Terhitung kurang lebih tujuh bulan yang lalu Indonesia mengalami peristiwa yang tak mungkin kita lupakan. Masa-masa lockdown atau karantina dan pelarangan untuk bersosialisasi secara langsung demi keselamatan masyarakat. Bukan tidak mungkin jika peristiwa ini serupa dengan salah satu novel karya Albert Camus yaitu La Peste.
Novel La Peste rilis pada tahun 1947 yang sedikit banyak mampu memberi kita pelajaran dalam menghadapi pandemi ini. Novel ini bercerita tentang Epidemi Sampar yang memiliki kemiripan dengan kejadian yang sedang kita hadapi. Dalam novel ini juga diceritakan keadaan para penduduknya, tenaga medis, media, dan juga pemerintah. Namun kali ini dibicarakan oleh Dr. Haryatmoko dalam Bincang MoTV di channel YouTube Sav Pustaka.
Dalam novel, epidemi Sampar terjadi di Kota Oron, Aljazair 1945. Awalnya ditemukan tikus mati di gedung apartemen Dr. Rieux. Lalu Michel yakni penjaga gedung berpikir itu hanya lelucon belaka. Rieux pun mengabaikannya dan mengantar istrinya ke stasiun untuk berobat ke kota. Tetapi beberapa hari kemudian radio mengumumkan bahwa lebih dari 6.000 tikus mati di Oron dan terus meningkat. Penduduk pun khawatir dan mengkritik pemerintah karena tidak segera bereaksi. Namun tiba-tiba tikus yang mati berkurang. Tetapi tak lama Michel jatuh sakit dan Dr. Rieux pun mengobatinya, sayangnya Michel meninggal dan saat itu tidak diketahui penyebab kematiannya.
Rieux pun pergi ke Dr. Castel yang lebih berpengalaman. Dan akhirnya diumumkan bahwa itu adalah wabah Sampar dan Kota Oron harus di-lockdown. Penduduk bingung, egoisme meningkat, dan sebagian mengira bahwa wabah ini akan cepat berlalu. Lalu Jean Tarrou seseoran yang tinggal di gedung yang sama dengan Rieux mencatat betapa parahnya wabah ini di buku hariannya. Semakin parahnya hingga ada kuburan massal, terjadi kerusuhan, penjarahan, dan perampokan.
Pada bulan September sampai Desember, Raymond Rambert, seorang wartawan dari Paris yang datang ke Kota Oron untuk meliput kehidupan masyarakat di daerah slumterjebak karena Epidemi Sampar. Dia ingin meninggalkan Oron dan kembali ke Paris untuk menemui kekasihnya. Sampai pada akhirnya saat ia mempunyai kesempatan dengan diselundupkan. Ia memutusan untuk tidak pergi dan memilih berjuang hingga akhir bersama Dr. Rieux dan Jean Tarrou.
Selanjutnya ketika anak laki-laki bernama Philip sakit dan akan meninggal, Dr. Rieux berpikir bagaimana mungkin anak kecil tak bersalah harus menderita. Selain itu Rm. Paneloux SJ pendeta yang sangat beriman berdalih bahwa Sampar adalah cobaan atas dosa-dosa manusia. Namun dengan apa yang menimpa anak itu, sang pendeta mengalami kehampaan iman dan akhirnya terkena wabah Sampar dan meninggal dengan memeluk salib. Lalu kejadian berbeda terjadi pada Joseph Grand, seorang relawan yang ditugaskan membuat statistik korban. Ia sempat sakit, namun akhirnya sembuh berkat vaksin yang telah berhasil ditemukan oleh Dr. Castel.
Saat tikus-tikus mulai bermunculan, datanglah harapan untuk mereka. Kemudian pada bulan Januari bencana Sampar berkurang meskipun masih ada korban. Hiingga menjelang bulan Februari, pintu kota pun dibuka. Penduduk bebas menikmati harinya. Tapi mereka tak akan melupakan cobaan itu, yang memerangi mereka dari absurditas kehidupan dan rapuhnya situasi manusia. Maka mereka juga belum sungguh-sungguh di antara kegembiraan dan air mata.
Menurut Dr. Haryatmoko, dari kisah Sampar ini kita diajarkan untuk selalu rendah hati dan terus berjuang melawan situasi sehingga mampu lebih mudah menerima nilai-nilai hidup. Jika keadaan sudah menyerang pikiran, satu-satunya hal yang mampu dilakukan adalah memiliki pikiran positif dan mencari hal-hal yang mampu menyibukkan diri. Karena seperti yang dikisahkan, harapan selalu ada.
Saat saya berada di fase ini, saat semua hal sangat membosankan dan tak ada kegiatan apa pun, pikiran selalu bertanya kapan masa ini usai? Tentu tak ada jawaban. Namun sesaat saya mulai mengintrospeksi diri, mungkin ini saat terbaik untuk meningkatkan kualitas diri. Kita harus tetap bertahan dan dari hal itu saya mencari banyak hal yang ingin saya perbaiki dan kuasai. Dan benar saja saya mendapat ilmu dan bakat baru di bidang artistik khususnya.
Dari novel ini juga ada hal menarik yang membahas mengenai religiusitas. Dari Rm. Paneloux yang awalnya mengira bahwa epidemi tersebut merupakan cobaan dari Tuhan. Namun saat anak kecil tak berdosa terserang wabah, hanya berpikir realistislah yang mampu mengubahnya. Dalam menghadapi wabah kita tentu mampu melihat dari berbagai sisi dan Dr. Haryatmoko menambahkan bahwa tak seharusnya kita melihatnya sebagai hukuman ataupun penderitaan.
Bagi saya agama merupakan hal terbesar di dalam hidup manusia. Namun tidak semua hal yang ada di dunia ini terjadi karena dosa sebagian besar manusia atau dapat dikatakan azab. Secara nyata, anak kecil tak berdosa pun juga terserang wabah. Di hidup ini hendaknya kita berjalan beriringan dalam spiritualitas dan realitas yang saling melengkapi.
Banyak sekali pesan-pesan yang didapatkan dari novel karya Albert Camus ini dan sangat cocok untuk diimplementasikan di masa pandemi saat ini. Kita semua tahu masa ini merupakan masa tersulit untuk dilalui. Mulai dari pembatasan sosial hingga waktu yang lama. Tetapi kita sudah berada sejauh ini dan tak lama lagi tahun 2020 akan berakhir. Harapan akan selalu menyala mengiringi tahun 2021 yang lebih baik tanpa adanya penambahan kasus. Tetap bertahan dengan mematuhi protokol kesehatan, menghabiskan waktu dengan meningkatkan kualitas diri, dan selalu rendah hati dalam menerima nilai-nilai hidup.
Oleh: Deva Evlista Azzahra (Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Airlangga)