Mendengar kata remaja, kerunyaman soal perasaan sudah bukan hal aneh karena pada dasarnya kebergejolakan perasaan atau reaksi akan berbagai situasi pada remaja adalah bagian dari salah satu fase yang pasti dilalui kalangan remaja untuk terus berkembang, belajar dari pengalaman, dan menjadi seseorang yang seutuhnya memahami dirinya sendiri. Merupakan hal yang wajar pula bagi kalangan remaja untuk melakukan sesi curhat dengan sesamanya. Berbagi kisah, bertukar pikiran, saling memberi saran dan lain sebagainya. Realitanya, hal-hal tersebutlah yang juga menjadi salah satu warna-warninya kehidupan remaja yang tak pernah luput dari keseruan mendengarkan sebuah curhatan atau bercurhat. Mengapa demikian?
Remaja pada hakikatnya bukan hanya membutuhkan pemenuhan kebutuhan yang sifatnya fisik, tetapi lebih kepada pemberian kasih sayang melalui pendampingan secara psikologis (Ritzer dalam Suharni, 2017). Faktor yang dapat menimbulkan masalah pada remaja adalah dorongan kompleks tertentu akibat perubahan biologis dan psikologis (Nadiya, 2017). Masa remaja adalah masa-masa di mana perasaan-perasaan bekerja dengan sangat aktif sehingga menjadi sangat peka dan mengalami badai topan dalam kehidupan perasaan dan emosinya. Untuk mengatasi gejolak perasaan yang dialami kalangan remaja, dibutuhkan komunikasi terbuka yaitu dengan kebiasaan mendengarkan yang baik. Mendengarkan adalah proses psikologis menginterpretasi dan memahami apa yang dikatakan orang lain menurut Santrock dalam bukunya Human Adjustment. Bangun relasi baik dengan sesama melalui komunikasi yang mendengarkan adalah cara terpenting untuk memahami lika-liku kehidupan para remaja. Komunikasi yang mendengarkan berarti komunikasi yang terlibat, terutama dalam menjawab berbagai kebutuhan psikologis remaja.
Komunikasi yang terbuka, empatik, dan memberi ruang untuk berbagi pengalaman pribadi mempererat dekatnya sebuah relasi dialami (Rowen, Wilsher Dennis, dkk. Dalam Fensi, 2016). Mendengar secara empatik tidak hanya mendengar dengan telinga, namun mendengar dengan mata dan hati, merasakan, memahami, menyelami, dan berintuisi (Covey dalam Makmun, 2013). Mendengarkan secara empatik memang membutuhkan kepekaan dan kepedulian yang mendalam mengingat kita juga harus bisa merasakan, memahami, menempatkan diri kita pada situasi yang sama dengan apa yang diceritakan dengan kawan, sahabat, significant other atau siapapun lawan bicara kita. Empati itu sendiri didefinisikan sebagai kemampuan mendengarkan untuk mengidentifikasi atau memahami dengan cara seolah mengalami sendiri perasaan, pikiran, atau sikap orang lain (Brooks & Goldstein dalam Makmun, 2013).
Mengapa menjadi pendengar yang empatik dianggap sangat penting? Karena keuntungan yang didapat tidak hanya berpusat bagi kita sebagai pendengar dalam merajut kedekatan dan rasa percaya bagi lawan bicara, namun juga bagi pihak lawan bicara yang menuangkah kisahnya. Sebab ia akan merasa dihargai, didengarkan, merasa bahwa perosalan yang ia alami bukanlah hal yang pantas disepelekan, merasa ditolong dan dilindungi, merasa adanya sosok yang peduli dan ada untuknya walau hanya dengan duduk dan menyimak kisah yang ia tumpahkan.
Menjadi pendengar empatik kerap disepelekan karena banyaknya opini khalayak bahwa mendengarkan adalah hal yang membosankan walau jelas sebaliknya. Mendengarkan dengan rasa empati tentunya membuat kita seara otomatis memperhatikan detail-detail kecil pada kisah yang kita dengar seperti siapa sajakah yang terlibat dalam kisahnya, seberapa lama ia memendam kisahnya hingga detik itu, siapa saja yang ada di sisinya saat itu, bagaimana ia melawan seluruh perasaan negatifnya, dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut membuat kita semakin concern dengan apa yang dirasakan lawan bicara, membuat kita ingin memberikan segala terbaik untuk menyemangati dan memberikan bentuk kenyamanan baik dalam tindakan maupun kata-kata sebab meningkatnya keinginan untuk menolong.
Bentuk kebaikan sekecil apa pun sangatlah berharga bagi lawan bicara, walaupun sekecil mendengarkan. Kita tidak akan pernah tau apa dampak dari bentuk kepedulian kita bagi pendengar. Walau mendengarkan mungkin dipandang sepele bagi beberapa orang, namun ketersediaan seseorang untuk duduk, menyimak, menemani, memperhatikan, menunjukkan rasa dan bentuk kepedulian akan apa yang telah ia lalui jauh lebih berharga dari apa yang kita bayangkan. Bahkan satu kalimat yang keluar dari mulut kita sebagai bentuk penyemangat atau bentuk janji untuk menemani dan senantiasa ada untuk lawan bicara dapat dikenang dan mungkin menjadi motivasi bagi pendengar untuk keluar dari 'zona terpuruk'-nya dan menjadikan sudut pandangnya tak lagi sempit dan hingga akhirnya mampu 'berdamai' dengan masa lalu yang kelam atau persoalan yang telah mengganggu mentalnya dalam kurun waktu tertentu.
Mendengarkan dengan empati juga membantu mengasah kepekaan dan meningkatkan kepedulian antar sesama. Mengingat mereka atau kamu para remaja berada di fase yang sama dan proses komunikasi yang mendengarkan atau empatik tersebut dapat menjadi salah satu jendela untuk mengasah, memupuk, dan meningkatkan sifat empati kepada sesama. Hal ini diharapkan akan menjadi salah satu bentuk pemupukan karakter terpuji dan peduli antar sesama bagi seorang remaja setelah menginjak fase dewasa dan memasuki ranah lingkup sosial yang lebih luas dan dihiasi dengan persoalan-persoalan kehidupan yang jauh lebih kompleks nantinya. Maka, mari budayakan menjadi pendengar yang empatik karena dunia membutuhkan lebih banyak lagi jiwa-jiwa penolong dan peduli sesama.
Source
- Santrock, J.W. (2006). Human Adjustment. The McGraw-Hill Companies Inc.
- Makmun, S. (2013). Memahami Orang Lain Melalui Keterampilan Mendengar Secara Empatik. Jurnal Humaniora, Vol. 4, No. 1, hlm.422-431. Diakses dari http://research-dashboard.binus.ac.id/uploads/paper/document/publication/Proceeding/Humaniora/Vol.%204%20No.%201%20April%202013/_42_101_CB_Sukron%20Makmun_memahami%20org%20lain%20--%20EDITED.pdf
- Fensi, F. (2016). Mendengarkan Sebagai Model Komunikasi Untuk Memahami Remaja. Jurnal Psikologi Psibernetika, Vol. 9, No. 2, hlm.146-155. Diakses dari http://journal.ubm.ac.id/index.php/psibernetika/article/download/471/448.
- Suharni (2017). Pemahaman Tentang Remaja Dan Permasalahannya. Jurnal Bimbingan Dan Konseling, Vol. 1, No. 2, hlm. 168-179. p-ISSN : 2541-6782, e-ISSN : 2580-6467. Diakses dari http://ojs.upy.ac.id/ojs/index.php/gjbk/article/view/898/729.
- Nadiya. K. (2017, September 6). Remaja Dan Media Sosial Tanpa Batas. Kompas. Diakses dari https://www.kompasiana.com/khairuna/59af5622085ea66e736f07e2/masalah-remaja-dan-pengaruh-media-sosial.