Brilio.net - Paras yang cantik dan rupawan punya sejarah panjang bagi kaum wanita. Hampir semua wanita berlomba-lomba mengejar kecantikan. Apalagi di banyak negara digelar ajang kompetisi kecantikan yang memberi penghargaan bagi yang tercantik. Sehingga muncul istilah ratu kecantikan, miss world, miss universe, dan lain sebagainya.
Era media sosial menjadikan pemujaan akan kecantikan kian marak. Sebagai contoh di Instagram ada @ugmcantik @unpadgeulis @uicantik dan masih banyak lagi. Akun-akun tersebut mengelompokan mahasiswa Indonesia yang dianggap cantik. Begitu fenomenal label cantik ya? Lalu bagaimana sih sebenarnya cantik bagi wanita Indonesia? Bagaimana sebenarnya sejarah kecantikan wanita Indonesia?
Indonesia adalah negara yang punya beragam suku dengan budaya dan ciri geografis yang berbeda. Perbedaan tersebut berlanjut pada perbedaan pemaknaan akan kecantikan. Namun kini anggapan cantik menjadi general seakan lupa akan realitas bahwa Indonesia begitu beragam. Kenapa bisa demikian?
Standar wanita cantik tak bisa dilepaskan dari konstruksi media akan makna kecantikan. Media menampilkan standar kecantikan yang setiap hari dikonsumsi oleh masyaratkat Indonesia melalui konten media dan juga iklan.
Menurut akademisi Muzayin Nazarudin, cantik menurut media adalah kurus, langsng, putih, berambut lurus hitam panjang, modis, dan selalu menjaga penampilan, serta rutin melakukan perawatan tubuh agar awet muda.
Standar kecantikan memang beragam dan selalu berubah tergantung konteks zaman. Melliana (2006), menuturkan, pada tahun 1950, masyarakat Eropa menjadikan Marlyn Monroe sebagai standar kecantikan dengan berat badan 67 kg dan tinggi 163 cm. Hal ini membuktikan perempuan sedikit gemuk dianggap cantik.
Berbeda lagi ketika sosok boneka barbie mulai membanjiri pasar mainan anak-anak. Menurut Moore (2009), orang yang cantik di mata umum adalah yang paling mirip dengan Barbie yaitu berkulit putih, bermata biru, berambut pirang, dan bertubuh langsing. Standar kecantikan ini tentu mempengaruhi pandangan perempuan Indonesia pada kecantikan.
Perempuan Indonesia sendiri memiliki sejarah yang cukup panjang. Standar kecantikan itu ternyata telah ada semenjak zaman Jawa kuno. Kehidupan Jawa kuno tergambar dalam kisah sastra Ramayana. Menurut Titib (1998), cantik pada masa itu digambarkan melalui tokoh Sita, istri Rama. Sita digambarkan sebagai perempuan muda yang sungguh cantik dan berperilaku baik. Ia bercahaya laksana rembulan. Rembulan digambarkan sebagai kecantikan kulit perempuan yang bercahaya.
Hal ini tercatat dalam Kitata Kakawin, yakni ketika Rama merana: "Kenanganku akan wajahmu yang manis hidup kembali karena pemandangan seekor kijang, sang gajah mengingatkanku akan keagunganmu, sang bulan akan wajahmu yang terang. Ah! aku dikuasai kecantikanmu".
Ketika Indonesia mulai memasuki era kolonal standar kecantikan pun berubah mengikuti standar para penjajah. Ketika para penjajah Eropa memasuki Indonesia, mereka juga menyebarkan dan memperdagangkan produk kecantikan. Produk tersebut diiklankan melalui media, pada masa itu. Sebagai contoh iklan sabun palm olive dalam majalah De Huisvrouw in Indie pada tahun 1937 dan Bintang Hindi tahun 1928. Standar kecantikan ini diulas panjang lebar oleh L. Ayu Saraswati (2017).
Standar kecantikan terus berkembang di Indonesia. Setelah penjajahan kolonial, bergantilah era di bawah penjajah Jepang. Hal yang sama juga terjadi. Pada masa itu, ada majalah memuat rubrik kecantikan yakni Djawa Baroe pada tahun 1943 dan Gadis Nippon. Dalam rubrik tersebut yang menjadi standar cantik ialah wanita Jepang. Di situ digambarkan betapa wanita Jepang ialah sosok yang jelita dengan kulit putihnya serta penampakan fisik lainnya.
Perubahan konsep cantik tidak berhenti ketika penjajah pergi. Seiring berkembangnya waktu, produk kecantikan yang mulai beredar di pasaran Indonesia membawa dampak, yakni perubahan persepsi masyarakat Indonesia akan kecantikan. Produk tersebut mulai masuk pada tahun 1970. Produk tersebut antara lain Touro Pearl Cream pada tahun 1975, Kelly Pearl Cream pada tahun 1976, Fair lady Cosmetic pada tahun 1980 dan juga iklan sabun Lux.
Pada awal tahun 1970 an, produk kecantikan lokal membawa angin segar dengan menawarkan standar cantik khas Indonesia yang tidak harus putih. Produk tersebut antara lain Viva Cosmetics, Sari Ayu, dan Mustika Ratu. Namun seiring perkembangan jaman dengan masuknya produk kecantikan Vaseline dan Nivea, standar cantik kembali pada kulit yang putih.
Dr Tri. Marhaeni Pudji Astuti menjelaskan bahwa produk Sari Ayu pun mengalami pergeseran penawaran, yang tadinya menawarkan cantik dengan kulit kuning langsat menjadi cantik dengan kulit putih.
Penjelasan tersebut dikutip dari buku Ita Yulianto (2007), pergeseran makna dari kuning langsat ke putih menandai adanya dekonstruksi warna kulit. Dulu kita yang eksotis adalah hitam manis dan sawo matang, dan kulit aristocrat identik dengan kekuninglangsatan, sekarang itu sudah tak bisa dipertahankan. Image dan selera perempuan sudah mulai dipenjarakan dengan pesona barat. Perempuan dan masyarakat mulai merekonstruksi sejarah perkulitannya. Mereka tak lagi ingin memaknai eksotis adalah hitam manis dan sawo matang serta aristocrat adalah kuning langsat, tetapi memaknai cantik adalah putih seperti putihnya perempuan barat. Di sini barat adalah kiblat.
Di era modern ini, standar cantik menjadi lebih beragam. Media dan arus globalisasai memberikan celah untuk masuknya berbagai pemahaman cantik, seperti cantik ala Korea atau cantik ala Eropa. Untuk mendapatkan kecantikan tersebut banyak yang mengahabiskan waktu di klink kecantikan sehingga mencapai target cantik sesuai yang dikonstruksikan media.
Lalu kalau sudah begini, ke mana standar cantik yang benar-benar khas Indonesia?
Recommended By Editor
- Kenapa orang ketagihan nonton sinetron sampai ribuan episode?
- Nyawa melayang sia-sia karena sepak bola, kapan bisa belajar sportif?
- Kenapa Rangga, Lupus, Dilan & Boy jadi ikon cowok ideal? ini alasannya
- Bisnis nostalgia menjamur, apa sebenarnya yang menarik dari masa lalu?
- Kasus edelweis dan larangan-larangan penting saat mendaki gunung