Sardono W. Kusumo menggaet sejumlah penari dari berbagai daerah untuk menyajikan karyanya yang terinspirasi dari Suku Mentawai. Seperti salah satu penari bernama Mega berasal dari Lampung. Mahasiswi Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta Jurusan Tari ini sudah berlatih selama tiga bulan untuk membawakan tarian tersebut.
Seneng banget ya, pertama, karena bisa ikut proses bareng banyak orang yang dari berbagai daerah juga, berbagai latar belakang juga terus jadi mengerti satu sama lain. Basic masing-masing juga, jadi tahu tentang Mentawai lebih lagi dengan keseniannya yang luar biasa. Jadi menurut saya pengalaman ini yang paling seru yang pernah saya dapatkan, kata Mega pada Sabtu (26/8).
Mega menjalani latihan selama tiga bulan di beberapa daerah, mulai dari Solo hingga Yogyakarta untuk menampilkan tarian ini. Selama proses berlatih, ia juga berinteraksi dengan penari Suku Mentawai.
BACA JUGA :
Indonesia dalam mimpi dan nyata ala Paundrakarna
Mega sudah memiliki tato tubuh bagian dari ekspresinya. Ia memiliki satu tato Mentawai di tubuhnya yang bermakna doa kesembuhan dan keyakinan.
Jadi, menurut aku sangat menarik karena motif-motifnya juga garis-garis titik-titik dan mereka juga bikin tato itu sesuai dengan yang mereka kerjain dalam hidup mereka. Jadi mereka, pernah melakukan apa, mereka menato tubuhnya. Sebagai identitas sebagai orang Mentawai, ungkapnya.
foto: Brilio.net/Khansa Nabilah
BACA JUGA :
Unsur utama dalam tari adalah gerak, pahami unsur pendukungnya
Mega membawakan tarian kontemporer pada babak kedua. Dalam tarian tersebut, Mega mencoba mengeksplorasi gerakan-gerakan bebas yang terinspirasi dari pola gerak kaki Suku Mentawai. Makna motor pada pertunjukkan tersebut juga memiliki arti, yakni percepatan waktu. Meski diterjang oleh zaman, tato Suku Mentawai tetap eksis.
Jadi kita terinspirasi dari pola-pola gerak kakinya orang-orang Mentawai dan kekuatan-kekuatannya. Kemudian dengan kita coba eksplorasiin dengan gerakan-gerakan yang bebas. Kenapa juga ada sepeda motor, itu sebagai simbol percepatan waktu, jelasnya.
Sardono menjelaskan bahwa untuk mempersiapkan pertunjukan bertajuk Men Ta (Too) Way: Merayakan Seni Rupa Tertua di Dunia ini butuh waktu lima bulan. Mulai dari riset ke Mentawai hingga latihan bersama penari. Untuk penari dari Mentawai, Sardono bahwa ia memiliki kriteria khusus untuk memilihnya.
Kalau yang tua-tua itu memang seperti tetua-tetua adat, juga berfungsi kalau ada upacara bisa mengobati (Sikerei), jelasnya kepada brilio.net usai pertunjukan.
Pada babak pertama pertunjukkan, Sardono ingin mengenalkan Suku Mentawai kepada publik lewat tari-tariannya yang unik. Seperti hentakan kaki dan pola irama yang menggebrak. Sehingga dari situlah, teknik Suku Mentawai itulah yang dipelajari.
Pada babak pertama itu, kita mengenalkan Mentawai apa adanya. Kemudian kesenian Mentawai kan unsur seninya banyak yang bisa kita pelajari. Misalnya cara menarinya, menggebrak itu. Nah itu teknik-teknik itu yang kita pelajari. Terus karena mereka menciptakan pola-pola irama, kemudian nyanyian-nyanyian iramanya, katanya.
Sementara itu, pada babak kedua, Sardono membebaskan penari untuk menginterpretasikan Suku Mentawai. Oleh karena itu, para penari mengeksplorasi panggung lewat penghayatan.
Tarian kedua merupakan ekspresi dari penari-penari yang sudah tingkat tinggi, sehingga mereka tekniknya bagus, irama menafsirkan musik penghayatannya bagus dan juga bisa mengembangkan menjadi pola-pola hentakan, ungkapnya.