Menurut (Putry, 2016) gender bukanlah kondisi biologis manusia, namun merupakan pembeda antara laki-laki dan perempuan yang berasal dari konstruksi sosial maupun kultural masyarakat. Konstruksi terhadap peran jenis kelamin tertentu dapat berubah, hal itu dipengaruhi oleh tempat, waktu, suku dan lain sebagainya. Gender dibentuk oleh sosial, penempatannya berbeda dari waktu ke waktu dan bukanlah sesuatu yang bersifat universal, antara masyarakat satu dengan lainnya memiliki definisi yang berbeda dalam mengartikan gender (Laksono, 2017).
Konstruksi terhadap gender yang dibangun oleh masyarakat menimbulkan pandangan tentang bagaimana laki-laki dan perempuan seharusnya. Perempuan dianggap cenderung dengan sisi feminin sedangkan laki-laki cenderung dengan sisi maskulin, namun sebenarnya keduanya memiliki sisi feminin maupun maskulin yang terlihat dalam diri individu. Dalam berbagai bidang kehidupan masih sering dijumpai perbedaan yang sangat terlihat jelas mengenai peran, posisi, dan sifat laki-laki maupun perempuan.
Ekspektasi yang dibentuk secara sosial tidak terjadi secara tiba-tiba, namun pemahaman individu dan konstruksi peran gender yang dibentuk oleh pengaruh budaya dan berasal dari pemikiran sebelumnya. Sampai saat ini gender terus melekat dalam kehidupan bermasyarakat, tanpa disadari pemahaman atau pemikiran sebelumnya terus terbawa hingga kini dan membentuk persepsi masyarakat.
Dalam beberapa bidang kehidupan masih terjadi ketidaksetaraan antara jenis kelamin laki-laki dan perempuan. Laki-laki bisa lebih mendominasi pada satu bidang pekerjaan tertentu, begitu juga dengan perempuan. Dalam keluarga, laki-laki dianggap sebagai kepala keluarga dan harus memenuhi kebutuhan ekonomi sedangkan perempuan hanya sebagai ibu rumah tangga, hal ini terjadi karena pandangan yang dibentuk masyarakat bahwa laki-laki adalah pemimpin, bertanggung jawab dan kuat.
Dalam area pendidikan, posisi perempuan berada pada jurusan yang identik dengan sifat feminin seperti keperawatan, bidan dan tata rias. Sedangkan laki-laki identik dengan jurusan bersifat maskulin seperti arsitektur, teknik sipil dan informatika. Begitu pula area pekerjaan, perempuan dianggap lebih cocok dalam pekerjaan yang membutuhkan ketelitian dan kepekaan seperti bidang psikologi, sedangkan laki-laki dianggap lebih pantas pada pekerjaan yang membutuhkan kekuatan fisik.
Pemahaman terhadap gender sudah dibangun dari pemikiran sebelumnya dan dipengaruhi oleh budaya, serta tanpa sadar sudah diterapkan sejak kecil kepada anak yang akhirnya membangun persepsinya mengenai gender. Laki-laki dan perempuan memiliki kemampuan yang sama dalam berbagai hal, sehingga terbentuknya konstruksi gender memberikan batasan-batasan dalam berbagai area kehidupan, pemahaman masyarakat terkait bagaimana laki-laki dan perempuan harus diubah menjadi lebih terbuka, karena gender bukan sesuatu yang permanen dan sifatnya tidak universal.
Pemahaman mengenai gender bisa dibentuk melalui pemahaman-pemahaman baru yang diterima. Masyarakat harus mulai menerima dan menyadari bahwa penting untuk menghapuskan perbedaan antara laki-laki dan perempuan, sebab perbedaan itu hanya menjadi hambatan dalam kehidupan.
Source
- Putry, R. (2016). Manifestasi kesetaraan gender di perguruan tinggi. JURNAL EDUKASI: Jurnal Bimbingan Konseling, 2(2), 1?19. https://doi.org/10.22373/je.v2i2.814
- Laksono, P. (2017). Konstruksi gender di pesantren (Studi kualitatif pada santriwati di pesantren Nurul ummah Mojokerto). Lakon, 6(1), 29?44.