Selama ini kita mengenal istilah transportasi kaitannya dengan alat pengangkutan. Namun dalam tulisan ini, transportasi diartikan sebagai pengalaman personal seorang penonton film terserap dan ikut masuk dalam cerita ketika menonton sebuah film. Analoginya, penonton film sama seperti wisatawan yang hendak melakukan perjalanan wisata ke suatu tempat. Pada saat berangkat, wisatawan membawa perlengkapan, yang diartikan sama dengan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki penonton film. Selama perjalanan ke tempat wisata, wisatawan akan bertemu dengan orang-orang, pengalaman, dan pengetahuan baru. Begitu juga dengan penonton film, selama menonton, mereka memperoleh pengalaman dan pengetahuan baru melalui berbagai karakter yang ditemui dalam film. Setelah perjalanan wisata usai, wisatawan akan kembali ke rumah dengan membawa sejumlah kenangan, pengalaman baru, bahkan ada kemungkinan perubahan nilai yang dimilikinya selama ini. Begitu juga dengan penonton film, setelah film usai, penonton akan memiliki memori dan pengalaman baru bahkan perubahan nilai karena persuasi nilai yang ditawarkan sebuah film.
Konsep transportasi diajukan oleh Green & Brock (2002) melalui teorinya, Transportation Imagery Model (TIM), yang termasuk dalam teori Ilmu Komunikasi. Teori ini dianggap sebagai kunci persuasi narasi, dan dikembangkan untuk menjelaskan perubahan sikap seorang individu setelah mengalami transportasi ke dalam narasi (cerita). Inti dari teori ini sebenarnya sederhana, yakni semakin besar transportasi yang dialami individu penerima pesan pada cerita, semakin besar pula kemungkinan individu tersebut terpengaruh pesan yang disampaikan cerita. Beberapa asumsi yang mendasari cerita dapat memengaruhi individu. Pertama, setiap orang pada dasarnya menyukai cerita yang bagus, bersifat emosional, dan dramatis hingga memengaruhi dan membentuk keyakinan, sikap, bahkan perilaku kita. Kedua, cerita menawarkan sarana perwakilan berpetualang ke tempat tempat baru, berkenalan dengan orang-orang baru, dan menyediakan berbagai pengalaman baru. Sehingga cerita lazim digunakan untuk menyampaikan pengetahuan maupun pengalaman bahkan antar lintas generasi karena dianggap memiliki kekuatan untuk membentuk sikap dan keyakinan yang konsisten dengan pesan yang disampaikan.
Bagaimana transportasi-sebagai pengalaman personal seorang individu- dapat mempersuasi bahkan mengubah sikap individu penerimanya?Atau dalam tulisan ini berfokus pada bagaimana seorang penonton film yang mengalami transportasi dapat mengubah sikapnya sesuai dengan pesan yang disampaikan film? Agar dapat mengalami transportasi ke dalam film, terdapat sejumlah faktor yang memengaruhi seorang penonton supaya fokus dan mencurahkan semua sumber daya dan kapasitas mental mereka untuk film.
1. Faktor pertama terkait motivasi menonton, apakah merupakan sebuah rutinitas atau sebagai sarana pemenuhan kebutuhan emosi dan sosial.
Apabila motivasi menonton film sebagai kebiasaan atau rutinitas, maka ketika mulai mengonsumsi film, penonton akan memfokuskan perhatiannya pertama kali pada karakter film secara otomatis. Lalu berlanjut pada keterlibatan dengan karakter dalam film. Sementara, bila motivasi menonton film untuk memenuhi kebutuhan emosi dan sosial, maka dalam menonton film, mereka cenderung memulainya dengan membentuk hubungan parasosial dengan karakter dalam film agar dapat memuaskan kebutuhan emosional sebagai individu sekaligus sebagai bagian dari makhluk sosial.
2. Faktor kedua, karakter yang ada dalam film.
Sebagian penonton akan melibatkan diri mereka dengan atribut-atribut yang melekat pada karakter, baik secara fisik, perilaku, ataupun kepribadian yang dianggap khas dan unik serta berbeda dengan diri mereka. Namun sebagian lainnya, akan mencari sebanyak mungkin kesamaan yang mereka miliki dengan karakter film, baik kesamaan dalam hal demografis berupa usia, jenis kelamin, agama, maupun kesamaan dalam peran di kehidupan sehari-hari.
3. Faktor ketiga, terkait dengan alur cerita, yakni struktur cerita dalam film yang meliputi bagian awal, tengah, dan akhir film.
Penonton film akan mudah mengalami transportasi ke dalam film bila alur cerita filmnya jelas, baik dari sisi korelasi antar bagiannya maupun kausalitas antar peristiwa. Karena hal ini berdampak pada realisme sebuah film dalam benak penontonnya.
4. Faktor keempat yakni fitur film, yang meliputi teknik pengambilan kamera, setting waktu, tempat, durasi, genre dan kostum.
Sejumlah fitur film tersebut memengaruhi dalam membentuk realisme cerita, yang memudahkan penonton dalam memvisualisasikan peristiwa dan karakter film ke dalam pikiran, hingga membentuk sensasi masuk ke dunia cerita yang diciptakan film.
Peran transportasi dalam pembentukan perubahan sikap penonton film, yakni sebagai mediated relationship dalam bentuk identifikasi dan interaksi parasosial. Identifikasi dan interaksi parasosial merupakan konsep yang berbicara tentang bagaimana cara penonton terlibat dalam film dan mengolah pesan di dalamnya. Perbedaan yang mendasari antara identifikasi dan interaksi parasosial dipengaruhi perspektif atau sudut pandang yang digunakan penonton selama memproses keterlibatan dengan karakter dalam film dan sensasi dunia narasi yang mereka alami. Pada bentuk identifikasi, selama mengalami keterlibatan dengan karakter yang menjadi fokus perhatiannya, penonton mengadopsi perspektif karakter (as character). Sebaliknya, pada bentuk interaksi parasosial, penonton menggunakan perspektif diri mereka sendiri (as self).
Identifikasi merupakan suatu kondisi psikologis yang aktif dan bersifat dinamis, merupakan salah satu dari sekian banyak cara penonton dalam menanggapi karakter dan salah satu dari sekian banyak posisi yang dialami penonton dengan cerita hiburan. Pengembangan dan kekuatan identifikasi tergantung pada beberapa faktor, di antaranya sifat dari karakter, penonton dan cerita.
Identifikasi merupakan bagian dari sebuah tanggapan terhadap narasi hiburan, di mana penonton dapat menjadi larut, merasakan kegembiraan maupun kesedihan pengalaman orang lain.Proses identifikasi meliputi empat dimensi, yakni dimensi empati emosional, dimensi aspek kognitif, dimensi penyerapan, dan dimensi internalisasi tujuan. Dimulai dengan keterlibatan afektif dan kognitif pada karakter yang menjadi fokus perhatian mereka. Keterlibatan afektif memuat simpati dan empati yang diberikan pada karakter. Sementara keterlibatan kognitif dilakukan melalui pemahaman terhadap karakter dan tindakan yang mereka lakukan. Selama film berlangsung, penonton mensimulasikan perasaan dan pikiran mereka untuk peristiwa yang terjadi, hingga kehilangan kesadaran diri dan masuk dalam proses internalisasi tujuan karakter. Dalam kondisi psikologis seperti itu, penonton berbagi tujuan yang sama dengan karakter dan memahami motivasi karakter dalam mencapai tujuan. Internalisasi penonton dengan tujuan karakter menghasilkan penyerapan sensasi menjadi karakter yakni seolah membayangkan menjadi karakter. Hasil identifikasi penonton dengan karakter, mencakup peningkatan pemahaman terhadap karakter atau bahkan empati bagi karakter selama menonton.
Interaksi parasosial merupakan pengembangan hubungan penonton dengan karakter cerita yang menunjukkan beberapa karakteristik hubungan interpersonal. Penonton merasa seolah-olah mengenal karakter secara individual, melihatnya sebagai teman, peduli tentang karakter, dan merasakan kehilangan ketika karakter tidak tampak lagi dalam cerita. Proses interaksi parasosial dengan karakter film yang dibentuk oleh penonton memuat aspek kognitif dan afektif serta dilakukan melalui empat tahapan sebagaimana halnya tahapan pembentukan interaksi interpersonal dalam dunia nyata, yakni tahap permulaan, eksplorasi, intensifikasi dan interaksi. Pada tahap permulaan, aspek kognitif yang terlibat berupa alokasi atau fokus perhatian pada karakter tertentu sebagai pengenalan penonton pada karakter. Lalu dilanjut dengan tahap eksplorasi yang meliputi pemahaman terhadap karakter dan pengalaman serupa dari penonton terkait dengan karakter tersebut dalam dunia nyata. Kemudian masuk ke tahapan intensifikasi yang meliputi evaluasi terhadap aspek-aspek karakter serta pengamatan antisipatif terhadap perkembangan dan perubahan karakter. Terakhir, penonton memformalisasikan atau membangun interaksi parasosial dengan karakter. Sementara aspek afektif penonton memuat simpati dan empati terhadap karakter, dan dapat terjadi pada setiap tahapan pembentukan interaksi parasosial.
Secara teoritis, sejumlah pengaruh transportasi pada penonton film mengakibatkan adanya proses heuristik, intensifikasi, serta pembentukan sikap dan keyakinan sesuai pesan cerita. Proses heuristik menyebabkan pengaruh dalam bentuk pengetahuan baru yang diperoleh setelah menonton film. Sementara intensifikasi merupakan pengaruh dalam bentuk kenikmatan sebagai hiburan karena dapat merasakan pengalaman subyektif sebagai konsumen cerita. Pada akhirnya, pembentukan sikap dan keyakinan sesuai pesan dalam film merupakan pengaruh terakhir dari transportasi sebagai pengalaman personal seorang penonton film. Singkat kata, film dianggap efektif sebagai media persuasi narasi suatu isu pada masyarakat, dengan cara kerja transportasi penonton film ke dalam cerita. Dimulai dari pengalaman awal ketertarikan pada pesan film, cara pengolahan pesan persuasif oleh penonton hingga menghasilkan sejumlah kecenderungan perubahan yang dihasilkan setelah mengalami transportasi. Maka, dengan memperhatikan peran konsep transportasi sebagai mediated relationship dalam pembentukan identifikasi dan interaksi parasosial penonton film, dapat membantu pengemasan pesan film agar sampai pada khalayak sasaran sesuai dengan harapan.