Brilio.net - Saling berbagi adalah salah satu sikap yang ditanamkan dalam ajaran agama Islam. Menolong sesama atau memberikan apresiasi kepada saudara sesama muslim, dapat memberikan kebahagiaan satu sama lain. Selain itu kamu juga bisa sekaligus meringankan beban seseorang. Sikap memberikan sesuatu ini juga dikenal dengan istilah hibah dalam ajaran Islam.
Secara umum, hibah adalah pemberian yang dilakukan oleh seseorang kepada pihak lain yang dilakukan ketika masih hidup dan pelaksanaan pembagiannya dilakukan pada waktu penghibah masih hidup pula. Dengan lebih sederhana lagi, pengertian hibah adalah hadiah. Namun secara bahasa berarti pemberian secara sukarela kepada orang lain.
BACA JUGA :
7 Ayat Alquran yang dapat menjauhkan diri dari sifat takabur
Dalam hukum Islam, terdapat ketentuan dalam pemberian hibah terhadap seseorang. Objek yang bisa dijadikan hibah bisa meliputi uang, rumah, tanah, atau barang lainnya. Dan dalam proses pemberiannya harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Nah pahami yuk seperti apa pengertian dan ketentuan hibah dalam ajaran Islam. Simak selengkapnya dalam ulasan brilio.net dari berbagai sumber pada Kamis(29/4) berikut ini.
Pengertian hibah dalam ajaran agama Islam.
BACA JUGA :
Bacaan doa masuk dan keluar rumah lengkap berserta artinya
foto: freepik.com
Jika menilik dari dasarnya, kata hibah merupakan kata berbahasa Arab yaitu, Al-Hibattu. Kata tersebut memiliki arti pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan pamrih atau imbalan dalam bentuk apa pun. Hadiah yang diberikan berupa harta secara fisik ataupun benda-benda lainnya yang tidak tergolong sebagai harta atau benda berharga.
Sedangkan dari orang yang menerima tidak memiliki kewajiban memberikan imbalan jasa atau hadiah yang diterima. Sehingga tidak ada ketetapan apa pun yang mengikat setelah harta atau barang berharga diserah terima. Hibah merupakan salah satu sikap mendekatkan diri kepada sesama umat. Seperti yang disabdakan Nabi Muhammad SAW yang berbunyi,
"Saling memberilah kalian, niscaya kalian saling mencintai" [HR. Al-Bukhri dalam al-Adbul Mufrad no. 594].
Syarat hibah dalam ajaran Islam.
foto: freepik.com
Dalam hukum Islam, terdapat beberapa syarat yang perlu dipenuhi dalam memberikan hibah. Berikut penjelasan selengkapnya.
1. Pemberi hibah.
Pemberi hibah adalah seorang ahliyyah yang sempurna akal,baligh dan rusyd. Pemberi hibah juga memiliki harta yang dihibahkan dan berkuasa penuh terhadap hartanya.
2. Penerima hibah.
Berbeda lagi dengan ketentuan untuk penerima hibah. Bagi penerima hibah, jika bukan mukalaf seperti belum akil baligh atau kurang upaya, maka hibah boleh diberikan kepada walinya atau pemegang amanah.
3. Harta yang dihibahkan.
Harta yang akan dihibahkan adalah harta yang halal, bernilai di sisi syarak, di bawah pemilikan pemberi hibah, mampu diserahkan kepada penerima hibah dan memiliki wujud ketika harta akan dihibahkan.
4. Lafaz ijab dan kabul.
Lafaz ijab dan kabul merupakan lafaz atau perbuatan yang membawa makna pemberian dan penerimaan hibah.
Pengertian dan hukum negara mengenai hibah.
foto: freepik.com
Selain dari sisi ajaran agama Islam, hibah juga memiliki ketentuan tersendiri dalam hukum negara. Dalam hal ini, hibah akan menjadi permasalahan apabila wujud pemberiannya berupa uang dengan jumlah yang banyak atau barang yang sangat bernilai. Maka dari itu, prosedur hibah dan pemberiannya perlu dilengkapi dengan bukti-bukti ketetapan hukum resmi secara perdata agar tidak digugat oleh pihak ketiga, termasuk oleh orang-orang yang termasuk ahli waris di kemudian hari.
Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) pasal 1666 dan pasal 1667 dijelaskan bahwa hibah atau pemberian kepada orang lain secara cuma-cuma tidak dapat ditarik kembali, baik berupa harta bergerak maupun harta tidak bergerak saat pemberi masih hidup.
Syarat hibah berdasarkan Undang-Undang hukum perdata.
foto: freepik.com
Beradasarkan Kitab Undang-undang Hukum Perdata syarat hibah terdiri dari.
1. Objek hibah.
Penghibahan hanya boleh dilakukan terhadap barang-barang yang sudah ada pada saat penghibahan itu terjadi. Jika hibah itu mencakup barang-barang yang belum ada, maka penghibahan dianggap tidak sah atau batal.
2. Pemberi hibah.
a. Hibah hanya dapat dilakukan di antara orang-orang yang masih hidup.
b. Penghibah tidak boleh mengakui ia tetap berkuasa untuk menggunakan hak miliknya atas barang yang dihibahkan.
c. Anak-anak di bawah umur tidak boleh menghibahkan sesuatu kecuali dalam hal yang ditetapkan pada Bab VII Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
d. Penghibahan antara suami istri selama perkawinan mereka masih berlangsung, dilarang. Tetapi ketentuan ini tidak berlaku terhadap hadiah atau pemberian berupa barang bergerak yang berwujud, yang harganya tidak mahal kalau dibandingkan dengan besarnya kekayaan penghibah.
e. Semua orang pada dasarnya boleh memberikan dan menerima hibah kecuali mereka yang oleh undang-undang dinyatakan tidak mampu untuk itu.
3. Penerima hibah.
a. Supaya dapat dikatakan sah untuk menikmati barang yang dihibahkan, orang yang diberi hibah harus ada di dunia atau sudah ada dalam kandungan ibunya pada saat penghibahan dilakukan.
b. Hibah yang diberikan kepada seorang wanita yang masih bersuami tidak dapat diterima selain menurut ketentuan-ketentuan Bab V Buku Pertama Kitab Undang-undang Hukum Perdata.
c. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih berada di bawah kekuasaan orangtua, harus diterima oleh orang yang menjalankan kekuasaan orangtua itu. Hibah kepada anak-anak di bawah umur yang masih di bawah perwalian atau kepada orang yang ada di bawah pengampuan, harus diterima oleh wali atau pengampunya yang telah diberi kuasa oleh Pengadilan Negeri.
4. Dilakukan dengan Akta Notaris atau PPAT.
Hibah yang sah di mata hukum harus dilakukan dengan pembuatan akta notaris yang naskah aslinya disimpan oleh notaris. Khusus untuk hibah tanah dan bangunan harus dilakukan dengan akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT).