Brilio.net - Selain kuliah, mahasiswa biasanya disibukkan oleh berbagai kegiatan. Sebut saja Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), atau organisasi kemahasiswaan baik yang ekstra maupun yang intra macam BEM dan himpunan jurusan.
Namun, ada juga sebagian mahasiswa yang punya kegiatan lain yang bertujuan mendulang pundi-pundi uang. Pasalnya, tak semua mahasiswa hidup dalam kondisi berkecukupan. Banyak di antara mereka yang harus berpacu antara ruang kelas dan ruang pekerjaan agar dapat penghasilan guna bertahan hidup di kota perantauan.
BACA JUGA :
Pantang pulang sebelum ijazah di tangan, kisah mahasiswa luar Jawa raih gelar keguruan di tanah Sultan
Salah satu profesi yang lumrah dilakukan adalah menjadi guru les. Pekerjaan ini menjadikan mahasiswa menjadi tenaga pengajar paruh waktu untuk murid yang berada di tingkat yang lebih bawah seperti SD, SMP, dan SMA.
ilustrasi: Instagram/@homeschoolinganakpelangi
BACA JUGA :
Cara cek pengumuman hasil seleksi administrasi CPNS 2024, lengkap dengan linknya
Kira-kira, apakah menjadi guru les bisa jadi profesi sampingan yang menjanjikan bagi para mahasiswa? Bagaimana suka dukanya? Brilio.net menelusurinya lebih jauh dengan berbicara bersama-beberapa narasumber yang melakoni profesi ini.
Pertama ada Andi Sutra Dewi Haerudin atau Cutee, mahasiswi UIN jurusan Ilmu Hukum yang bercerita kiprahnya sebagai guru les sejak 2020. Ia menjadi guru les awalnya secara perorangan dengan menawarkan diri pada pihak yang membutuhkan jasa guru les.
"Awalnya nyari di Instagram, biasanya banyak gitu info-info 'cari guru les' kalau sekarang lebih mulut ke mulut si," katanya saat dihubungi brilio.net, Selasa (17/9).
Menurut Cutee, menjadi guru les cukup membantunya secara perekonomian. Dirinya mengakui kalau profesi ini cukup bisa diandalkan.
"Kalau ditanya profesi ini menjanjikan atau nggak, iya sih aku hidupnya dari sini sih," lanjut Cutee.
Cutee yang mengampu siswa TK hingga SD ini mengajarkan mata pelajaran Bahasa Inggris. Dirinya mengaku hanya mampu mengajar pelajaran pelajaran dasar, mengingat jurusan kuliahnya yang kurang relevan.
"Aku ngajar bahasa Inggris dan TWK. Tapi aku kan jurusannya Hukum jadi aku lebih ngajar untuk tingkat SD sama TK. Pernah juga ngambil SMP sama SMA, cuma aku rasa aku belum mumpuni dalam mengajar mereka dengan cara yang baik gitu," kata Cute.
Sementara itu Afi, mahasiswa lulusan pendidikan bahasa Inggris UNY, mengaku telah menjadi guru les sejak 2019 silam. Profesi yang sejalan dengan jurusannya ini dilakukannya bahkan hingga dirinya lulus.
"Aku ngajar sejak kuliah, sekitar tahun 2019," kata Afi pada brilio.net, Selasa (17/9).
Menurutnya profesi ini cukup menjanjikan dari segi keleluasaan waktu. Selain itu, dirinya mengaku pekerjaannya bisa ia lakukan tanpa harus bertatap muka. Dengan mengajar secara daring, ia bisa bekerja dari mana saja.
Afi yang mengajar murid dari tingkatan SD sampai SMA ini spesifik mengajarkan TOEFL dan IELTS. Meski dianggap sebagai pekerjaan yang menjanjikan, dirinya tetap punya keresahan akan guru les yang harus terus ceria menghadapi murid-muridnya yang kerap menjengkelkan.
"Jadi guru les dituntut harus sabar dan ceria, tapi kadang kita harus tetap ceria walaupun suasana hati sedang tidak bagus, dan ini cukup berat. Ditambah kadang kita juga ketemu murid yang cukup menjengkelkan, tapi nggak bisa marah," keluh Afi.
Meski begitu, keresahannya seperti terbayar ketika ia mengungkap penghasilan yang didapatkan sebagai guru les. Afi membeberkan kalau pendapatannya bisa ada di kisaran Rp4 juta sampai Rp6 juta. Uniknya, pendapatannya ini dibayar dengan sistem per jam.
"Pembayaran per jam, full-time 6 sampai 8 jam kisaran Rp 4-6 jutaan," jelas Afi.
foto: Andi Sutra Dewi Haerudin
Berbeda dengan Cutee dan Afi, seorang mahasiswa guru les yang berinisial SZS mengaku menjadi guru les justru bukanlah profesi yang menjanjikan. Dirinya mengaku kalau pekerjaan sampingannya ini hanya ditujukan untuk mencari pengalaman dan pembelajaran diri.
"Tidak (menjanjikan) jika itu mengacu pada keuangan, namun iya untuk pengalaman dan pembelajaran diri," ujar SZS pada brilio.net, Selasa (17/9).
SZS yang merupakan mahasiswa Psikologi di UIN Yogyakarta bercerita, menjadi guru les bisa membuatnya mengembangkan diri dalam hal berinteraksi dengan orang lain, serta belajar memahami para murid yang diajarnya.
"Suka dukanya ya (saya) bisa membantu mengembangkan diri dalam hal mengajar dan berinteraksi dengan orang lain, membantu peserta didik memahami pelajaran, memperluas relasi, dan bisa memperbaiki suasana hati juga diri," kata SZS.
Meski begitu, ia juga merasa bosan jika harus mengajar 1 orang dalam beberapa kali pertemuan. Iya mengaku lebih tertarik mengajar kelas dengan jumlah murid yang lebih banyak dibanding mengajar empat mata.
"Dukanya, terkadang merasa capek dan suntuk karena mengajar 1 orang yang sama dalam beberapa kali pertemuan, jadi membuat saya bosan. Berbeda jika saya mengajar di kelas klasikal dengan lebih dari 10 anak. Dan rasa bosan serta rasa semangat yang menurun ketika berhadapan dengan 1 anak yang sama dalam kurun waktu yang cukup lama menjadi tantangan bagi saya untuk menjadi pengajar les yang lebih baik," tutur SZS.
foto: Stevani
Sementara itu Stevani, punya motivasi lain dalam mengajar les privat. Dirinya mengaku menjadikan profesi sampingannya ini sebagai hiburan di kala penat. Dirinya yang tampak suka dengan anak-anak ini mengakui kalau sifat anak-anak yang random jadi hiburannya tersendiri.
"Sukanya (ngajar les) itu hiburan dikala penat, karena anak-anak sifatnya bermacam-macam yang tidak akan ditemui di teman seusia saya," kata mahasiswa jurusan Pendidikan Bahasa Arab tersebut.
Meski mengaku hanya mendapat penghasilan sekitar Rp 600 - 700 ribuan, ia mengaku menjadi guru les membuatnya jadi belajar kembali berbagai ilmu yang dulu pernah ia dapatkan di sekolah.
"Bisa belajar dan merefresh kembali ilmu yang didapatkan, bisa mengenal dan belajar bagaimana mengajar dengan baik, meningkatkan kreativitas juga karena memakai metode fun learning," kata Stevani pada brilio.net, Selasa (17/9).