Brilio.net - Jika hari ini kita menikmati makanan atau minuman kemasan plastik, jejak sampahnya akan bertahan puluhan hingga ratusan tahun ke depan. Kalau dalam 100 tahun terakhir saja sudah lahir lima generasi (baby boomers, X, Y, Z, dan alpha), maka bayangkan betapa banyak generasi yang terdampak. Sayangnya, sedikit yang menyadari dan tergerak berbuat sesuatu.
Di masa-masa ini, bisnis kuliner menjadi salah satu penyumbang sampah plastik terbesar. Di tengah gaya hidup serba ingin instan, kemasan plastik menjadi salah satu pilihan penyimpanan dan penyajian yang praktis, cepat, dan mudah. Generasi Z, milenial, bahkan yang lebih tua yakni generasi X, berpuluh-puluh tahun telah akrab dan dimanjakan makanan dan minuman modern yang kebanyakan berkemasan plastik.
Sebenarnya, kuliner zaman dulu yang proses pembuatan hingga kemasannya ramah lingkungan, bukan hilang sama sekali. Hanya saja lebih sulit untuk dijumpai.
Minggu pagi akhir Agustus 2019, ratusan orang mengabaikan udara dingin yang kering di Pegunungan Seribu. Mereka asyik bernostalgia dengan citarasa makanan tradisional di Pasar Dhoplang, sebuah pasar kuliner di pinggiran Wonogiri. Tak hanya makan, mereka juga sekalian "belanja" foto untuk eksistensi di dunia maya. Maklum, 2019 adalah tahun semaraknya media sosial. Dan brilio.net ada di antara mereka, para pemburu kuliner.
Pasar Dhoplang adalah destinasi wisata baru di Dukuh Kembar RT 02 RW 01, Desa Pandan, Kecamatan Slogohimo, Wonogiri. Lokasinya sekitar 36 km ke arah timur, kurang lebih 1 jam perjalanan dari pusat kota kabupaten. Perjalanan ke sini, membutuhkan konsentrasi cukup tinggi dalam berkendara. Pasalnya, jalan berkelok dengan panorama yang apik di banyak titik, bisa membuyarkan fokus mengemudi.
Dhoplang ini bisa disebut pasar kuliner tradisional yang sempurna. Tidak saja ragam kulinernya yang komplet, konsep dan pengemasannya juga klasik.
Seratusan jenis kuliner tradisional siap memuaskan perut. Dari besengek yang jarang dijumpai hingga kopi yang menggerakkan lahirnya kafe-kafe di pusat kota, semua tersedia. "Ada 75 pedagang yang kebanyakan warga sini," kata inisiator Pasar Dhoplang, Lilis Endang Hardianti saat berbincang dengan brilio.net di lokasi, Minggu (25/8).
Pasar Dhoplang lahir dari kegiatan arisan ibu-ibu setempat yang dalam wadah Dasawisma. Awalnya hanya 11 pedagang yang berjualan di halaman salah satu rumah warga dengan konsep kuliner bebas plastik. Perkembangan yang luar biasa dan antusiasme pengunjung, mendorongnya menjadi seperti sekarang ini, hanya dalam kurun kurang dari setahun.
BACA JUGA :
Sampah untuk kesehatan, potensi warga mengubah masa depan
Pasar Dhoplang berada di tengah kebun jati. (foto: brilio.net/Fefy Dwi Haryanto)
Di sini, semua menu dimasak secara tradisional menggunakan kayu bakar atau arang. Ada yang dimasak di lapak, sebagian lain sudah disiapkan dari rumah. Kompor minyak maupun gas adalah barang terlarang di sana.
Lapak sederhana dari bambu didesain memutar mengitari area makan, menjadikan semua sama strategisnya dalam menjaring pembeli. Pengunjung juga dimudahkan dalam berburu apa yang dicari.
Aneka kuliner legendaris itu bisa menggoyang lidah setelah pengunjung menebusnya dengan kepingan koin dari kayu jati yang merupakan "mata uang ala Dhoplang". Ya, rupiah tidak langsung laku di sana. Sebab, pembeli harus menukarkan dulu rupiahnya di "Bank Dhoplang" yang tersedia di gerbang pasar. Tiap kepingan bernilai beda. Koin bertanda angka 1 berarti Rp 1.000, 2 adalah Rp 2.000, 5 sama dengan Rp 5.000, dan 10 untuk Rp 10.000.
BACA JUGA :
Pro-kontra soal Kretek dan Vape di sebagian kalangan musisi Jogja
Koin untuk transaksi di Pasar Dhoplang (foto: brilio.net/Fefy Dwi Haryanto)
Duduk di bangku kayu atau lesehan di tikar, sama-sama asyiknya untuk menikmati sajian. Rimbun pohon jati yang berjajar di dalam area pasar, jadi peneduh alami, meski saat ini sebagian daunnya rontok karena kemarau. Semilir angin Pegunungan Seribu, laksana kipas angin raksasa yang tak kenal mati listrik, setia membelai lembut dengan embusannya. Selain itu, tempat parkir kendaraan yang agak jauh lokasinya, membuat udara di pasar terjaga kesegarannya.
Di pasar yang hanya buka Minggu pagi ini, ratusan orang dari berbagai daerah berdatangan. Jangan heran jika perputaran uang tiap operasi cukup membahagiakan. "Pernah mencapai Rp 70 juta. Saat Idul Adha lalu cukup rendah, hanya Rp 20-an juta," terang wanita 56 tahun itu. Data itu diketahui dari banyaknya penukaran rupiah ke koin. Angka fantastis untuk sebuah pasar kuliner kecil yang hanya buka 3 jam per pekan.
Jika ingin menikmati sensasi klasik ini, jangan sampai kesiangan datangnya. Pasar yang cukup dekat hutan Donoloyo itu hanya beroperasi jam 6-9 pagi setiap hari Minggu. Tanggal 25 Agustus 2019 lalu, adalah Minggu ke-42 pasar beroperasi.
Mengapa hanya buka di hari Minggu? Pertanyaan ini sering datang ke pengelola. Lilis menjelaskan, hal itu lantaran kebanyakan pedagang merupakan petani yang sehari-hari juga harus menggarap sawah. Apalagi mereka swadaya dan swadana dalam mengelola pasar itu. "Pedagang sukarela menyedekahkan sebagian hasil berjualan. Uang itu yang kami gunakan mengelola pasar ini," terang Lilis.
Pasar kuliner Dhoplang menempati lahan milik perorangan yang dipinjamkan. Selama ini, pemerintah desa setempat belum turun tangan, meski permohonan sudah disampaikan. Walau demikian, tak menyurutkan semangat Lilis dkk untuk mengembangkan pasar ini. Ke depan tidak saja kuliner, tapi juga akan dikembangkan agrowisata. "Semoga bisa sampai dengan anak cucu," harap Lilis.
Pasar tanpa plastik
Klangenan akan kuliner masa lampau di Dhoplang makin sempurna karena tidak adanya penggunaan plastik, baik oleh penjual maupun pembeli. Semua gerabah dan perkakas yang dipakai, tak satupun menggunakan material plastik. Bahkan, pengunjung yang kepergok membawa kemasan plastik, akan diminta pengelola untuk diganti wadahnya dengan kemasan lain ramah lingkungan.
Peringatan larangan plastik di Pasar Dhoplang. (foto: brilio.net/Fefy Dwi Haryanto)
Semua makanan disajikan memakai daun, tembikar, bambu, maupun perabot berbahan seng, kaca atau keramik. Penjualnya pun demikian. Tidak ada yang memakai plastik untuk penyimpanan bahan, pengolahan, dan penyajian. "Sudah komitmen kami untuk tidak ada penggunaan plastik di sini," tegas Lilis yang sehari-hari berprofesi PNS di lingkungan Dinas Pendidikan Wonogiri itu.
Kebijakan tanpa plastik ini suatu langkah berisiko namun cerdas. Berisiko membuat pengunjung kerepotan yang ujungnya malas belanja untuk oleh-oleh, tapi cerdas karena strategi itu pula yang membuat daya tarik pasar ini melejit. Apalagi banyak spot foto Instagramable yang memicu pesona Dhoplang bertebaran di media sosial.
Seorang pengunjung dari Boyolali, Endang (37), mengaku rela jauh-jauh ke Dhoplang karena penasaran dengan keunikannya usai tahu pasar ini dari media sosial. "Untuk makanan tradisional mungkin di tempat lain ada. Tapi kalau pasar tanpa plastik, itu yang di tempat lain tidak ada," kata wanita yang datang bersama keluarganya itu.
Pengelola menyadari tanpa plastik bisa membuat repot pengunjung. Karenanya, dibuatlah kantong dari kain yang bisa dibeli untuk membawa pulang makanan.
Untuk makanan berkuah ataupun minuman, kebanyakan pembeli pilih mengonsumsinya di tempat. Bisa saja jika ingin membawa pulang. Caranya dengan lebih dulu membeli gerabah dari tembikar sebagai wadah. "Pernah ada yang membeli gerabah di sini untuk membawa pulang soto," cerita Narmo (67) pedagang gerabah.
Narmo pun sangat mendukung kebijakan tanpa plastik. Bukan karena ia berjualan gerabah, tapi karena kesadaran akan dampak buruk dari plastik untuk kesehatan dan lingkungan alam. "Warga di sini di keseharian sudah mengurangi plastik. Di (dalam pasar) Dhoplang ini menyesuaikan saja," sebut pensiunan guru itu.
Sehari-hari hindari plastik
Berbincang dengan Lilis membuka cakrawala baru akan perjuangan warga di desanya dalam mengurangi penggunaan plastik. Kesadaran warga itu sudah diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Setiap Jumat dan Sabtu pagi, warga bekerja bakti membersihkan lingkungan dan lokasi pasar. Di sela-selanya, Lilis berbagi informasi tentang bahaya plastik untuk kesehatan dan lingkungan.
Sebelum lahir pasar tanpa plastik, ibu-ibu Dasawisma sendiri sudah menjalankan program bank sampah. Tiap arisan mereka membawa sampah plastik untuk dipilah mana yang bisa dijual dan yang harus dimusnahkan dengan dibakar. Bak sampah di wilayah itu juga dibuat dalam dua jenis: sampah organik dan anorganik.
Bak sampah di lingkungan Dukuh Kembar. (foto: brilio.net/Fefy Dwi Haryanto)
Menurut Kepala Dusun Dukuh Kembar, Bambang, kegiatan mengurangi penggunaan plastik ini belum berjalan di seluruh wilayah RW yang dipimpinnya. Baru satu dari dua RW.
Ke depan, terangnya, akan terus didorong supaya aksi sosial mengurangi penggunaan plastik di wilayah dengan 800 kepala keluarga itu lebih masif lagi. "Selama ini baru kerja bakti bersih-bersih tiap Jumat oleh ibu-ibu. Ke depan akan dibuat satgas pengendali sampah plastik," ujarnya optimis.
Bambang menyadari program ini terlalu berat untuk bisa dijalankan sendiri. Butuh dukungan yang lebih kuat, terutama pemerintah dan pihak-pihak lain, seperti pakar lingkungan, dll. "Kesadaran dan pemahaman warga tentang pentingnya mengurangi sampah plastik ini perlu terus dipupuk. Biar kuat progamnya. Pasar Dhoplang ini titik awal," tandas dia.
Inisiatif warga melahirkan Pasar Dhoplang mendapat apresiasi dari pemkab setempat. Plt Kepala Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Wonogiri, Sri Wahyu Widayatto menyebutnya sebagai aksi yang luar biasa. "Apalagi sudah menyentuh home by home. Itu luar biasa," kata dia penuh bangga.
Dia mengakui, selama ini aspek pengendalian sampah plastik belum menjadi fokus penanganan dalam persoalan lingkungan. Prioritasnya masih seputar pengendalian masalah kekeringan, yang memang selalu melanda Wonogiri. "Seharusnya kami jemput bola. Tapi kami sudah cek ke sana (Pasar Dhoplang)," tuturnya.
Pihaknya berharap gerakan pengendalian sampah plastik warga Dukuh Kembar bisa konsisten dan meluas. Sehingga, desa itu bisa diikutsertakan dalam verifikasi program kampung iklim (proklim). "Jika ini berhasil, bisa kita ajukan ke level yang lebih tinggi lagi," tuturnya.
Apa yang dilakukan warga Dukuh Kembar, lanjut Widayatto, juga bisa membantu Wonogiri dalam upaya meraih penghargaan Adipura. Penggeraknya pun berpeluang untuk diajukan sebagai penyelamat lingkungan untuk meraih Kalpataru. Dibutuhkan dokumen kegiatan, dan pencatatan mengenai progres pengendalian sampah plastik, sehingga bisa diketahui neraca pengolahan sampahnya. "Desa lain wajib meniru yang di Dhoplang. Kita akan adakan lomba Adipura tingkat kecamatan," sebut dia.
Kongres Sampah
Persoalan sampah plastik mendapat perhatian serius Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Saat Pesta Rakyat Jateng di Wonogiri, Minggu (25/8), dalam sambutannya Ganjar juga mengajak warga untuk bersama-sama mengurangi plastik. Di acara itu sendiri ragam makanan yang disajikan juga menggunakan bungkus ramah lingkungan, seperti daun jati dan daun pisang. Air minum juga disediakan menggunakan galon isi ulang. "Mari kita kurangi plastik," kata Gubernur.
Ajakan mengurangi penggunaan plastik juga disampaikan Ganjar dalam berbagai kesempatan. Bahkan, secara kreatif dilakukan lewat akun Instagram pribadinya. Misalnya saat menjelang Hari Raya Idul Adha, Ganjar mengunggah video menarik berisi pesan agar daging kurban tidak dibagikan menggunakan plastik, tetapi besek bambu dan daun sebagai gantinya.
Gubernur Ganjar secara kreatif mengampanyekan pengurangan pamakain plastik lewat media sosial. (foto: Instagram/@ganjar_pranowo)
Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Jawa Tengah pada awal Agustus ini juga telah meluncurkan aplikasi pengelolaan sampah yang dinamai Sipola, akronim dari Sistem Informasi Pengelolaan Sampah. Aplikasi berbasis Android dan web ini menginformasikan berbagai upaya dan pencapaian dalam pengelolaan sampah.
Sebagai bentuk komitmen pengendalian sampah plastik, Pemprov Jawa Tengah juga akan menggelar Kongres Sampah dengan melibatkan seluruh stakeholder lingkungan. "Kongres Sampah akhir September. Yang Dhoplang itu mungkin juga akan kita undang," kata Wakil Ketua Komisi D DPRD Jateng Hadi Santoso.
Hadi yang juga merupakan warga asli Wonogiri ini menuturkan, dalam pengendalian sampah plastik, ada dua pendekatan yang bisa dilakukan. "Pertama, preventif. Ini berupa peraturan yang skupnya hingga level peraturan desa (perdes). Kedua, pemberian apresiasi bagi mereka yang berinisiatif melakukan pengendalian sampah. Perdes ini sanksinya sanksi sosial. Dan ternyata paling efektif," cetusnya.
Dari dokumen informasi kinerja pengelolaan lingkungan hidup Provinsi Jawa Tengah, pada 2016 sudah ada 37 Perdes tentang Pelestarian Lingkungan Hidup, dengan pendekatan kearifan lokal. Terdapat 15 bentuk kearifan lokal untuk kelestarian lingkungan hidup yang secara konsisten dipertahankan masyarakat.
Masih belum cukup, Hadi menjelaskan jika kedepan akan dilahirkan pasukan siber lingkungan. Tugasnya adalah mengabadikan momen pelanggaran lingkungan seperti orang membuang sampah sembarangan, dan mengunggahnya ke media sosial. Sehingga, pelakunya akan mendapat sanksi sosial.
Upaya Pemprov Jateng dalam pengelolaan lingkungan hidup diakui sudah cukup serius, dilihat dari regulasi yang dibuat. "Tapi kurang serius dari anggaran. Hanya Rp 88 miliar," ujarnya.
Alokasi dana pengelolaan lingkungan hidup memang meningkat dari tahun ke tahun. Tapi, angkanya dirasa masih terlalu kecil karena harus menjangkau banyak aspek persoalan lingkungan hidup. Dokumen pengelolaan lingkungan hidup Jateng mengungkap pada 2017, Pemprov Jateng menganggarkan Rp 29,2 miliar. Jumlah ini naik drastis menjadi Rp 66,38 miliar pada 2018.
Bagi para pelestari lingkungan, juga Pemprov Jateng, sudah tentu Pasar Dhoplang adalah sebuah kabar baik. Apa yang dilakukan warga di sana menimbulkan multiplier effect yang besar. Penjual meraih untung dari dagangannya, pengunjung mendapat kepuasan dan kesenangan, alam pun terjaga dari kerusakan.