Abdullah bin Abdul Muthalib (545-570) adalah ayah dari Nabi Muhammad SAW. Ia adalah putra bungsu dari Shaibah (Abdul Muthalib). Abdullah, Abu Thalib, Zubair dan lima orang anak perempuan Abdul Muththalib berasal dari ibu yang sama. Ibu mereka bernama Fatimah binti Amru bin 'Aid al-Makhsumi, salah seorang dari lima Fatimah yang menjadi nasab Rasulullah saw.
Sedangkan nasabnya, Abdullah bin 'Abdul Muthalib (Shaiba) bin Hashim (Amr) bin Abdul Manaf (Al-Mughira) bin Qushay (Zaid) bin Kilab bin Murrah bin Ka`b bin Lu'ay bin Ghalib bin Fahr (Quraisy) bin Malik bin An-Nadr (Qais) bin Kinana bin Khuzaimah bin Mudrikah (Amir) bin Ilyas bin Mudar bin Nizar bin Ma`ad bin Adnan.
Biasanya, dalam memprediksi tahun kelahiran seorang tokoh yang tidak hadir pada zamannya, sejarawan mengaitkannya pada kejadian besar yang pernah terjadi pada masa tokoh itu hidup, sebelum dia lahir, ataupun setelah kematiannya. Seperti saat menentukan kelahiran Nabi Besar Muhammad SAW yang bersanding dekat dengan peristiwa diserangnya Kabah oleh tentara bergajah pimpinan Abrahah. Kemudian sejarah mengenalnya sebagai amul fiil (tahun gajah) 570 M.
Uniknya, dalam kasus Abdullah bin Abdul Muthalib tidak ada kejadian berdekatan yang bisa disandarkan untuk menentukan tahun kelahirannya. Hingga para sejarawan dalam menentukan tahun kelahirannya perlu menarik jauh masanya sampai tahun gajah, di mana pada tahun itu pula anak semata wayangnya, Muhammad, lahir.
DR. Haikal dalam Hayat Muhammadmencoba membongkar misteri tahun kelahiran Abdullah hingga terciptalah syajarah nasab (pohon nasab) yang memuat silsilah keluarga Nabi berikut tahun kelahirannya.
Qusay lahir tahun 400 M, Abdul Manaf 430 M, Hasyim 464 M, Abdul Muthalib 497 M, Abdullah 545 M, Muhammad SAW 570 M (bertepatan dengan tahun gajah, -red). Berdasarkan perhitungan tersebut maka DR. Haikal menetapkan angka 25 sebagai usia wafatnya Abdullah bin Abdul Muthalibterhitung sebelum tahun gajah. Tidak banyak sejarawan yang mencatat masa kecilnya, kecuali hanya sebuah deskripsi bahwa Abdullah, ... seorang yang paling bagus rupa dan akhlaqnya di antara suku Quraisy... dari wajahnya terpancar cahaya Nabi seorang lelaki yang sedap di pandang di antara suku Quraisy..." (Abdullah Abun Nabi, hal. 109).
Memang tidak ada seorang pun yang mampu melukis sosok Abdullah bin Abdul Muthalib secara detail. Namun mengikuti perkataan Nabi SAW bahwa saat seseorang semakin bertambah umurnya, dia akan semakin menyerupai bapaknya. Maka cukuplah meraba sosok Abdullah bin Abdul Muthalib dari sifat-sifat yang ada pada diri anaknya, Muhammad SAW.
Kisah penyembelihan.
Dalam Mustadrak-nya, Al-Hakim meriwayatkan sebuah hadis dari Muawiyyah yang mengisahkan Rasul pernah dipanggil dengan Ibnu Adz-Dzabihaini oleh sahabat Ibnu Arabi. Beliau hanya tersenyum tanpa sedikit pun menyangkalnya.
Rasulullah SAW berkenaan dengan kisah tersebut berkata yang artinya, "Saya adalah putera dari dua orang yang dikurbankan." Imam Ridha as berkata mengenai sabda Rasulullah SAW tersebut, Yang dimaksud dua orang yang dikurbankan adalah Ismail dan Abdullah. Sahabat lain pun bertanya: Siapa Dzabihaini itu ya Rasulullah? Mereka berdua Ismail dan Abdullah, Jawab Rasul. Banyak sekali hadis yang mengabarkan peristiwa ini dengan berbagai macam redaksi.
Mengenai latar belakang nazarnya, disebutkan dalam riwayat mursal dari az-Zuhri dan Abu Mijlaz bahwa Nadzar Abdul Muthalib ini terkait dengan penggalian kembali sumur zam-zam. (as-Sirah an-Nabawiyah as-Sahihah, Dr. Akram al-Umari).
Sebagai keturunan keluarga besar Qushay bin Kilab, Abdul Muthalib mempunyai tanggung jawab besar tentang segala bentuk yang berkaitan dengan Kabah. Termasuk soal penyediaan air minum bagi jamaah yang tengah melaksanakan haji. Sebelum menemukan sumur Zamzam, Abdul mengambil air dari sumur-sumur di luar Makkah yang kemudian ditampungnya di wadah air yang ada di sekitar Kabah.
Suatu hari Makkah tengah mengalami paceklik. Masalah ini tentunya membuat Abdul Muthalib bingung karena ribuan jamaah haji akan segera datang ke Makkah. Abdul Muthalib mengumpulkan para kabilah Quraishy untuk memecahkan permasalahan ini secepatnya. Mereka pun mendiskusikan ini di rumah Abdul Muthalib. Di tengah perbincangan, mereka teringat akan kabar sumur yang tak pernah habis sepanjang masa. Sumur itu bernama Zamzam. Sayangnya, sumur itu dikabarkan telah berabad-abad hilang dan tak ada yang tahu persis letak lokasi sumur itu berada.
Namun di tengah kegalauan Abdul Muthalib, mukjizat diturunkan Allah SWT kepadanya. Lewat mimpinya, Abdul Muthalib seolah diarahkan untuk menemukan sumur Zamzam. Dalam mimpinya berkali-kali itu, Abdul Muthalib diperintahkan untuk menggali sumur Zamzam.
Ibnu Hisyam menyebutkan, "Ketika Abdul Muthalib tidur di Hijir, dia mimpi didatangi seseorang dan disuruh untuk menggali sumur Zamzam."
Dalam mimpinya Abdul Muthalib mengaku bertemu dengan sesosok orang yang menyuruhnya segera menggali sumur Zamzam."Ketika aku sedang tidur di hijir Ismail, aku mendengar suara, "Galilah Thayyibah (Zamzam)!" "Apa itu Thayyibah?" tanya Abdul dalam mimpinya. "Tetapi kemudian orang itu pergi dan besoknya ketika tidur, aku kembali mendengar suara yang sama," kata Abdul Muthalib. "Galilah Birrah (Zamzam)!" seru sosok itu. "Apa itu Birrah?" tanya Abdul Muthalib." Tetapi orang itu kembali pergi. Keesokan harinya, ketika aku tidur aku mendengar lagi suara yang sama," kata Abdullah. "Galilah Al-Madhnunah!" kembali seru sosok itu. "Kemudian orang itu pergi. Besoknya, ketika aku tidur, orang itu datang lagi dan berkata yang sama," kata Abdul Muthalib.
"Galilah Zamzam?" "Apa itu Zamzam?" "Air yang tidak kering dan tidak meluap, dengannya engkau bisa memberi minum para jamaah haji. Letaknya di bawah timbunan tahi binatang dan darah. Ada di paruh gagak yang tuli, di sarang semut."
Demikianlah mimpi itu menunjukkan kepada Abdul Muthalib letak terkuburnya sumur Zamzam. Ada pun maksud dari "Di antara kotoran darah" adalah airnya mengenyangkan dan menyembuhkan penyakit. Sementara kata "Sarang semut" mempunyai banyak makna, di antaranya Zamzam sebagai mata air di Mekkah akan dikerumuni orang-orang yang melaksanakan haji dan umrah dari setiap penjuru laksana semut mengerumuni sarangnya.
Saat itu pembesar Quraisy menentang keras hasrat Abdul Muthalib menggali sumur Zamzam dikarenakan letaknya yang berada di antara dua berhala, Ash dan Nailah. Selain itu, mereka juga mengetahui Abdul Muthalib tidak mempunyai apa dan siapa, kecuali seorang anak laki-laki yaitu Al-Harits. Hal ini membuat Abdul Muthalib tidak berdaya.
Abdul Muthalib pun beranjak pergi dalam galau yang mendalam. Lalu berdiri di hadapan Kabah dan bernadzar kepada Allah SWT. Dalam sebuah hadits riwayat Ibnu Saad yang sanadnya marfu sampai Abdullah bin Abbas (ra), menuturkan:
Ketika Abdul Muthalib bin Hasyim menyadari bahwa hanya sedikit kemampuan yang dia miliki untuk menggali Zamzam, dia pun bernadzar, Jika aku dikaruniai sepuluh anak laki-laki, dan setelah mereka dewasa mampu melindungiku saat aku menggali Zamzam, maka aku akan menyembelih salah seorang dari mereka di sisi Kabah sebagai bentuk korban. Seiring perjalanan zaman, anak-anak Abdul Muthalib pun menjadi besar dan telah genap sepuluh orang. Abdul Muthalib berniat merealisasikan rencananya menggali Zamzam, sambil bersiap-siap mengorbankan salah satu anaknya sebagai bentuk pelaksanaan dari nazar yang dia ucapkan.
Maka dilakukanlah undian atas sepuluh anaknya, lalu keluarlah nama anaknya yang paling kecil, Abdullah. Ketika nama Abdullah keluar dalam undian, maka orang yang ada di sekitarnya berusaha menolak, mereka mengatakan tidak akan membiarkan Abdullah disembelih. Abdullah saat itu terkenal sebagai seorang yang bersih, tidak pernah menyakiti siapa pun. Senyuman khas Abdullah terkenal sebagai senyuman yang paling lembut di kawasan jazirah Arab. Muatan rohaninya demikian jernih, dan hatinya yang mulia seolah taman bunga di tengah gurun sahara yang tandus. Sungguh Abdullah telah menarik simpati masyarakat di sekitarnya.
Oleh karena itu, semua manusia datang kepadanya dan menentang usaha penyembelihannya. Para pembesar Quraisy berkata, Lebih baik kami menyembelih anak-anak kami sebagai tebusan baginya, daripada ia yang harus disembelih. Tidak ada yang lebih baik dari dia. Pertimbangkanlah kembali masalah ini, dan biarkan kami bertanya kepada Kahin (Peramal-dukun).
Abdul Muthalib tidak mampu menghadapi tekanan ini, lalu mempertimbangkan kembali apa yang telah ditetapkannya. Kemudian pembesar Quraisy mendatangi seorang Kahin. Berapa taruhan yang kalian miliki? Tanya Kahin. Sepuluh ekor unta. Jawab mereka. Datangkanlah sepuluh unta, lalu lakukanlah kembali undian atasnya dan atas nama Abdullah, jika dalam pengundian yang keluar nama Abdullah lagi maka tambahlah sepuluh ekor unta, begitu seterusnya, hingga tidak keluar lagi nama Abdullah, perintah Kahin kepada mereka. Kemudian dilakukanlah undian atas nama Abdullah dan sepuluh ekor unta yang besar.
Undian itu pun masih selalu mengeluarkan nama Abdullah, dan Abdul Muthalib menambah sepuluh ekor unta lagi, hingga saat jumlah unta mencapai seratus ekor maka keluarlah nama unta tersebut. Masyarakat begitu gembira hingga berlinang air mata, demi menyaksikan Abdullah berhasil diselamatkan. Kemudian disembelihlah seratus ekor unta di sisi Kabah sebagai ganti Abdullah. Kedua hadits di atas (hadits pengakuan nabi sebagai ibnu Adz-Dzabihaini dan hadits kisah penyembelihan Abdullah) mengisyaratkan sebuah konklusi, walau keduanya berbeda dalam status, namun keduanya bersepakat bahwa Abdullah bin Abdul Muthalib adalah Adz-Dzabih sebagaimana Ismail. Maka tanpa melihat status gharibnya hadits Ana Ibnu Ad-Dzabihaini, Muhammad tetaplah ibnu Dzabihaini.
Pernikahan dengan Aminah.
Sebagian dari periwayatan menyebutkan, bersamaan dengan hari disembelihnya 100 ekor unta untuk menggantikan posisi Abdullah, Abdul Muththalib membawa satu ekor unta yang telah disembelihnya ke rumah Wahab bin Abdu Manaf, ketua kabilah Bani Zuhrah dan melamar putrinya Aminah binti Wahab yang saat itu dipandang sebagai semulia-mulianya perempuan Qurays dari sisi nasab dan kedudukan untuk dinikahkan dengan Abdullah.
Pagi itu memang hari yang membahagiakan bagi Muththalib dan Bani Hasyim. Dia akan menikahkan Abdullah, salah satu anak dari 13 anaknya. Mengenakan pakaian terbaik, dia menggandeng Abdullah, anak lelakinya yang berusia 25 tahun menyusuri pinggiran kota Mekkah menuju rumah Aminah. Tapi sebelum tiba di kediaman mempelai perempuan, mereka harus melewati permukiman Bani Asad, salah satu dari Suku Quraisy yang mempertahankan kepercayaan Nabi Ibrahim AS di tengah masyarakat yang Jahiliyah.
Pada saat itulah, mereka bertemu dengan Qutaylah yang tampaknya sengaja menunggu di pintu rumahnya yang terbuka separuh. Dialah perempuan yang di kalangan masyarakat Quraisy, bukan saja terkenal karena kecantikan wajah dan perilakunya, melainkan juga karena kabilahnya, Bani Asad, adalah kabilah alim, ahli kitab. Selain Qutaylah, nama-nama tersohor dari kabilah itu antara lain Khadijah ra. dan Waraqah
Qutaylah tak bisa menahan diri untuk tidak menyapa Abdullah. Saudara perempuan pendeta Waraqah itu terang-terangan meminta Abdullah agar menjadikan dirinya sebagai istri, ketika pada suatu pagi, Abdullah yang digandeng oleh ayahnya, Abdul Muthallib berjalan terburu-buru melintas di jalan di depan halaman rumahnya. Wajah Abdullah memerah oleh lamaran spontan Qutaylah, dan dengan tersipu dia menjawab dirinya akan menikahi Aminah, perempuan dari Bani Zuhra. Qutaylah sudah menduga Abdullah akan menolaknya tapi dia tak mengira Abdullah akan menikahi Aminah. Maka mendengar jawaban Abdullah, Qutaylah tak bisa berbuat apa-apa kecuali hanya terus berdiri di pintu rumahnya. Abdullah memang menarik perhatiannya. Pemuda dari Bani Hasyim itu juga terkenal di masyarakat Mekkah sebagai pemuda tampan meskipun bukan soal itu yang menarik perhatian Qutaylah.
Muhammad ibn Ishaq di buku Sirah Rasul Allah, Kehidupan Nabiedisi Wustendfeld menggambarkan, pagi itu, Qutaylah melihat cahaya pada wajah Abdullah yang seolah memancar dari luar dunia. Dan mata Qutaylah tak berhenti melihat Abdullah bahkan ketika lelaki dan bapaknya itu sudah berjalan menjauh dari halaman rumahnya.
Dia kembali berjumpa dengan Abdullah sehari setelah Abdullah menikahi Aminah, ketika laki-laki itu kembali melewati jalan di depan rumahnya, tapi Qutaylah tak mau lagi menyapa kendati matanya tetap menatap tajam. Abdullah keheranan dengan perubahan sikap Qutaylah, dan ketika dia bertanya penyebabnya, Qutaylah menjawab: Cahaya yang ada padamu kemarin telah hilang. Hari ini engkau tak lagi bisa memenuhi harapanku. Abdullah bertambah heran. Sesungguhnya cahaya yang terpancar dari wajah Abdullah adala nur yang Agung kekasih Allah, telah berpindah ke rahim yang mulia Sayidah Aminah.
Pernikahan Abdullah dan Aminah terjadi pada tahun 569 Masehi. Dan setahun setelah itu dikenal sebagai Tahun Gajah, tahun ketika Muhammad (anak mereka) dilahirkan. Anak mereka itulah, yang diimani oleh kaum Muslim sebagai utusan Allah yang terakhir.
Manusia yang tak sekali pun pernah mengajarkan kebencian. Nabi yang mengajarkan agar manusia berbakti kepada ibu mereka. Manusia yang mengajarkan agar manusia memelihara amanat. Nabi yang memiliki kekuasaan besar tapi rumahnya hanya cukup untuk menampungnya tidur. Manusia yang tak pernah berhenti berdoa untuk kebaikan manusia lain.
Hari wafatnya.
Abdullah, ayah Rasulullah SAW meninggal dunia ketika umurnya mencapai 25 tahun, di kota Yastrib di perkampungan paman ayahnya dari suku Bani al-Najjar di sebuah rumah yang dikenal dengan sebutan Dar al-Nabghah dan di tempat itu pula ia dimakamkan.
Menurut pendapat yang paling kuat, Abdullah wafat sebelum kelahiran putranya (Muhammad). Namun Ya'qubi berpendapat lain bahwa Muhammad lahir sebelum ayahnya (Abdullah) wafat. Syaikh Ya'qubi berpegang pada riwayat dari Imam Shadiq as yang menyebutkan bahwa Nabi Muhammad saw lahir dua bulan sebelum wafatnya Abdullah. Syaikh Kulaini juga meyakini pendapat tersebut.
Sebagian kecil lainnya berpendapat bahwa wafatnya Abdullah satu tahun setelah kelahiran Rasulullah SAW. Ada yang menyebut 28 bulan dan ada pula yang meyakini 7 bulan setelah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sementara Mas'udi meriwayatkan dua pendapat yaitu satu bulan dan dua tahun pasca kelahiran Nabi Muhammad SAW.
Penyebab meninggalnya Abdullah di kota Madinah disebutkan: Abdullah untuk perjalanan dagang membawa kafilah dagang Qurays ke Syam. Dan dalam perjalanan kembali karena diserang sakit ia beristirahat di kota Yastrib dan terbaring sakit selama satu bulan di kota tersebut. Rombongan dagang tetap melanjutkan perjalanan ke kota Mekah, dan mengabarkan mengenai kondisi Abdullah yang kritis. Mendengar berita tersebut, Abdul Muththalib mengutus puteranya yang paling tua, yaitu Harits untuk melihat kondisi Abdullah. Namun setibanya Harits di Yastrib, Abdullah telah meninggal dunia.
Abdullah mewariskan seorang budak yang bernama Ummu Aiman, 5 ekor unta, kawanan kambing, pedang tua, dan sejumlah uang untuk putranya (Nabi Muhammad SAW).