Brilio.net - Ketika jam menunjukkan pukul 19.30, lampu pada lanskap panggung meredup. Panggung yang semula terang, kemudian hanya menampilkan instalasi kamar dengan kelambu transparan dan ranjang bernuansa putih yang digarap oleh Iwan Yusuf. Sekelompok pengiring musik yang dipandu Anon Suneko memasuki panggung dan menempati tempat alat musik. Tak berselang lama, sosok perempuan berambut putih memakai Changsanbaju tradisional Tionghoa priaberwarna ungu dengan perlahan memasuki panggung.
Namanya dikenal sebagai Elizabeth D. Inandiak, seorang narator dalam pertunjukkan ArtJog bertajuk Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan. Bukan sosok narator biasa, ialah penerjemah dan sastrawan berkebangsaan Prancis yang berjibaku dengan Serat Centhini, karya sastra agung dalam kesusastraan Jawa. Lewat ketelatenannya, Serat Centhini diterjemahkan ke dalam Bahasa Prancis, serta membesarkan karya tersebut lewat pertunjukkan interpretasi tari.
BACA JUGA :
Contoh proposal kegiatan pentas seni di sekolah, lengkap dengan struktur dan mudah dipahami
Saat lantunan musik dimulai, Elizabeth memulai narasinya dengan membacakan penggalan Serat Centhini yang mengisahkan Amongraga, sosok pangeran yang terpaksa kabur dari Kerajaan Giri karena diserang oleh Tentara Sultan Agung awal abad ke-17. Akibatnya, dia kehilangan kedua adiknya.
Amongraga mengembara jauh hingga menemui Pondok Wanamarta. Dia kemudian menikah dengan Tembangraras, putri dari kyai pesantren itu. Namun sebelum pernikahan dilangsungkan, Amongraga memberitahu kepada calon istrinya, jika dia telah bersenggama, nanti dia akan meninggalkannya untuk mencari kedua adiknya.
BACA JUGA :
7 Fakta “Nyanyi Sunyi Revolusi”, kisah tragis begawan sastra Indonesia
Bersamaan dengan narasi dibacakan, Didik Nini Thowok bersama Sarah Diorita mulai memasuki panggung dengan membawa piringan dupa. Sang maestro tari tradisional tersebut merias diri mengenakan sanggul tinggi serta riasan putih yang dipoleskan pada sekujur wajahnya. Dalam pertunjukkan tersebut, Didik memerankan Centhini, karakter yang menurut interpretasinya adalah sosok genderless, yang bukan perempuan maupun laki-laki. Maka, dalam menarikan interpretasi Serat Centhini bab Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan, dia memakai riasan putih. Menandakan dirinya adalah sosok yang polos dan kosong.
Didik Nini Thowok dan Sarah Diorita duduk bersimpuh di depan Elizabeth yang bersila di atas dudukan yang dimaknai sebagai ranjang. Usai menghidupkan dupa, keduanya melakukan gerakan sungkem untuk menandakan sembah pangabekti, yakni memberikan salam bakti kepada sosok berkedudukan yang lebih tinggi. Selanjutnya, dengan iringan musik yang memadukan unsur modern dan gending, serta narasi yang dituturkan Elizabeth, Didik mulai menari.
Tarian gemulainya menggambarkan sosok Centhini yang lemah lembut. Dalam narasi yang dituturkan Elizabeth, Didik membuka gulungan surat kemudian mulai melantunkan tembang mengenai Tembangraras dengan suara merdunya. Dalam narasi yang diantarkan, Tembangraras menikah dengan Amongraga, keduanya menjalani tirakat pernikahan. 40 hari menjadi perlayaran cinta Amongraga dan Tembangraras setelah menikah.
"Mulai malam ini berdua kita akan berlayar dalam tiang untuk menentramkan napas satu dalam lainnya. Agar kau jadi buritan dan aku haluan. Awalnya pelayan ini akan terasa kejam, penuh larangan, sebab ancaman garam sangat besar. Kita akan dibawa selama 40 malam mengarungi tujuh lautan silih berganti. Di balik 7 lautan itu, sering dikisahkan masih ada lagi satu lautan luas, yang airnya telah kehilangan segala warna, laut itu tidak berombak, namun jurangnya yang tidak terduga, tergali di dalamnya."
"Lebih kelam ketimbang malam orang buta. Di permukaannya tak terlihat apa-apa selain silang angin dan kesembilan penjurunya tidak terasa lagi. Di tengahnya tiada ada apa-apa, bintang maupun kilat, sirna. Hanya ada seekor burung yang terbang di ke dalaman lautan, membubung lalu menghujang hilir mudik tiada henti. Luar biasa besar burung itu, tidak tertangkap mata maupun akal. Bunyi gepak sayapnya memenuhi jagad," ujar Elizabeth, menurutkan ucapan Amongraga kepada Tembangraras.
Menyanggupi persyaratan dari sang suami, Tembangraras dan Amongraga menandai cinta mereka dengan kesabaran dan ketabahan. Dalam narasi itu, Didik Ninik Thowok yang memerankan sosok Centhini, memerankan dengan apik gambaran narasi dialog antara Amongraga dan Tembangraras. Bersama Sarah, mereka memainkan wayang boneka dengan masing-masing kepala yang ditutup dengan kain hitam.
Didik menampilkan tiap malam antara Amongraga dan Tembangraras. Tarian berubah menjadi lebih seru saat menarasikan malam ke-20 tiba. Didik Nini Thowok menampilkan tarian jathilan yang menggambarkan ramainya pesantren dalam perayaan. Dalam tarian tersebut, Didik tampil dengan pakaian jathilan serta topengnya, menarikan kuda lumping dengan alunan tembang Lir-Ilir.
Jathilan yang ditarikan Didik dibawakan dengan cukup komikal. Jika biasanya, jathilan ditarikan cukup garang dengan penari memakan beling maupun barang pecah belah, lain dengan Didik kali ini. Sarah tampak membawakan sajen berupa beling dan makanan lainnya, tapi Didik justru menolak memakan barang pecah belah, justru memilih pisang rebus dan minuman dot.
Jika biasanya makan kembang 7 rupa, Didik justru melemparkan kembang tersebut kepada penonton. Dengan tarian yang dibawakan cukup lucu tersebut, penonton tampak tergelak. Tarian yang sebelumnya dibawakan dengan khusyuk dan khidmat berubah menjadi pentas yang cukup komikal.
Malam-malam lain telah lewat, dikisahkan Amongraga dan Tembangraras masih mengarungi 40 malam. Hingga malam ke-40 tiba, Amongraga dan Tembangraras, kedua kekasih ini telah digabungkan. Sebagai menggambarkan dekapan pasangan tersebut, Didik dan Sarah menyatukan boneka wayang seakan keduanya adalah Amongraga dan Tembangraras yang menghabiskan malam ke-40 dengan keintiman. Centhini pun segera mengabarkan kabar bahagia kemudian mengumpulkan jamu-jamuan untuk Tembangraras.
Setelah malam ke-40, Amongraga harus menepati janjinya, yakni mencari kedua adiknya. Sang pangeran pun bertapa dengan Tembangraras yang mendampinginya. Dia menemani suaminya, sama sekali tak beranjak dari tempatnya mengawasi pria yang dicintainya. Dalam tapa itu, Amongraga mengosongkan akal, mata, dan telinga; tiada apa-apa lagi selain Allah.
Akhirnya, suatu malam, Amongraga bersendawa, perlahan bergerak kaki tangannya, dan ia menurunkan kembali rohnya bersemayam dalam raganya. Direngkuhnya istrinya mendekatkan katanya, Sayangku, sudah tujuh hari tujuh malam, kau tidak meninggalkanku sesaat pun. Sering di balik kelopak mataku kau lihat air mataku. Itulah air mata pengembaraan yang takkan pernah kering. Ya, manisku, aku harus
meninggalkanmu., ujar Elizabeth, menuturkan ucapan Amongraga.
Usai malam hangat, Amongraga undur diri dalam kelelapan istrinya. Ditulisnya surat kepada Tembangraras. Saat fajar tiba, Centhini mengganti sarung bantal yang basah kuyup ketika menemukan surat yang ditinggalkan Amongraga. Seluruh penghuni pondok terheran-heran, Centhini yang sebelum 40 malam lalu tidak bisa membaca Honocoroko, kini ia bisa membaca surat dari Amongraga.
Memeragakan Centhini, Didik menarikan isyarat membuka gulungan. Dalam gemulainya, ia terlihat tampak seakan membaca gulungan surat dari Amongraga untuk Tembangraras. Centhini, dalam narasi Elizabeth, membaca: Kekasihku, di jalan ada perjumpaan dan sua kembali, tetapi kita berjalan sendiri-sendiri. Kubawa ragaku menempuh kemegahan suluk dan kamulah tembang laras suluk itu. Kau mengira aku pergi, padahal aku mengembara di dalam rahimmu.
Pertemuan Serat Centhini
Pertunjukkan Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan yang interpretasikan Serat Centhini ke dalam seni pertunjukkan tari ini tak lepas dari kerja keras dari Elizabeth D. Inandiak. Karya interpretasi ini diambil dari buku tafsir dan terjemahan Serat Centhini yang terbit pada 2002 lalu. ArtJog 2024 menghadirkan tari yang diperagakan oleh Didik Nini Thowok, Sarah Diorita dengan iringan musik yang dikomposeri Anon Suneko.
Elizabeth sudah bergelut dengan Serat Centhini selama 30 tahun. Sejak mengenal karya sastra yang berusia 2 abad itu, dia terus setia menemukan hal-hal baru dalam Serat Centhini. Penerjemah berkebangsaan Prancis tersebut jatuh cinta kepada Serat Centhini setelah membaca dua halaman karya sastra yang belum diterjemahkan sama sekali ke dalam berbagai bahasa. Meski belum memahami isi dari karya tersebut, sejak saat itu, dia merasa Serat Centhini tersebut merupakan jodoh-nya.
Saya merasa seperti saya menemukan jodoh. Jodoh tidak selalu laki atau perempuan bisa jadi akar pohon, bisa jadi landscape, bisa jadi karya sastra. Dan untuk mungkin seorang penyair atau penulis yang memang jodoh ini adalah Centhini buat saya, ungkap Elizabeth, dikutip brilio.net saat sesi diskusi setelah pertunjukkan, Kamis (25/8).
Tak berhenti mengagumi Serat Centhini, Elizabeth beruntung mendapatkan dana dari pemerintahan Prancis untuk menerjemahkannya. Karya sastra dengan judul awal Suluk Tembanglaras tersebut memiliki 12 jilid sepanjang 4.200 halaman. Dia pun bekerja sama dengan ahli Bahasa Jawa untuk menyelamatkan Serat Centhini.
Menurut Elizabeth, karya dari R.M.A. Sumahatmaka ini sempurna. Banyak orang membaca Serat Centhini hanya berupa cuplikan-cuplikan saja. Namun, dia justru merunut alur Serat Centhini sepanjang ribuan halaman tersebut. Menurutnya, tokoh, adegan, karakter, dan unsur lainnya sangat luar biasa.
Padahal waktu saya terjun dalam serat Centhini saya lihat alur cerita sepanjang apa 4200 halaman, sempurna. Ini luar biasa, semua tokoh, semua adegan, semua karakter, simbol dan penuh, jelasnya.
Selama bertahun-tahun, Elizabeth memecahkan misteri mengapa Suluk Tambanglaras dikenal dengan judul Serat Centhini. Dia bekerja selama bertahun-tahun untuk menggali misteri tersebut. Setelah menemukannya, rupanya sosok Centhini yang justru berhasil menjalani pengembaraan dan menyatu dengan ilahi. Menurutnya, justru Amongraga yang gagal karena ketinggian egonya.
Dan yang berhasil dalam pengembaraan adalah si Centhini, karena dia pengabdi dan dia begitu rendah hati. Dia mengabdi sehingga dia hilang dari suluk tiba-tiba. Tidak hilang, tapi dia mencair, menyatukan dengan suluk dengan alam dengan yang ilahi. Jadi makanya mungkin lama-kelamaan Orang Jawa menjadi sadar Bahwa si Centhini adalah tokoh utama suluk adiluhung Jawa itu meskipun dia cuma seorang abdi," ungkapnya lebih lanjut.
Demikian dengan Didik Nini Thowok yang memerankan Centhini sesuai dengan tafsir karya dari Elizabeth. Didik memerankan Centhini sebagai sosok yang rendah hati. Ia adalah sosok abdi yang menurutnya adalah tidak memiliki gender tertentu. Maka dari itu, ia dipercaya Elizabeth untuk memerankan Centhini dalam pertunjukkan tersebut.
Dia bilang saya bisa mewakili sosok Centhini, karena tadi menurut interpretasi Mbak Elizabeth Centhini itu karena rendah hati, dia sesuatu yang istilahnya no gender no semuanya karena kerendahan hatinya dan sebagainya. Egonya juga tidak ada. Kemudian saya berusaha memerankan tokoh Centhini ini. Makanya saya pakai makeup putih itu dalam arti kosong ya, jadi tidak ada karakter sama sekali. Jadi emptiness begitu, jelas Didik.
Rupanya, pertunjukkan Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan pernah dibawakan di berbagai negara, yakni Prancis, India, Malaysia Barcelona, juga di beberapa kota di Indonesia, seperti, Yogyakarta, Surabaya, Bandung, dan Jakarta. Hingga akhirnya mereka sempat vakum selama 12 tahun, terhitung sejak pertunjukkan terakhir mereka di Barcelona pada 2012 lalu.
"Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan" ini turut hadir dalam pameran presentasi karya instalasi mix-media kolaborasi antara Nicholas Saputra, Happy Salma, mendiang Gunawan Maryanto, dan Iwan Yusuf. Karya alih wahana suara tersebut dipamerkan dalam ArtJog 2024 Motif: Ramalan. Elizabeth mengaku sangat senang saat Nicholas Saputra menawarkan diri untuk membaca bab Serat Centhini tersebut. Menurutnya, "Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan" merupakan inti dari karya sastra Jawa tersebut.
"Saya kaget terima teleponnya tanya mau sekali ingin membaca Serat Centhini direkam Empat Puluh Malam dan Satunya Hujan ini bab itu adalah inti dari Serat Centhini. Dan tadi prosesnya juga cukup lama akhirnya ya ini terjadi berkat Nicholas Saputra dan Happy Salma dan Almarhum Gunawan Maryanto dan Artjog, dan seniman Iwan, ungkap Elizabeth.