Dalam waktu satu dekade terakhir (2010-2019) industri video game dunia mengalami berbagai perubahan besar, cepat, dan juga fundamental. Bisnis ini memang secara teori stagnan saja karena inovasi yang bisa terjadi biasanya hanya terjadi di tampilan kualitas grafis. Atau dalam kasus tertentu, cara bermain. Seperti yang dulu pernah terjadi untuk Nintendo Wii.
Tapi seperti industri lingerie, area yang digarap industri video game tetap 'itu-itu' saja. Yaitu tampilan dan pergerakan. Namun tentu saja tidak hanya sesederhana itu industri video game berjalan di antara industri-industri lain.
Dilarang sepele dengan potensi profit di industri ini! Tanya saja perusahaan Jepang Sony. Dulu dikenal sebagai produsen elektronik jagoan di bagian televisi dan pemutar audio, kini kas keuangan Sony lebih dari separuhnya berasal dari seri PlayStation mereka yaitu dari divisi video game! Untuk ini Sony memang harus berterima kasih kepada bapaknya PlayStation, Ken Kutaragi. Berkat ambisinya, kini Sony dikenal sebagai raksasa industri video game; sesuatu yang 25 tahun lalu mungkin hanya fantasi di obrolan ringan sambil minum-minum.
"Bapaknya PlayStation", Ken Kutaragi! (Sumber gambar: YouTube)
Tapi kita tidak sedang membicarakan prestasi dua setengah dekade Sony di industri video game. Kita akan melihat satu dekade atau 10 tahun terakhir dari dunia penuh keseruan ini. Dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ada begitu banyak hal yang terjadi dalam bisnis video game. Apa saja?
(Sumber gambar: DualShockers)
1. Rusaknya dominasi toko game eceran/retail oleh toko game online di internet.
Toko media fisik (Sumber gambar: Geek)
Masih ingat masa saat kamu harus ke toko untuk beli game buat konsol game kamu di rumah? Beli kaset? CD? Sejak lahirnya Apple iPod hingga toko online seperti Steam, keberadaan toko media fisik semakin terancam dan selama satu dekade terakhir hal ini menjadi kenyataan.
Gamers dengan kapasitas penyimpanan data/HDD besar dan koneksi internet cepat mungkin lebih memilih belanja game secara digital karena mudah dan gak repot (bahkan tidak perlu keluar dari kamar). Tapi tidak untuk yang masih setia dengan keberadaan benda fisik untuk koleksi game. Saya sendiri selalu memilih bentuk fisik untuk video game yang dibeli jika hal itu memungkinkan. Saya tidak membenci atau menolak distribusi digital untuk media; hanya mengharapkan adanya pilihan. Tidak digital only, atau physical only. Berikan pilihan pada calon pembeli dan biarkan mereka memilih yang sesuai dengan kebutuhan.
2. Kemajuan dan perkembangan perangkat keras untuk bermain video game.
VR Headset (Sumber gambar: T3)
Video game adalah soal sesuatu untuk dilihat di sebuah layar (televisi, perangkat genggam/portable) dengan pengendali permainan, atau joystick controller, di tangan pemainnya. Hal ini sudah berlangsung selama beberapa dekade dan jadi standar baku bagaimana video game dimainkan. Namun dalam satu dekade terakhir, ada metode lain untuk bermain video game,yaitu melalui kacamata/headset virtual reality/"VR Headset". Aslinya bukan teknologi baru atau asing sebelum satu dekade belakangan, namun dalam satu dekade terakhir benda ini mulai semakin mainstream. Hal ini karena penetrasi pasar bagus dari produsen VR Headset di mana mereka berhasil menciptakan alat dengan harga terjangkau seperti dari perusahaan Facebook (Oculus Rift), HTC (Vive) dan tentu saja Sony dengan PlayStation VR mereka.
https://www.youtube.com/watch?v=ykGKN5ojP7Q
Jika dulu bermain game mengharuskan seseorang menatap layar di depannya dengan jarak tertentu, kini jarak tersebut dipangkas super dekat; seperti jarak antara mata dengan kacamata saja. Menggunakan VR Headset untuk bermain game akan menimbulkan pengalaman baru dan selama satu dekade terakhir metode ini mulai merakyat dan banyak digunakan gamers. Tapi mungkin harus menunggu sampai harganya benar-benar menyentuh kantong gamers rata-rata agar teknologi ini bisa dipakai lebih luas. Mungkin perlu satu dekade lagi?
3. Video game jadi budaya yang setara dengan hal-hal normal lain di kalangan masyarakat.
(Sumber gambar: Watertown Daily Times)
Beberapa dekade ke belakang bisa dibilang kalau seseorang dengan hobi video game akan dianggap kelompok "nerd" alias kelompok yang aneh, lucu, menggelikan, cocok jadi bahan bully dan berbagai stempel sosial negatif lain. Saat ini bagaimana? Oh Tidak lagi.Dalam satu dekade terakhir, video game membuktikan diri sebagai hobby yang hip, keren, dan disukai bahkan oleh kelompok-kelompok elites. Sampai-sampai seorang politisi sekalipun memanfaatkan jokes/lelucon berbau video game untuk memenangkan suara pemilih.
Dalam satu dekade terakhir industri ini juga mengalami kenaikan signifikan dalam hal profit. Jika dekade sebelumnya industri video game bisa menghasilkan perputaran uang senilai $11 miliar per tahun, maka dalam satu dekade terakhir angkanya melonjak hingga $150 miliar per tahun; jauh melewati industri film dan televisi saat digabung sekalipun menurut Jessica Rovelo, CEO Arkadium. Itu karena dalam satu dekade belakangan video game dapat diakses dari mana saja. Konsol, tablet, dan smartphone hingga web browser internet (seperti Stadia-nya Google). Jadi saat ini bermain video game bukan lagi ekslusif untuk seorang bocah "nerd"karena pesohor keren juga ternyata sama saja.
4. Semakin stabilnya popularitas e-Sport sebagai salah satu cabang olahraga dunia.
Pertandingan eSport (Sumber gambar: FOX Sports Asia)
Beberapa dekade lalu jika mengatakan video game adalah olahraga, orang akan tertawa mengejek. Tapi kini tidak lagi semudah itu menganggap video game bukan olahraga. Mengusung istilah electronic sport, e-Sport kini merupakan olahraga dengan jutaan penggemar fanatik, uang hadiah yang berlimpah dengan atlet-atletnya yang tidak kalah populer dibanding atlet cabang olahraga lain.
Mulai dari eSport bertema team-work seperti Defenders of the Ancient/DotA atau League of Legends/LoL (atau dalam skala lebih kecil/mobile seperti Mobile Legends dll) hingga individual skills seperti turnamen Capcom Cup, Tekken World Championship dan EVO Series, dunia e-Sport dalam satu dekade terakhir semakin maju pesat dan menjelma jadi hiburan besar layaknya event-event olahraga lain seperti Piala Dunia dan bahkan Olimpiade sekalipun. Dan ini masih mungkin akan terus terjadi di dekade selanjutnya mengingat popularitas video game yang tidak berhenti berkembang.
5. Ladang mata pencaharian baru yang berbasis video game.
Bermain game sambil ditonton ribuan orang dan menghasilkan uang? Sekarang bisa! (Sumber gambar: Geek)
Bagian ini memang tidak terduga. Maksud saya, siapa yang mengira kalau menonton orang bermain video game lewat internet bisa jadi sebuah kebiasaan baru? Bukan itu saja; bahkan bisa menghasilkan uang dari bermain video game dengan merekam/menyiarkan prosesnya secara langsung di channel website berbagi video seperti YouTube dan Twitch? Satu atau dua dekade lalu hal ini mungkin masih berupa wacana dan diskusi. Tapi sekarang? Ada ribuan channel di website berbagi video yang menyiarkan konten bermain video game.
Bukan bermain bermain, tapi melihat orang lain yang bermain. Tidak hanya dilakukan oleh orang luar negeri seperti PewDiePie atau sederet nama-nama beken lain di bisnis ini, namun juga orang-orang Indonesia seperti Egie Fourze 212 dan streamer/YouTuber lain di mana mereka menyajikan tontonan berbasis mari lihat saya bermain video game.
Mulai dari video durasi 10 menitan hingga berjam-jam, konten-konten ini menghasilkan uang buat kreatornya lewat iklan AdSense maupun sponsorship. Seperti Tyler Ninja Blevins; streamer game populer yang dikontrak ekslusif oleh Microsoft senilai jutaan dollar agar menyiarkan kontennya di platform mereka Mixer. Bermain video game,ditonton orang, dan menghasilkan duit? Satu dekade terakhir membuktikan kalau hal itu dapat terjadi.
Tahun 2020 hingga 2029 nanti entah apa lagi yang akan terjadi di industri video game dunia. Yang jelas akan selalu menarik untuk diikutin.