Megahnya pesta pembukaan Asian Games 2018 menyisakan banyak torehan jejak orang-orang berbakat di negeri ini. Salah satunya adalah Eko Supriyanto, atau biasa dipanggil Eko Pece, yang memikul tanggungjawab besar, menjadi koreografer pertunjukan tari bersama dengan seniman tari lainnya, Denny Malik.
Mungkin tak banyak yang tahu siapa Eko Pece, yang mendapat julukan 'Pece' saat kuliah, akibat kegemarannya mengenakan kacamata hitam. Sosoknya yang rendah hati, tak banyak bicara dan bergaya biasa saja mungkin akan membuat banyak orang tak menyangka prestasi besar yang sudah ia persembahkan untuk dunia seni, khususnya tari di Indonesia.
Eko Pece pertama kali membuat kehebohan saat terpilih menjadi penata tari di 268 konser Madonna di tahun 2001. Kabarnya Madonna memilihnya karena keluwesannya menarikan pelbagai tari tradisional.
Eko bukan orang baru di kancah seni tari. Ia mewarisi darah seni dari kakeknya, Djojoprayitno, seorang penari wayang orang di tahun 80-an. Namun seni yang pertamakali ia pelajari bukanlah menari, melainkan bermain silat, di usia 7 tahun.
Eko yang lahir 26 November 1970 ini belajar dari dua guru tari : Kahari dan Alit Maryono. Ia kemudian memelajari tari kuda lumping di usia SMP.
Selepas menamatkan kuliah di STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) Surakarta tahun 1997, ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Department World Arts and Culture di UCLA, California (1998-2001). Tak cukup sampai di situ, ia pun meneruskan ke program Phd di universitas yang sama, dan menyelesaikannya di tahun 2008. Kini ia sedang mengambil program S3 di UGM, jurusan Kajian Seni Pertunjukan, sambil menjalani hari-harinya sebagai tenaga pengajar di Institut Seni Indonesia (ISI, yang dulunya STSI).
Di luar bidang akademis, ia aktif menciptakan koreografi sejak masih mahasiswa. Berikut daftar prestasinya dalam pelbagai festival dan pagelaran di tanah air maupun mancanegara.
- Dua kali tampil di Indonesian Dance Festival (IDF) dengan Lah (1994) dan Leleh (1996)
- American Dance Festival (ADF 1997) di Durham, North Carolina
- Asia Pacific Performance Exchange (APPEX 1997) di Los Angeles
- penari dan koreografer dalam Le Grand Macabre (1998) yang dipentaskan di Chatelet Theatre di Paris dan Covent Garden,London(1999).
- penari Opera Diponegoro (2002) Sardono W. Kusumo
- menari dalam Shakti (2002) karya Maxine Haepner (Kanada) diTeater Utan Kayu,Jakarta
- tampil di Pasar Tari Kontemporer (Pekanbaru,Riau)
- tampil di Asian Contemporary Dance Festival (Osaka).
- tampil dalam opera Peter Sellars Love Cloud (2003) untuk Theatro Picolo, di Venezia, Itali.
- menggarap Dhaup untuk STSI Surakarta; 2004
- menerima Hibah Seni Kelola untuk menggarap Opera Ronggeng dan terlibat sebagai penari dan penata tari dalam film-tari Garin Nugroho Opera Jawa (2005) ditata kembali dan dipentaskan di Theatre Spectacle, Zurich, 2008.
- terlibat kembali dalam produksi opera Peter Sellars Flowering Tree (2006) yang dipentaskan perdana di Wina, Austria untuk New Crowned Hope Festival memperingati 250 tahun Mozart.
- menjadi koreografer film-tariGarin Nugroho,Generasi Biru, 2006
- diundang sebagai artist in residence MAU Forum di Auckland,Selandia Barudan tampil sebagai penari dalamThe Tempest karya Lemi Ponifasio. 2008
Sederet prestasi yang telah diukir Eko, membuatnya amat pantas untuk dipercaya sebagai koreografer tari di acara pembukaan Asian Games 2018. Perhelatan spektakuler kemarin telah membuktikan bahwa Eko memang seorang pekerja seni yang jenius. Ribuan penari ia kerahkan dan atur sehingga bisa menyajikan pertunjukan yang membuat decak kagum penonton, tak hanya di dalam negeri, namun juga hingga ke manca negara.
Terima kasih Mas Eko, atas kerjakerasmu, bangga menjadi orang Indonesia!
Source
- thumbnail is taken from https://twitter.com/asiangames2018/status/1002131205230182401