. Lantas pada lengan ada dedaunan yang disebut lekkeu. Pada bagian kepala, ada luat yang dipasang beberapa helai bulu ayam atau bulun gougouk.

Demikian pula dengan para gadis yang turut membawakan tarian tampil dengan memakai sobbe bernuansa kuning dan merah dengan ikat kepala. Mereka menampilkan Turuk Uliyat Manyang, yakni tarian menyerupai burung camar. Mereka menari dengan memutari panggung dengan menghentakkan kaki seraya menggerakan tangan dengan indah dan gemulai layaknya burung camar.

foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

BACA JUGA :
Unsur utama dalam tari adalah gerak, pahami unsur pendukungnya

Tarian diiringi dengan nyanyian berbahasa Mentawai. Sekadar informasi, setiap tarian Suku Mentawai menggambarkan kehidupan mereka di hutan dan dekat dengan alam. Pertunjukkan selanjutnya ditarikan oleh tetua Suku Mentawai, dukun atau Sikerei turut membawakan tarian Turuk Laggai. Hentakan kaki yang berirama dengan nyanyian serta tabuhan musik membuat suasana malam pertunjukan Man Ta (Too) Way terasa magis.

Lanskap panggung yang terletak di depan pohon beringin serta lampu sorot merah menambah kesan magis. Penampilan mereka menyihir penonton lewat hentakan kaki dan rapalan nyanyian yang lantang.

Penampilan menarik lainnya yang turut disuguhkan adalah Turuk Uliat Bilou yang dikenal sebagai tarian monyet. Turuk atau tarian ini mengisahkan tentang kawanan monyet yang menari gembira dan bernada riang. Dalam tarian ini, anak muda dan tetua suku Mentawai turut menarikan Uliat Bilou. "Uwiiii uwwwiiii uwiiwiwii," lantun mereka layaknya menirukan suara monyet.

foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

Fragmen selanjutnya dibuka dengan tarian unik yang melibatkan dua penari. Lewat tubuh lenturnya, sosok penari wanita menggantungkan tubuhnya pada penari pria.

Tak berselang lama, sejumlah penari masuk ke panggung dengan menampilkan serangkaian tarian kontemporer. Mereka ini memakai busana adat Suku Mentawai yang sudah dimodifikasi dengan busana modern.

Tarian mereka lebih random dibandingkan yang ditampilkan Suku Mentawai pada fragmen pertama. Tarian mereka terinspirasi dari Suku Mentawai; sama-sama membawakan tarian dengan menggunakan irama gebrakan kaki pada kayu panggung, tetapi tanpa iringan musik. Hanya lantunan lagu tiruan suara-suara hewan menjadi pengiring tarian mereka sehingga lebih menonjol.

Keunikan lainnya adalah penggunaan properti berupa instalasi motor, tali tambang, hingga pohon beringin. Para penari mengeksplorasi properti menjadi bagian dari tarian mereka. Bahkan mereka juga turut berinteraksi dengan penonton sebagai bagian dari eksplorasinya. Dalam pertunjukkan keduanya, para penari sama-sama menonjolkan tato tubuh sebagai ekspresi tarian mereka.

foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

Pertunjukkan yang berlangsung selama kurang lebih 1 jam 30 menit tersebut dihentikan lewat menyalanya mesin motor. Dengan menggetarkan tubuh sesuai irama mesin, hingga akhirnya Sardono mematikan motor, riuh tepuk tangan penonton pun memecah suasana magis pertunjukkan tersebut.

Men Ta (Too) Way: Merayakan Seni Rupa Tertua di Dunia merupakan bagian dari kontemplasi Sardono melihat pengetahuan masyarakat adat yang hidup menyatu dengan alam. Dalam karyanya berjudul Men Ta (Too) Way, Sardono menunjukkan pendekatan Suku Mentawai mengenai warisan budaya bukan hanya perihal personal. Melainkan refleksi atas warisan budaya, memori sosial, memori fisik, dan alam.

Suku Mentawai melihat tato sebagai bagian penting dari budaya, memiliki nilai keindahan dan simbolik bagi individu, serta bernilai sakral sebagai lambang keseimbangan alam. Tato Suku Mentawai, dari Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat sudah ada sejak 3000 tahun lalu.

Tak salah jika seni rajah tubuh Mentawai ini dianggap sebagai seni rupa tertua di dunia. Sebagai warisan budaya yang sudah berlangsung ribuan tahun, seni tato masih eksis meski banyak anak muda Mentawai mulai meninggalkan tradisi ini. Dalam pertunjukkan ini, Sardono ingin memperlihatkan bagaimana tato sudah menjadi bagian identitas Suku Mentawai meski zaman telah berubah.

Konon di Mentawai ini, 3000 tahun sebelum masehi Suku Mentawai menciptakan tato. Tadinya memang ada penelitian pertama, (ada) Turki yang menciptakan tato karena dulu dari Timur itu ketika Mongolia menjajah Eropa, kemungkinan ada banyak sekali beberapa tradisi-tradisi Timur masuk ke sana (Eropa), kata Sardono W. Kusumo saat menjadi pembicara pengantar pertunjukkan Men Ta (Too) Way pada Sabtu (26/8).

foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

Sardono tertarik dengan perkembangan tato yang hingga saat ini begitu eksis. Karya seni yang sudah diciptakan sejak 3.000 tahun tersebut justru tidak lenyap. Bahkan menjadi industri kreatif di beberapa negara.

Justru sekarang ini di masyarakat global, waktu itu berkembang sangat dahsyat, bahkan industri kreatif yang sangat menguntungkan. Di New York, di Jerman, di Barcelona, bisa kaya raya. Ke depan mungkin kita anak-anak dari Mentawai ini juga bisa mampu menggarap industri kreatif, ungkapnya.

Dalam pandangannya, setiap entitas yang berkaitan dengan teknologi justru tak jauh dengan tato. Untuk itulah, ia melibatkan instalasi berupa motor sebagai bagian dari pertunjukkan seninya.

Bahkan sekarang industri terbesar, industri sepak bola World Cup mereka semua bertato. Messi, Ronaldo, semua. Itu agak lucu juga itu. Itu ya alasan kenapa motor-motor kita pasang di sini, jelas Sardono.

foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

Sardono ingin menyampaikan bahwa identitas Suku Mentawai tak lepas dari tato. Bagi mereka, tato merupakan baju selayaknya melindungi mereka dari sengatan panas matahari maupun serangga pada tubuh mereka.

Pemikiran tato adalah baju ini kemudian menjadi pengalaman Sardono sejak 15 tahun lalu. Saat ia diserang oleh lebah karena memakai pakaian kain di dalam hutan, ia kemudian berpikir bagaimana masyarakat adat tidak diserang meski tanpa memakai baju.

Sebagai seorang seniman pengalaman tersebut menjadi pengalaman yang tumbuh, yang mengilhaminya untuk menciptakan karya Men Ta (Too) Way. Bagaimana tato sudah menjadi baju bagi Suku Mentawai yang tak asing bagi alam, berbeda dengan dirinya saat itu.

Tato adalah baju mas, don. Itu kata tokoh-tokoh tetua dari Mentawai. Tato adalah baju. Baju yang dipakai ketika hidup belum urban tetapi di dalam hutan. Tato seperti baju itu yang membantu kita mengatasi kalau ada panas menyengat tubuh kita, atau serangga-serangga, jelasnya.

Sardono W. Kusumo menggaet sejumlah penari dari berbagai daerah untuk menyajikan karyanya yang terinspirasi dari Suku Mentawai. Seperti salah satu penari bernama Mega berasal dari Lampung. Mahasiswi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jurusan Tari ini sudah berlatih selama tiga bulan untuk membawakan tarian tersebut.

Seneng banget ya, pertama, karena bisa ikut proses bareng banyak orang yang dari berbagai daerah juga, berbagai latar belakang juga terus jadi mengerti satu sama lain. Basic masing-masing juga, jadi tahu tentang Mentawai lebih lagi dengan keseniannya yang luar biasa. Jadi menurut saya pengalaman ini yang paling seru yang pernah saya dapatkan, kata Mega pada Sabtu (26/8).

Mega menjalani latihan selama tiga bulan di beberapa daerah, mulai dari Solo hingga Yogyakarta untuk menampilkan tarian ini. Selama proses berlatih, ia juga berinteraksi dengan penari Suku Mentawai.

Mega sudah memiliki tato tubuh bagian dari ekspresinya. Ia memiliki satu tato Mentawai di tubuhnya yang bermakna doa kesembuhan dan keyakinan.

Jadi, menurut aku sangat menarik karena motif-motifnya juga garis-garis titik-titik dan mereka juga bikin tato itu sesuai dengan yang mereka kerjain dalam hidup mereka. Jadi mereka, pernah melakukan apa, mereka menato tubuhnya. Sebagai identitas sebagai orang Mentawai, ungkapnya.

foto: Brilio.net/Khansa Nabilah

Mega membawakan tarian kontemporer pada babak kedua. Dalam tarian tersebut, Mega mencoba mengeksplorasi gerakan-gerakan bebas yang terinspirasi dari pola gerak kaki Suku Mentawai. Makna motor pada pertunjukkan tersebut juga memiliki arti, yakni percepatan waktu. Meski diterjang oleh zaman, tato Suku Mentawai tetap eksis.

Jadi kita terinspirasi dari pola-pola gerak kakinya orang-orang Mentawai dan kekuatan-kekuatannya. Kemudian dengan kita coba eksplorasiin dengan gerakan-gerakan yang bebas. Kenapa juga ada sepeda motor, itu sebagai simbol percepatan waktu, jelasnya.

Sardono menjelaskan bahwa untuk mempersiapkan pertunjukan bertajuk Men Ta (Too) Way: Merayakan Seni Rupa Tertua di Dunia ini butuh waktu lima bulan. Mulai dari riset ke Mentawai hingga latihan bersama penari. Untuk penari dari Mentawai, Sardono bahwa ia memiliki kriteria khusus untuk memilihnya.

Kalau yang tua-tua itu memang seperti tetua-tetua adat, juga berfungsi kalau ada upacara bisa mengobati (Sikerei), jelasnya kepada brilio.net usai pertunjukan.

Pada babak pertama pertunjukkan, Sardono ingin mengenalkan Suku Mentawai kepada publik lewat tari-tariannya yang unik. Seperti hentakan kaki dan pola irama yang menggebrak. Sehingga dari situlah, teknik Suku Mentawai itulah yang dipelajari.

Pada babak pertama itu, kita mengenalkan Mentawai apa adanya. Kemudian kesenian Mentawai kan unsur seninya banyak yang bisa kita pelajari. Misalnya cara menarinya, menggebrak itu. Nah itu teknik-teknik itu yang kita pelajari. Terus karena mereka menciptakan pola-pola irama, kemudian nyanyian-nyanyian iramanya, katanya.

Sementara itu, pada babak kedua, Sardono membebaskan penari untuk menginterpretasikan Suku Mentawai. Oleh karena itu, para penari mengeksplorasi panggung lewat penghayatan.

Tarian kedua merupakan ekspresi dari penari-penari yang sudah tingkat tinggi, sehingga mereka tekniknya bagus, irama menafsirkan musik penghayatannya bagus dan juga bisa mengembangkan menjadi pola-pola hentakan, ungkapnya.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags