Brilio.net - Baik pelajar maupun pekerja biasanya memiliki rentetan kewajiban dengan jadwal pasti yang akan dilakukan setiap hari. Ya, biasanya seorang mahasiswa memiliki kewajiban berkuliah yang dilakukan dalam rentang waktu pagi hingga sore hari. Sementara itu, kebanyakan pekerja akan memulai kegiatan mereka pula pada jadwal yang telah ditentukan oleh perusahaan, umumnya dari jam 8 pagi hingga 5 sore.
Batas waktu aktivitas di atas sejatinya dibuat agar setiap orang dapat menyeimbangkan 1 hari waktu yang dimilikinya dengan keperluan mereka pada hal-hal lain, termasuk beristirahat. Hal ini tentunya tidak mengherankan mengingat istirahat cukup menjadi salah satu poin penting untuk mencapai gaya hidup yang sehat yang tentunya diinginkan oleh semua orang.
BACA JUGA :
Definisi kemanapun akan ku kejar, momen mahasiswi datangi dosen saat di kebun ini tuai sorotan
Biasanya, istirahat penuh setiap orang akan dilakukan di waktu malam hari dengan total 6-8 jam per harinya, jumlah yang sering dijadikan standar istirahat cukup. Namun, banyak orang, termasuk mahasiswa sekalipun, yang justru mengorbankan waktu istirahat ini demi menjaga keberlangsungan hidupnya. Mereka rela bekerja di malam hari sekalipun, bak burung hantu yang beraktivitas mencari mangsanya di malam hari.
Gaya hidup ala burung hantu ini sendiri nyatanya banyak diterapkan oleh mahasiswa di Yogyakarta. Irfan, salah satu mahasiswa STMM (dulu MMTC) menceritakan bahwa ia merangkap kerja sebagai pelajar sekaligus editor video yang umumnya dilakukan di kos tempat tinggalnya pada malam hari. Bisa dibilang, kesehariannya menjadi begitu penuh karena dirinya juga harus mencari uang pula.
BACA JUGA :
Cowok hasilkan skripsi cuma 10 halaman ini bikin orang auto ngeremehin, pas tahu alasannya kagum
foto: brilio.net/Ardho Aflyandri (Ket: Setup kerja Irfan)
"Sejak semester 7 kan mulai skripsian tuh. Beberapa waktu sebelumnya itu saya juga menjadi seorang editor video setelah mendapatkan posisinya dari laman online, freelancer gitu buat nyari pendapatan hidup kan. Tapi konsekuensinya emang harus kerja di malam hari, dikarenakan client nya dari Amerika Serikat, pas sini malam di sana siang hari, makanya harus mengerjakannya di malam hari," ujar dia.
Untuk menyeimbangkan kewajiban kampus, aktivitas keseharian, dan waktu istirahatnya, Irfan mengakui kesulitan. Tak jarang dia merasa kesehatannya menurun akibat berkurangnya waktu istirahat. Namun begitu, baginya hal ini minimal sebanding dengan pendapatan yang bisa diterimanya walau masih berkuliah.
foto: brilio.net/Ardho Aflyandri (Ket: Momen saat Irfan sedang mengedit video salah satu klien)
"Pastilah ngerasain beberapa risiko ya, soalnya kan kerja malam hari itu sama kayak begadang. Jadinya memang kesehatan kadang terganggu sih akibat kurang tidur. Tapi tetap kok diatur sebisa mungkin, ke kampus biasanya sekarang dari jam setengah 8 sampai 12-an, terus nanti istirahat dan lanjut skripsian bentar. Malamnya kerja lagi dari jam 9 kurang sampai jam 3 pagian, terus istirahat lagi sebelum ke kampus" pungkasnya panjang lebar.
Tak jauh berbeda dengan Irfan, beraktivitas penuh pagi dan malam hari ini juga telah menjadi keseharian Ropi. Mahasiswa Universitas Proklamasi 45 Yogyakarta ini bahkan telah melakoni pekerjaannya sebagai driver ojek online (ojol) dari sejak semester 2 hingga kini berada tahap final menyusun skripsi.
foto: brilio.net/Ardho Aflyandri (Ket: Salah satu momen kala Ropi sedang menjemput pesanan makanan online)
"Udah dari semester 2 sih, sampe sekarang mau selesai skripsian. Memang sudah jadi kebutuhan, soalnya hasilnya perlu untuk menghidupi diri, jadi tidak nyusahin keluarga di kampung. Alhamdulillah, walau sambil kuliah juga, bisa sampai ke tahap ini." ujar Ropi.
Melakoni kesibukan 2 posisi sebagai mahasiswa dan driver online, Ropi mengakui bahwa ia sering mengakali hal ini dengan langsung menyimpan jaket driver online di dalam tas kuliahnya. Selain membuatnya bisa langsung bekerja pasca kuliah selesai tanpa bolak-balik kos, cara ini juga membantunya untuk teringat tidak bermalas-malasan.
"Jadwal kuliah memang ada dari setengah 8 sampai sore, tapi nggak full. Nah, nanti kalo ada waktu kosong di antara jam mata kuliah, dimanfaatin maksimal buat istirahat di kos teman atau sambil nyicil skripsian. Nantinya pas sore hari, bisa langsung narik. Sering sampai jam 2 atau 3 malam lebih gitu, atau sampai capek pokoknya," tuturnya.
foto: brilio.net/Ardho Aflyandri (Ket: Momen saat Ropi sedang menunggu konfirmasi orderan di tempat makan)
Menurutnya, merangkap aktivitas dobel sebagai mahasiswa di pagi hari dan driver online di sisa waktu lain dalam sehari merupakan hal yang sulit apabila tidak didasari dengan keinginan keras. Tak jarang Ropi pun merasakan tantangan serius, terutama mengenai masalah kesehatan. Walau begitu, baginya hal ini bisa menjadi pelajaran tersendiri untuk terus bekerja keras.
"Ya sebenarnya kan emang nggak ada pilihan milih kerja malam hari jadi driver online, nyesuain waktu kuliah juga. Tapi untungnya pas malam itu emang kesempatan dapat order itu besar, walau emang kadang harus ngelawan angin dan sebagainya yang bisa bikin sakit. Akan tetapi, kerja fleksibel jadi driver ini cukup menguntungkan bagi mahasiswa kayak saya, dapat uang dan pelajaran untuk bekerja keras kedepannya juga," jelasnya.
Sedikit berbeda, Suci justru bekerja hingga malam hari akibat salah satu keinginannya untuk lepas dari penyakit yang dideritanya. Tak tanggung-tanggung, mahasiswi jurusan Psikologi semester akhir ini bekerja sebagai barista bahkan bisa sampai jam 4 pagi. Walau begitu, Ia masih bisa mengatur seluruh jadwalnya dengan baik.
"Aku itu bekerja sebagai barista di sebuah kafe dari jam 6 sore sampai jam 3, atau bahkan 4 pagi kalau ada event. Nantinya pulang di kos tidur sesaat sebelum lanjut kuliah sebentar karena memang tinggal skripsian. Nah, pas siang inilah aku manfaatkan waktu untuk istirahat, sebelum sorenya nanti skripsian sebentar sebelum lanjut kerja lagi" jelasnya panjang lebar.
foto: brilio.net/Ardho Aflyandri (Ket: Momen saat Suci bekerja sebagai barista di sebuah kafe)
Suci sendiri mengakui bahwa dirinya mengambil langkah seperti ini tidak hanya didasarkan pada keinginan mencari uang, namun juga oleh penyakit diabetes yang dialaminya serta sifat dirinya yang sulit sendirian, mendorong dirinya bekerja dengan giat. Walau diakuinya hal ini membawa dampak negatif tersendiri, Ia juga menyatakan bahwa manfaat yang diterimanya jauh lebih banyak dibandingkan apabila ia beristirahat lama-lama.
"Karena diabetes ini, aku itu emang harus banyak gerak biar bugar kan. Apalagi aku juga orangnya agak susah kalau sendirian dan nggak ada yang mau dikerjain, sehingga mengambil posisi sebagai barista tadi menjadi semacam jawaban yang pas gitulah. Memang sih kerjaannya juga nggak gampang ya, soalnya nguras energi dan emosi juga. Akan tetapi, manfaat yang kudapat untuk tubuhku juga bagus. Yang penting gimana ngatur waktunya aja," jelasnya sambil tertawa.
Berangkat dari cerita para mahasiswa di atas, bekerja keras untuk menghidupi diri dan mendapatkan yang diinginkan pastinya harus menjadi semangat yang ditanam oleh semua orang. Asalkan hal ini tetap dilandaskan pada pentingnya menyeimbangkan semua hal tersebut dengan mengatur waktu sejauh kemampuan yang dimiliki masing-masing individu.