1. Home
  2. »
  3. Wow!
16 Februari 2018 17:30

Semangat belajar tembang Macapat di tengah gempuran lagu modern

Sekolah gratis di Kraton Yogyakarta, peminatnya hingga warga asing. Vindiasari Putri

Brilio.net - Rintik hujan tak bisa menyurutkan semangat siswa Pamulangan Sekar Macapat KHP Kridha Mardawa untuk belajar menyanyi tembang Jawa, macapat. Tempat belajar mereka ini bukan gedung sekolahan, tapi sebuah ruangan kecil di salah satu bangunan Kraton Yogyakarta.

Tak sulit untuk menemukan tempat belajar kesenian Jawa ini. Lokasi Pamulangan Sekar Macapat KHP Kridha Mardawa ini tepat di sisi barat Kraton Yogyakarta, tepatnya di Jalan Rotowijayan Nomor 3. Dari depan gedung terdapat spanduk bertuliskan 'KURSUS MACAPAT KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT'.

BACA JUGA :
10 Foto keren di Keraton Yogyakarta ini bikin kangen piknik ke Jogja


Tampak depan gedung yang menjadi lokasi pamulangan sekar macapat/foto: brilio.net/@vindiasari

Sore itu, Kamis (15/2), di depan gedung bercat putih itu terparkir motor milik siswa. Sekitar pukul 16.00 WIB, brilio.net telah mendengar lantunan tembang Jawa dengan merdunya dari dalam ruangan. Di ruangan berukuran sekitar 3 X 7 meter tersebut telah terisi beberapa siswa dan seorang guru bernama Kanjeng Mas Tumenggung (KMT) Projosuwasono. "Ini masih sedikit soalnya hujan," kata Projosuwasono.

BACA JUGA :
Dipindah ke keraton, patung Sultan HB IX disangga batu dari Merapi

Sejak tahun 1990an, Projosuwasono telah mengajar di pamulangan sekar macapat. "Sebelum mengajar, saya adalah murid di sini. Ketertarikan saya terhadap seni macapat ini mengantarkan saya jadi guru," akunya. Sejak pensiun tahun 2006 dari PNS, Projosuwasono mendedikasikan dirinya untuk melestarikan budaya Jawa.

Tak butuh waktu lama, satu per satu muridnya datang meski hujan turun semakin deras. Sebelum menempati bangku, para murid menyalami tangan sang guru kemudian mengeluarkan buku berisi tembang macapat.

KMT Projosuwasono/foto: brilio.net/@vindiasari

Sebelum mengajar Projosuwasono bercerita, Pamulangan Macapat ini telah ada sejak Sri Sultan Hamengkubuwono VII. "Saat itu terbatas hanya untuk kerabat Kraton. Kemudian berkembang menjadi untuk para abdi dalem hingga kini dibuka untuk masyarakat luas," terang pria kelahiran 1950.

Pensiunan PNS ini menyebutkan Kraton Yogyakarta juga memiliki beberapa kelas seperti pamulangan dalang, pamulangan karawitan, dan pamulangan macapat. Setiap hari, kecuali Minggu, ruangan kecil ini biasa diisi dengan kegiatan bernuansa Jawa. Kelas dimulai sejak pukul 16.00 hingga 17.30 WIB.

Mulai dari tahun 1960-an, gedung di Jalan Rotowijayan dijadikan lokasi untuk belajar budaya Jawa khususnya lagu macapat dan aksara Jawa. Sebelumnya, gedung ini merupakan hunian dari abdi dalem yang ikut mengajar di pamulangan sekar macapat.

Siswa di kelas macapat ini tak dikenakan pungutan alias gratis. "Karena operasional ini sudah dipenuhi pihak kraton. Honor pengajar dan tukang bersih-bersih juga sudah ada," ungkap Projosuwasono.

Suasana kelas Pamulangan Sekar Macapat, Kamis (15/2)/foto: brilio.net/@vindiasari

Projosuwasono mengungkapkan kelas macapat ini telah diikuti berbagai kalangan dengan beragam latar belakang, termasuk mahasiswa. Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun turut serta menjadi muridnya di Pamulangan Sekar Macapat. "Siswa paling kecil masih SD," terang Projosuwasono.

Bahkan, kelas ini juga pernah diikuti warga mancanegara seperti dari Jepang. Tak ada syarat khusus untuk menjadi peserta atau siswa di kelas macapat. "Syaratnya hanya satu, tidak tuna wicara," jelas Projosuwasono.

Tak kenal usia, para siswa ikut kelas pamulangan sekar macapat/foto: brilio.net/@vindiasari

Namun pada Kamis (15/2) kelasnya lebih banyak dihadiri siswa dewasa. Sore itu Projosuwasono memulai dengan membaca notasi angka dalam bahasa Jawa yang kemudian diikuti para murid. Hari itu materi pelajarannya adalah tembang macapat berjudul 'Mijil Sekarsih'. Alunan suara merdu dari siswa dan guru begitu terdengar menyejukan.

Macapat sendiri merupakan salah satu seni suara atau vokal yang pada zaman dahulu digunakan untuk media dakwah. Tembang macapat ini telah ada sejak zaman kerajaan Islam Demak. Para ulama menuliskan pesan dakwah lewat lirik-lirik tembang. Sementara macapat memiliki 11 tembang di antaranya Dhandhanggula, Sinom, Durma, Pangkur, Asmaradana, Kinanthi, Mijil, Megatruh, Gambuh, Maskumambang, hingga Pocung. Kesebelas lagu tersebut merupakan penggambaran dari kehidupan manusia mulai dari lahir (Mijil) hingga meninggal dunia (Pocung).

Notasi dan lirik salah satu tembang macapat berjudul Mijil Sekarsih/foto: brilio.net/@vindiasari

Kelas macapat ini memiliki beberapa kelas di antaranya tingkat pemula, lanjutan, hingga aksara Jawa. Bagi kelas pemula dijadwalkan pada hari Senin, dan Kamis untuk tingkat lanjutan. "Dalam setahun, kelas pamulang macapat mengadakan tes untuk menguji kemampuan para siswa," kata Projosuwasono.

Salah satu siswa menyanyikan lagu dengan bantuan buku pada Kamis (15/2)/foto: brilio.net/@vindiasari

Rini, murid Pamulangan Sekar Macapat, mengaku telah mengikuti kelas macapat selama tiga tahun terakhir. "Kemarin itu di kraton ada tes macapat di bulan Desember. Namanya Pendadaran Siswa. Saya sudah ikut ujian di tahun 2016. Sekitar tiga pambiji (penilai) yang siap menguji kemampuan nembang," kenang Rini. Penguji ini terdiri atas abdi dalem.

Rini mengaku kemampuan nembang Jawanya semakin meningkat setelah gabung dan mengikuti kelas Pamulangan Sekar Macapat. "Dari yang awalnya nggak tahu dan asal nyanyi. Sekarang sudah tahu nembang yang benar dengan nada dan notasi tepat," kata Rini.

Bahkan, wanita asal Sewon, Bantul ini sudah berani mengikuti lomba macapat. Dia dan siswa lainnya juga terlibat dalam berbagai acara di Kraton Yogyakarta, misalnya menyanyikan tembang macapat saat malam satu Sura di kraton.

SHARE NOW
EXPLORE BRILIO!
RELATED
MOST POPULAR
Today Tags