Pembahasan mengenai anak-anak telah sering ditulis di berbagai media massa maupun diseminarkan. Namun demikian, anak-anak tetap aktual dan menarik untuk didiskusikan karena disadari ataupun tidak, mereka merupakan pangsa pasar yang potensial bila dihadapkan dengan berbagai produk budaya populer yang masing-masing menawarkan ideologinya sendiri yang khas. Lagu sebagai salah satu produk budaya populer merupakan gabungan antara musik dengan bahasa, yang dinikmati oleh banyak orang termasuk anak-anak dengan berbagai alasan yang berbeda. Mulai dari membantu mengatasi kebosanan, mengusir kesedihan, melepaskan stres atau hanya untuk sekadar iseng belaka.
Sebenarnya konsep lagu anak sendiri sering kali tidak memiliki batasan yang jelas, apakah lagu yang ditujukan untuk anak-anak, atau lagu yang dinyanyikan oleh anak-anak. Namun yang jelas, saat ini kondisi lagu anak di Indonesia sedang memprihatinkan, tidak hanya ditinjau dari segi minimnya jumlah produksi lagu anak, tetapi juga dari segi kualitasnya. Bila ditinjau dari sejarah perkembangannya, lagu anak di Indonesia dapat dikatakan mengalami degradasi. Dari yang dulunya pada era 70-80-an lagu anak mengalami masa keemasan, kemudian sedikit demi sedikit mengalami kemunduran sampai dengan pertengahan era 90-an dan akhirnya benar-benar tidak terdengar lagi gaungnya pada era 2000-an ini.
Di era 2000-an ini, media dalam hal ini televisi tidak banyak menayangkan program acara dalam bentuk musik untuk anak-anak. Bandingkan dengan program acara musik yang diperuntukkan bagi remaja, hampir setiap stasiun televisi tiap harinya menayangkannya, misalnya acara Dahsyat (RCTI). Padahal di era 80-an maupun era 90-an, hampir setiap stasiun televisi memiliki program acara musik anak-anak, baik dalam format pertunjukan langsung maupun pemutaran video clip dari para artis penyanyi cilik. Ayo menyanyi, Lagu pilihanku, Klab Klib, Tralala Trilili, Ci Luk Ba adalah sedikit dari sekian banyak acara musik untuk kalangan anak-anak yang terkenal pada masanya masing-masing. Pihak stasiun televisi saat ini tidak lagi menayangkan acara musik anak dengan alasan minimnya stok penyanyi cilik dan lagu anak yang ada.
Saat ini yang sedang tren acara musik untuk anak dalam bentuk kompetisi menyanyi semacam Idola Cilik (RCTI) dan Akademi Fantasi Indosiar Junior (Indosiar) ataupunThe Voice of Indonesia (GTV). Acara kontes semacam itu merupakan acara televisi yang lebih dipilih oleh anak-anak dibandingkan film animasi. Sayangnya, lagu-lagu yang dibawakan dalam kontes-kontes menyanyi tersebut mayoritas justru bukan merupakan lagu anak-anak. Paling banyak hanya sekitar 5% saja dari lagu yang dibawakan peserta kontes yang dapat digolongkan lagu anak. Bintang tamu yang dihadirkan untuk meramaikan acara kontes pun bukan artis penyanyi cilik, tapi justru dari kalangan artis penyanyi dewasa baik solo maupun band yang lagu-lagunya sedang digandrungi dan sering dinyanyikan.
Minimnyalagu anak.
Arus globalisasi memang tak dapat kita bendung dan tidak disangkal merupakan bagian dari denyut kehidupan abad ini. Salah satu dampaknya adalah maraknya sajian hiburan di media massa saat ini. Sayangnya, baik televisi maupuan radio semakin jarang menyajikan lagu anak-anak. Hal ini bertolak belakang dengan kondisi lagu anak di Indonesia pada era 70-80-an. TVRI sebagai satu-satunya stasiun televisi senantiasa menghadirkan tayangan lagu anak-anak secara reguler setiap minggunya melalui acara semacam Ayo Menyanyi dan Lagu Pilihanku. Acara berdurasi 30 menit tersebut menampilkan artis-artis cilik yang sedang tenar atau dari sanggar-sanggar berprestasi. Periode 70-80-an ditandai dengan hadirnya artis-artis cilik yang terkenal, antara lain Adi Bing Slamet, Cicha Koeswoyo, Sari Yok Koeswoyo, Diana Papilaya, Dina Mariana atau Yoan Tanamal.
Era 90-an, seiring dengan menjamurnya stasiun televisi swasta, berdampak pada banyaknya pilihan tayangan yang ditawarkan, tidak terkecuali tayangan anak-anak dalam bentuk musik. Pada periode ini hampir setiap hari ada tayangan televisi yang memutar lagu anak-anak dalam bentuk video clip. RCTI , SCTV, dan AN TV merupakan stasiun televisi yang kerap menayangkan tayangan jenis tersebut, seperti Trala Trilili dan Video Anak Anteve (Agnes Monica), Klap Klip (Dhea), Enno Ceria (Enno Lerian), Pesta Ceria Anak dan Ciluk Ba (Maisy). Radio juga banyak memutar lagu anak karena memang produksi lagu anak pada zaman ini cukup banyak. Nama-nama artis cilik yang cukup terkenal pada masa ini antara lain Joshua, Sherina, Tasya, Trio Kwek-kwek, Chikita Meidi, Maisy, dan Agnes Monica.
Pada era 2000-an, tayangan lagu anak dalam bentuk video clip di televisi sudah semakin jarang. Memang masih ada beberapa lagu anak-anak yang dinyanyikan oleh penyanyi cilik, namun tidak bisa booming seperti lagu anak-anak pada era sebelumnya karena kurang terasa gaung pemasarannya, misalnya melalui penayangan video clipnya di televisi. Tayangan musik untuk anak disajikan dalam bentuk kompetisi menyanyi semacam Idola Cilik (RCTI) atau Akademi Fantasi Indosiar Junior (Indosiar). Konsep acara-acara tersebut bertujuan untuk mencari bibit-bibit baru penyanyi anak-anak dan menggali bakat menyanyi anak. Namun, pada praktiknya, lagu-lagu yang dibawakan dalam kontes-kontes menyanyi tersebut mayoritas justru bukan merupakan lagu anak-anak. Hal ini berarti, anak-anak disuguhi lagu-lagu dewasa bahkan dalam tayangan yang katanya dikemas dan diperuntukkan bagi anak-anak.
Di Indonesia, perkembangan lagu anak-anak sepertinya memiliki siklus sepuluh tahunan, mulai era 70-an, 80-an dan 90-an. Pada awalnya, sebelum marak industri musik rekaman, lagu anak-anak menyebar dengan cara disosialisasikan dari mulut ke mulut, termasuk melalui ajaran di sekolah. Pada masa ini dikenal lagu anak Satu-Satu atau Naik Delman ciptaan Pak Kasur, Menanam Jagung (Ibu Sud), Bintang Kecil (Pak Dal), Pelangi-pelangi dan Bintang Kejora (AT Mahmud).
Selanjutnya pada tahun 1966, album lagu anak diproduksi dalam bentuk piringan hitam dibuat oleh perkumpulan guru taman kanak-kanak Jakarta, berisi lagu anak seperti Layang-layangku, Kucingku, dan Ke Pasar Ikan. Lagu-lagu tersebut populer di kalangan anak-anak lewat media Radio (RRI).
Pada era 1970-an, lagu anak-anak mulai banyak yang diproduksi oleh industri rekaman, bahkan sempat mengeluarkan lagu anak-anak yang dinyanyikan oleh grup dewasa, yaitu Koes Plus dan The Mercys. Puncaknya pada akhir tahun 1975, Chicha Koeswoyo terkenal dengan lagu anak yang berjudul Heli. Sejak itulah, pendekatan industrial digunakan untuk memproduksi lagu-lagu anak-anak. Akibatnya, penyanyi anak-anak mulai bermunculan dan kebanyakan berasal dari kalangan yang dekat dengan pelaku industri musik, misalnya anak-anak pemusik dan penyanyi Joan Tanamal, Adi Bing Slamet, Sari Yok Koeswoyo, Helen Koeswoyo, Vien Isharyanto, Bobby Sandhora-Mukhsin, sampai Ira Maya Sopha.
Memasuki era 1980-an, ledakan lagu anak-anak masa itu dimulai oleh Puput Melati lewat lagunya yang berjudul Satu Ditambah Satu pada tahun 1988. Puput Melati pun berasal dari keluarga pelaku industri musik, yaitu dari keluarga besar Usman Bersaudara. Kesuksesan Puput Melati diikuti dengan album anak-anak yang lain, seperti dari Melissa dengan Abang Tukang Baso.
Selanjutnya, pada era 1990-an, kemunculan penyanyi anak-anak diawali dengan kesuksesan lagu Susan Punya Cita-Cita yang dipopulerkan oleh Ria Enes, penyanyi dewasa yang meniru suara anak-anak pada tahun 1992. Akhirnya sebuah gebrakan baru pada penggarapan lagu anak dengan musik serius, dimulai oleh Sherina melalui album Jika Aku Besar Nanti yang musiknya digarap oleh Elfa Secioria. Langkah Sherina diikuti dengan kemunculan Tasya dengan album Libur Telah Tiba yang berisi kumpulan lagu-lagu anak ciptaan AT Machmud.
Lantas, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa saja faktor yang menyebabkan minimnya lagu anak di Indonesia? Setidaknya ditengarai ada tiga faktor yang menjadi penyebabnya. Pertama, dalam perkembangan industri musik Indonesia saat ini ditengarai adanya segmentasi pasar yang semakin mengerucut. Akibatnya, major label musik kurang berminat memproduksi lagu anak-anak karena dinilai pangsa pasar yang menyukai lagu anak-anak sedikit atau kurang komersil.
Kedua, menyempitnya lahan promosi lagu anak di media televisi maupun radio yang selama ini dianggap sebagai media paling ampuh untuk ajang promosi. Hal ini dikarenakan televisi maupun radio tidak membuka acara khusus lagu anak dengan alasan stok penyanyi dan lagu anak minim. Kalaupun ada lahan promosi lagu anak disediakan dalam bentuk spot acara yang memasang budget tinggi.
Ketiga, kurangnya pelaku pencipta lagu anak yang berkualitas. Memang tidak dapat dipungkiri menciptakan lagu anak-anak bukan pekerjaan mudah karena diperlukan kecerdasan dan keterampilan untuk menyampaikan pesan-pesan luhur dalam bahasa anak-anak.Akibatnya, tidak setiap pencipta lagu bisa menciptakan lagu anak-anak yang baik. Kalaupun dipaksakan, yang muncul justru lagu anak-anak yang tidak jelas arahnya.