Untuk kamu yang berkeluarga atau memiliki anak pasti menginginkan situasi agar anakmu memiliki nilai-nilai baik yang berguna untuk dirinya sendiri di masa depan. Nilai-nilai luhur seperti budi pekerti ataupun rasa percaya diri tinggi akan banyak berpengaruh dalam kehidupan anak. Bahkan jika melihat ke dalam diri sendiri, kita akan menyadari kalau kita juga merupakan produk sebuah rasa confidence alias pede yang (sangat mungkin) didapat dan terbentuk sejak kita dalam usia kecil/muda.
Sebuah studi menunjukkan kalau anak yang memiliki rasa percaya diri akan memperoleh pengalaman hidup bagus; seperti tidak mengalami kegugupan di ruang publik, peningkatan prestasi di lingkungan sekolah, hingga daya tahan tubuh serta hubungan antar manusia yang lebih oke. Amy Morin, psikolog dan pengarang buku 13 Hal Yang Orang Tua Bermental Kuat Tidak Lakukan, mengatakan kalau dia sudah banyak melihat usaha orang tua membangun rasa pede bagi anak-anak mereka. Dan mereka merasa sudah benar dan ada di jalur yang tepat.
Namun sayang banyak hal yang dianggap bagus untuk hal tersebut malah menimbulkan efek berkebalikan dari tujuan. Anak justru mengalami krisis percaya diri dikarenakan ulah orang tuanya sendiri; yang secara tidak langsung/sadar menghancurkan rasa percaya diri anak sehingga mereka merasa minder, bersalah, dan perasaan-perasaan kontra produktif lainnya.
Hal-hal berikut ini terbukti menyebabkan hal tersebut.
1. Mendukung/menciptakan mentalitas sebagai korban.
(Sumber gambar: Shulman Law Firm)
Seperti apa bentuknya? Contoh mudah: mengatakan kita enggak bisa beli sepatu baru untuk kamu seperti anak-anak lain karena kita keluarga miskin. Hal ini akan membentuk pandangan kalau situasi hidup merupakan sesuatu yang di luar jangkauan kendali. Harus pasrah karena situasi. Ya sudahlah kita memang enggak bakal bisa karena bla bla bla. Seorang anak harus diberikan jalan, pilihan/opsi, ide saat mengalami situasi tidak menguntungkan agar kreativitas diri muncul dan mampu membentuk masa depan untuk dirinya sendiri dengan rasa percaya diri. Mentalitas pasrah atau korban harus dihindari sejak dini.
2. Terlalu overprotective akan berdampak buruk pada anak.
(Sumber gambar: Nobel Coaching & Tutoring)
Oke. Melindungi anak dari kondisi dan situasi buruk merupakan tugas semua orang tua. Bahkan kalau bisa membungkus mereka dengan bubble-wrap mungkin para orang tua sudah melakukannya. Tapi jangan sampai perlindungan yang diterima anak jadi menghambat pertumbuhan mental mereka.
Kamu bisa lihat berita-berita di Indonesia di mana banyak orang tua ngamuk kepada guru sekolah karena anak mereka mendapatkan hukuman akibat ulah mereka sendiri yang melanggar peraturan/disiplin. Hal ini selain memalukan juga akan berdampak negatif pada rasa percaya diri mereka. Bagaimana jika orang tua model itu meninggal dunia secara mendadak? Anak yang terbiasa dilindungi secara berlebihan oleh orang tua semacam ini akan mengalami shock berat yang pasti berdampak panjang. Jadilah pembimbing, bukan pelindung anak saat mereka menapak jalan kehidupan sosial.
3. Membiarkan mereka lari dari tanggung jawab adalah kesalahan serius.
(Sumber gambar: Parents)
Ah nggak apa-apa kan masih anak-anak? atau Biasalah namanya juga anak kecil merupakan mantra banyak orang tua saat anak mereka melakukan sebuah kesalahan atau menimbulkan masalah. Jika kamu masih melakukan hal seperti ini; berhentilah segera.
Seorang anak harus merasakan esensi sebuah tanggung jawab. Dan hal ini bisa dibentuk dengan mudah di dalam rumah. Caranya? Buatlah anak bertanggung jawab akan hal-hal kecil: menyapu ruangan, mengangkat jemuran atau mengeluarkan sampah dari dapur misalnya. Hal-hal ini akan menciptakan rasa sudah menyelesaikan sesuatu yang secara otomatis menimbulkan rasa tanggung jawab. Sehingga saat mereka berbuat sesuatu yang tidak seharusnya, mereka akan menyadari "ada yang salah" dan memperbaikinya.
Kasus-kasus di mana anak lari dari tanggung jawab setelah membuat masalah dengan niat candaan (seperti menarik kursi saat temannya akan duduk sehingga mengakibatkan jatuh dan bahkan cacat permanen) merupakan contoh buruk cara mendidik anak dalam hal menanggung akibat dari perbuatan diri sendiri.
4. Melindungi anak dari kemungkinan berbuat kesalahan? Salah!
(Sumber gambar: Parenting for Brain)
Berapa banyak dari kamu yang tergopoh-gopoh berlari mendatangi anakmu yang terjatuh setelah dia berlarian ke sana ke mari mengacau seisi ruangan? Itu tidak seharusnya kamu lakukan karena sama saja menghilangkan kesempatan untuk anak kamu belajar dari kesalahannya sendiri dan mengatasinya sendiri pula.
Saat anakmu merusak pajangan di minimarket, dia sedang mengalami pelajaran mahal "jika berbuat kesalahan akan mendapatkan konsekuensi". Banyak orang tua justru membela saat anaknya dimarahi setelah mereka berbuat kesalahan. Hal itu akan menghambat pembangunan karakter yang baik.
5. Menghambat mereka merasakan atau menunjukkan emosi diri.
(Sumber gambar: FirstCry Parenting)
Sudah jadi naluri orang tua untuk menghibur anak di saat mereka sedih atau menenangkan saat mereka marah/tantrum. Namun kecerdasan emosional dan rasa percaya diri perlu mereka bentuk sendiri sehingga tidak tepat jika orang tua terlalu ikut terlibat dalam proses itu.
Bantu anak mengenali apa yang memancing atau menimbulkan emosi mereka (senang, suka, marah, malu, dan sebagainya) dan ajarkan cara menangani emosi tersebut secara mandiri. Sehingga kelak di kehidupan bermasyarakat mereka akan bisa hidup dengan emosi terkendali yang sudah pasti berguna untuk kehidupan sosial seseorang.
6. Mendisiplinkan anak dan bukan menghukum mereka. Ini penting.
(Sumber gambar: Very Well Family)
Jangan salah pengertian; ada perbedaan signifikan antara mendisiplinkan dengan menghukum anak saat mereka melakukan kesalahan. Seorang anak harus tahu sejak dini kalau semua tindakan mereka memiliki konsekuensi. Ada sebab-akibat dari sebuah perbuatan.
Anak yang mendapatkan pendisiplinan akan menghasilkan pemikiran saya sudah membuat pilihan yang buruk. Sementara anak yang dihukum cenderung memiliki perasaan saya adalah orang yang buruk. Dua hal yang berbeda. Pilihan buruk merupakan sesuatu yang tidak permanen. Rasa sebagai orang yang buruk bisa berdampak abadi dalam pemikiran seseorang. Sehingga kamu sebagai orang tua harus bisa kreatif mendisiplinkan anak kamu saat mereka berbuat kesalahan dan perlu mendapat konsekuensi.
7. Berharap anak kamu sempurna? Sebaiknya hal itu tidak dilakukan.
(Sumber gambar: Euro Puppy)
Membebankan anak dengan berbagai harapan tinggi bukannya dilarang. Sah-sah saja berharap kalau anak kamu mencapai hal-hal yang mungkin sudah atau belum pernah kamu capai. Namun berharap terlalu tinggi punya konsekuensi yang sama tingginya. Kamu tentu tidak berharap anakmu stres dan akhirnya gantung diri karena merasa tidak dapat memenuhi harapanmu kepadanya? Hidup anak kamu bukan soal kamu; hidup dia merupakan soal dia sendiri.
Hanya anak kamu yang merasakan dan tahu seperti apa hidupnya setiap hari. Jadi perlu diingat kalau kesempurnaan versi orang tua tidak selalu sama seperti versi anak. Berikan saja anakmu sebuah harapan jangka panjang dan kondisi capaian yang kamu inginkan dari dia; tapi selalu ingat kalau semua bukan soal kamu. Tapi soal dia.
Dengan tidak melakukan hal-hal seperti di atas akan lebih besar kemungkinan kamu memiliki anak dengan karakter dan rasa percaya diri sehingga semua pihak mendapat hasil yang sempurna'. Orang tua bangga karena merasa berhasil mendidik anak, dan anak memiliki kehidupan baik dan merasa memenuhi apa yang jadi tuntutan orang tua tanpa mengorbankan pilihan-pilihan hidup mereka sendiri. Win-win situation.