Momo challenge saat ini tengah ramai dibicarakan di dunia maya, tidak seperti keke challenge, permainan ini mengajak pemain untuk bunuh diri, ini bukan sebuah hoax semata karena di Argentina, Momo Challenge diduga kuat telah merengut nyawa seorang anak perempuan berusia 12 tahun. Polisi di Argentina sedang melakukan investigasi keterkaitan Momo Challenge dengan kasus bunuh diri yang dilakukan oleh anak perempuan berusia 12 tahun. Di Perkirakan permainan berbahaya ini sudah berada di Mexio, Argentia, Amerika Serikat, Prancis, dan Jerman. Ini merupakan hal yang mengerikan dimana seharusnya sebuah trend digunakan untuk memotivasi orang untuk bunuh diri.
Namun momo challenge bukan satu - satunya trend yang mengajak orang untuk bunuh diri. Salah satu trend yang sempat menghebohkan ialah blue whale yang merenggut 130 nyawa remaja rusia di tahun 2016. Mungkin apa penyebab orang - orang ingin ikut challenge seperti itu, dan kenapa mereka bisa dipengaruhi oleh challenge tersebut.
Dr. John Grohol pendiri & CEO Psych Central, seorang penulis, peneliti dan ahli dalam kesehatan mental online mengutip sebuah artikel mengenai trend berbahaya ini yang dilansir dari psychcentral.com Psikologi di balik tantangan paus biru dan momo challenge itu sederhana - temukan korban, buat ikatan emosional dengan mereka melalui serangkaian tantangan yang pada akhirnya menyuruh pemain untuh bunuh diri.
Permainan Ini merupakan ciptaan seseorang yang mungkin seorang psikopat atau sosiopat, atau memiliki kecenderungan psikopati yang signifikan."Game" ini sebenarnya bukan game sama sekali.Ini hanyalah skema kontrol dan manipulasi yang ditujukan kepada orang-orang yang rentan yang memiliki pemikiran serius tentang bunuh diri, kesepian, dan kematian.
Ketika seseorang ingin bunuh diri, mereka merasa paling sendirian dan tidak berharga.Pencipta permainan memahami perasaan-perasaan ini (mungkin setelah merasakannya pada titik tertentu dalam hidup mereka), dan memanfaatkan perasaan-perasaan semacam ini.
Selain itu tekanan mental akibat sosial media juga memperngaruhi prilaku remaja yang rentan, laporan survei darilembaga asal Inggris, Royal Society for Public Health (RSPH), mengemukakan efek media sosial terhadap kondisi kejiwaan anak-anak muda usia 14-24 tahun bertajuk #StatusOfMind. Dari 1.479 responden asal Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara ditemukan opini mayoritas bahwa Instagram merupakan media sosial yang paling buruk dampaknya bagi kesehatan mental.
Dilansir dari news18.com, Selasa (14/8) sebuah penelitian Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat, pada bulan Desember 2016, menunjukkan bahwa anak-anak dalam kelompok usia 15 hingga 19 hingga empat kali lebih mungkin menjadi rentan.Di antara banyak alasan, penggunaan media sosial seperti Instagram dan Snapchat, tekanan untuk menjadi 'sempurna', tekanan nilai dan prestasi lainnya serta kecemasan umum hanyalah beberapa alasannya.Menurut British Psychological Society, sekitar 90 persen remaja berada di media sosial.Terus-menerus melihat apa yang dilakukan rekan-rekan mereka setiap hari, yang merusak kesehatan mental mereka.
Dalam studi tahun 2016, para ilmuwan dari Universitas Stanford mencatat aktivitas otak remaja yang melihat umpan Instagram, dan aktivitas otak didorong ketika melihat posting yang menandai kesuksesan, penghargaan, pengakuan dan perhatian sosial.