Apakah kamu pernah mendengar tentang perkampungan yang bernama Kampung Naga? Tenang, meskipun namanya Kampung Naga tapi bukan berarti di kampung itu dihuni oleh naga atau masyarakat di sana melihara naga. Nah, penulis akan berbagi cerita tentang pengalaman ketika berkunjung ke Kampung Naga.
Kampung Naga berlokasi di Desa Neglasari, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya, Provinsi Jawa Barat. Posisi Kampung Naga di sebelah timur Kabupaten Garut dengan jarak tempuh 26 km. Atau sebelah barat dari Tasikmalaya berjarak 45 km.
Di kampung yang memiliki luas 1 hektare itu berdiri 113 bangunan dan dihuni oleh 108 kepala keluarga (KK) dengan 300 jiwa. Asal mula terbentuknya kampung ini belum jelas sampai sekarang, ada yang menyebut sejarah kampungnya dengan istilah Pareum Obor atau dalam Bahasa Indonesia artinya matinya penerangan. Tetapi ada juga informasi dari warga sekitar, kalau nama Kampung Naga ini berasal dari kata Nagawir artinya pinggir jurang. Entah apa sebenarnya yang mendirikan Kampung Naga ini, namun pastinya perkampungan ini masih memegang adat istiadat dari nenek moyang dan mereka menolak adanya campur tangan dari pihak luar.
Karena tidak ingin adanya campur tangan orang luar, dulu sempat terdengar kabar kalau Kampung Naga ditutup untuk orang luar sebab masyarakat tidak ingin daerahnya dijadikan tempat wisata. Mereka juga tidak mau kegiatan mereka ditonton oleh wisatawan. Tetapi sekarang, sudah banyak wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga.
Jika berkunjung ke Kampung Naga, kamu akan merasakan sejuknya udara, gemercik air dari sungai, dan ditemani keceriaan anak-anak yang asyik bermain dengan teman sebayanya. Yang lebih menarik perhatian penulis dari kampung ini adalah bentuk rumah mereka yang berupa rumah panggung. Atapnya harus terbuat dari nipah, ijuk, dan alang-alang, serta rumah harus menghadap utara atau selatan dengan memanjang ke arah barat-timur. Sedangkan dinding rumah yang terbuat dari bilik atau anyaman bambu dan rumah tidak boleh dicat kecuali dikapur, serta bahan rumah juga tidak boleh menggunakan tembok.
Uniknya semua masyarakat Kampung Naga tidak menggunakan listrik dan hanya menggunakan cempor, obor, dan patromak untuk penerangan. Sedangkan untuk memasak menggunakan tungku dengan kayu bakar, itu pun mereka tidak asal tebang pohon di hutan alam maupun hutan keramat.
Menurut informasi yang didapat penulis, Kampung Naga tidak bisa dipasang listrik karena atap dari setiap rumah menggunakan ijuk dan ditakutkan jika ada korsleting listrik akan terjadi kebakaran dan api pasti menyambar dengan cepat. Ada juga informasi jika masyarakat Kampung Naga ingin menggunakan listrik, maka mereka harus keluar dari Kampung Naga.
Meskipun masih memegang erat adat istiadat, tetapi masyarakatnya sudah terbuka dengan dunia luar terutama dalam pendidikan. Dari informasi yang penulis dapat juga sudah banyak masyarakat Kampung Naga yang bersekolah atau bekerja di luar kampung.
Modernisasi dan perkembangan digital saat ini tidak melunturkan ketaatan masyarakat dalam menjaga warisan leluhur nenek moyang, salah satu contohnya yaitu mereka masih menjaga hutan keramat dan ada satu bangunan yang mereka sebut Bumi Ageung.
Bumi Ageung yang beratap ijuk dan berdinding anyaman bambu itu merupakan bangunan sakral dan wisatawan tidak diperkenankan untuk mengambil gambar. Di depan bangunan diberikan pagar yang digunakan sebagai penanda karena setiap bangunan keramat akan dipagari bambu. Katanya, Bumi Ageung ini merupakan tempat penyimpanan senjata pusaka seperti tombak serta keris dan setiap hari bangunan ini ditunggui seorang wanita yang sudah tak haid lagi.
Meskipun lokasi kampung ini cukup dekat dengan perkotaan di mana modernisasi berkembang pesat, masyarakat Kampung Naga tidak tertarik dan mereka beranggapan bahwa "Kesederhanaan membawa kesenangan dalam hidup, jadi kenapa harus berlebihan?"
Pandangan itu menjadi falsafah hidup Adat Naga yang tertera dalam tutur sebagai berikut:
"Teu saba, teu soba. Teu banda, teu boga. Teu weduk, teu bedas. Teu gagah, teu pinter."
Artinya, jika mau hidup bahagia warga Naga harus menjauhi kehidupan harta, tidak merasa lebih tinggi dari yang lain, dan hidup secukupnya secara bersahaja.
Jika kita menelusuri lebih dalam tentang Kampung Naga, tidak heran jika kampung ini sering mendapatkan berbagai penghargaan, salah satunya Kampung Naga terpilih sebagai pemenang Green Gold kategori Pelestarian Budaya Lingkungan dari Kementerian Pariwisata dan Indonesia Sustainable Tourism Awards (ISTA) Festival 2019 serta penghargaan lainnya.
Dari cerita tentang Kampung Naga ini kita bisa belajar, ternyata bukan harta yang membuat kita bahagia tetapi kesederhanaan yang akan membawa kita menemukan kebahagiaan tersebut.