Brilio.net - Riuh kegembiraan anak-anak terasa ketika menjejakkan kaki di bangunan sekolah Sanggar Anak Alam (SALAM), letaknya di tengah kampung Nitiprayan, Ngestiharjo, Kasihan, Bantul, DIY. Bangunan ini lebih mirip seperti sebuah rumah dengan lapangan luas untuk teman bermain anak-anak.
Bangunan dua lantai ini penuh coretan grafiti di tembok. Terpampang tulisan 'Sekolah Apa Ini' menyapa siapa pun yang akan masuk ke dalam bangunan ini. Gedung sekolah dibangun di atas lahan yang kanan kirinya merupakan perkebunan dan sawah warga. Jadi bisa dibayangkan ketika akan mendatangi sekolah ini, bakal melewati hamparan sawah dan kebun.
BACA JUGA :
Hal-hal ini hanya bisa dinikmati anak-anak di sekolah alam
Melihat desainnya saja, sekolah ini berbeda dengan sekolah mestinya. Ya, SALAM memang didesain sebagai tempat menuntut ilmu yang beda dengan lazimnya sekolah. Baju bebas, alas kaki sandal, rambut gondrong, jadi penampilan kebanyakan dari para siswa ini. Sesampainya di sekolah, yang mereka lakukan adalah bertegur sapa dengan teman-temannya, dan lanjut bermain.
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi
BACA JUGA :
Belajar bahasa Inggris di sini bayarnya pakai sampah, kok bisa?
Adalah Sri Wahyaningsih, sosok yang mendirikan sekolah 'antimainstream' ini. Wahya begitu sapaan akrabnya, bercerita jika membangun SALAM penuh dengan lika-liku. Awalnya pada 1988, Wahya dan sang suami, Toto Rahardjo membuat sebuah kelompok belajar di Desa Lawen, Kecamatan Pandanarum Banjarnegara, Jawa Tengah.
Wahya mengaku bahwa ia bersama suaminya memang memiliki kepedulian tinggi soalpendidikan di level akar rumput.Ketika mendapati di desanya terdapat permasalahan seperti anak putus sekolah dan tingginya jumlah pernikahan dini, Toto Rahardjo dan Sri Wahyaningsih berinisiatif untuk menjadi fasilitator anak-anak di desa tersebut dengan membuat kelompok belajar.
"Jadi SALAM itu awalnya tidak di Jogja, tapi saya mengawalinya di Lawen, Banjarnegara. Jadi setelah sempat mengikuti Romo Mangun (YB Mangunwijaya) mendampingi masyarakat Code (bantaran Kali Code Jogja), saya mulai membulatkan tekad pulang ke rumah mertua (Desa Lawen)," tutur Sri Wahyaningsih saat ditemui brilio.net beberapa waktu lalu.
Awal mula didirikannya SALAM
foto: brilio/Ikhlas Alfaridzi
Wahya menuturkan, ia dan sang mertua kala itu punya kesamaan berupa punya keinginan melakukan perubahan pada masyarakat sekitarnya. Keadaan desanya saat itu yang serba keterbatasan membuatnya segera berinisiatif untuk membuat kelompok belajar.
"Kebetulan bapak (mertua) pas ketemu saya kayaknya cocok, nggatuk gitu. Akhirnya semangat, okelah, pendopo saya pakai, terus tanah-tanahnya bapak juga boleh di pakai, silahkan yang penting untuk kemajuan desa ini," ucap perempuan 62 tahun itu.
Ketika SALAM didirikan, Wahya mengaku jumlah murid yang bergabung mencapai sekitar 160-an anak yang terdiri dari anak-anak yang putus sekolah, maupun yang masih sekolah di lembaga formal, serta para balita.
Setelah berjalan intens selama 6 tahun, Bu Wahya bercerita kalau SALAM di Desa Lawen ini kemudian bermetamorfosa menjadi komunitas pemuda "ANANE29". Sementara itu, sejak tahun 2000 Sanggar Anak Alam mulai didirikan di Yogyakarta, tepatnya di kampung Nitiprayan, Desa Ngestiharjo, Kasihan, Bantul.
Sistem pendidikan di SALAM
Ketika mengunjungi SALAM, pemandangan yang lazim ditemui adalah riuhnya anak-anak usia PAUD sampai SD bermain di halaman gedung sekolah. Ada yang main petak umpet, sepak bola, atau sekadar kejar-kejaran.
Sekilas, terlihat para anak-anak ini seperti hanya bermain sepanjang jam sekolah. Namun justru itulah yang memang jadi salah satu metode di SALAM. Wahya menyebut anak-anak di SALAM diberikan kebebasan untuk berekspresi agar memacu daya imajinasi, rasa penasaran, serta minat sang anak. Pun soal seragam, tak ada aturan yang meribetkan siswa untuk memakai baju yang sama di sekolah ini.
"Kami memang tidak menyeragamkan dalam artian pakaian seragam gitu ya. Karena ketika kita udah pakai seragam, itu akan mendorong kita berpikir yang berbeda itu malah nggak berani," ungkap Wahya.
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi
SALAM sendiri menerima siswa dari jenjang PAUD sampai SMA. Namun tak seperti sekolah pada umumnya, SALAM metode belajar di sekolah ini didasarkan sepenuhnya pada kebutuhan dan minat siswa.
SALAM punya sistem pendidikannya sendiri. Dengan empat pilar pendidikannya yakni pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya, SALAM berusaha memfasilitasi para peserta didik agar menjadi subyek atas dirinya sendiri dalam belajar.
"Kalau orang lain bikin sekolah berkiblat kemana, kalau kami memang berkiblat pada filosofi Ki Hajar Dewantara dan berusaha memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan dari para orang tua murid. Disini itu, anak boleh belajar melalui ketertarikan mereka. Jadi anak itu sendiri yang menjadi subjek belajar. Karena nggak ada satupun anak yang sama. Anak kembar pun beda," tuturWahya.
Selain itu, hal yang mungkin tak akan ditemukan di sekolah manapun adalah SALAM merupakan sekolah yang tak punya guru. Melainkan, semua jenjang pendidikan di sekolah ini akan didampingi oleh seorang fasilitator dengan metode ajar yang partisipatif.
foto: brilio.net/Ikhlas Alfaridzi
Hesti, salah seorang fasilitator mengaku metode belajar di SALAM sangatlah fleksibel. Selain itu, metode pembelajaran di SALAM didasari pada riset pada masing-masing anak.
"Karena ini basicnya riset, terutama saya yang ada di jenjang Taman ANAK (setara TK) itu yang ke pra-risetnya. Kebutuhan anak itu sebenarnya di usia windu pertama itu kan butuhnya memuaskan hasrat bergerak, gerak fisik, gerak pikiran. Karena rasa ingin tahunya itu kan sangat besar. Keinginan untuk bereksplorasi masih sangat besar. Nah, itulah yang kita fasilitasi memberi ruang yang merdeka untuk anak-anak," tutur Hesti kepada brilio.net, Senin (25/9).
Untuk evaluasi pembelajarannya sendiri, SALAM tidak bertumpu pada model UAS atau UN ala sekolah mainstream. Evaluasi pembelajaran di SALAM dilakukan dengan cara presentasi karya yang nanti akan diselenggarakan dalam sebuah event.
"Ya evaluasi pembelajarannya melalui presentasi mereka. Kan mereka bikin riset, nanti ada yang bikin buku, membuat video, ada yang menyelenggarakan workshop. Jadi disesuaikan dengan kemampuan anak masing-masing. Nanti kita setahun sekali tuh ada yang namanya 'Panen Pengetahuan'. Terus mereka kalau pengen ijazah ya ikut ujian. Kalo SD paket A, kalo SMP ya paket B," terang Wahya.
foto: brilio/Ikhlas Alfaridzi
Sistem pendidikan di SALAM membuat siswa tak tertekan
Menurut pengakuan, Masayu siswi SALAM kelas 11 SMA, bersekolah di tempat ini menyenangkan. Ia yang baru merasakan sekolah di SALAM selama setahun ini mengaku sistem di SALAM sangat beda dengan sekolah SMP-nya duahulu yang punya sistem menggunakan kurikulum negara.
"Alhamdulillah cocok dan mendorong banyak kemajuan. Terus, rasanya bisa lebih aktif aja sih dalam presentasi, wawancara orang, dan berorganisasi," kata Masayu.
Siswi yang sebelumnya bersekolah di sebuah MTSN di kota Yogyakarta ini mengaku di SALAM semua kegiatan belajarnya merupakan hasil kesepakatan dengan teman sekelas dan fasilitator.
"Karena prinsipnya semua orang adalah guru, aturan disini ya hasil kesepakatan. Jadi emang disini tuh nggak ada peraturan yang mutlak dari sekolah. Dan jujur aja kalo di SALAM tuh semua bisa bergaul sih. Jadi nggak cuma bergaul dengan teman sekelas doang, tapi sama kakak kelas bisa, adik kelas bisa, sama fasilitator bisa, jadi bisa serawung semua gitu lho," tutur Masayu.
Jika biasanya siswa di sekolah lain harus dipusingkan oleh PR setiap harinya, Masayu mengaku senang di SALAM tak ada PR yang harus dipusingkan. Meski begitu, dirinya tetap didorong untuk menekuni bidang pelajarannya yang ia sukai.
"Aku sendiri suka sejarah.Lebih spesifiknya sejarah Mataram. Jadi ya lebih bahagia disini sih. Nggak ada tekanan yang gimana-gimana, juga tidak terkekang oleh peraturan-peraturan ketat kayak di sekolah sebelumnya. Nah di SALAM ini saya merasa lebih merdeka aja," ungkap Masayu.