Setiap 26 Januari diperingati sebagai HariKusta Sedunia. Kusta atau lepra selain dikategorikan oleh WHO sebagai salah satu penyakit tropis yang terabaikan (Negleted Tropical Disease) juga dikategorikan sebagai penyakit paling berstigma di dunia.
Kenapa bisa menjadi penyakit paling berstigma? Dan seperti apa Lepra itu?
Yuk, ketahui enam fakta tentang kusta atau lepra berikut ini.
1. Lepra lebih dikenal masyarakat Indonesia sebagai kusta.
Lepra dalam istilah medis dikenal sebagai penyakit hansen. Setelah peneliti berkebangsaan Norwegia, Gerhard Henrik Armauer Hansen menemukan Mycobacterium Leprae sebagai penyebab penyakit ini pada tahun 1873. Penyakit lepra atau lebih dikenal masyarakat awam sebagai penyakit kusta menyerang kulit, syaraf tepi, mukosa di saluran napas atas dan mata penderitanya.
2. Gejala awal yaitu timbul bercak putih sebesar koin.
Gejala awal lepra tidak selalu tampak jelas, namun tanda awal yang biasanya muncul adalah timbulnya bercak putih seperti panu atau bercak merah yang beukuran sebesar koin hingga selebar telapak tangan. Selain itu penderita lepra akan menunjukkan gejala seperti mati rasa terhadap berbagai sensasi seperti perubahan suhu hingga stimulus nyeri, muncul luka namun tidak terasa sakit, muncul lesi atau jaringan abnormal yang menebal pada kulit, penurunan kelemahan otot hingga kelumpuhan terutama pada otot kaki dan tangan, hilangnya alis dan bulu mata hingga hilangnya jari jemari.
3.Penyakit paling berstigma di dunia.
Lepra menjadi salah satu penyakit kuno yang dijelaskan bahkan dalam literatur peradaban kuno di Cina, Mesir, dan India. Sejarah paling awal mengenai penyakit yang diyakini banyak ilmuwan sebagai penyakit lepra muncul dalam dokumen Papirus Mesir yang ditulis sekitar tahun 1550 SM.
Dalam sejarah lepra dianggap sebagai penyakit keturunan, kutukan, ataupun hukuman dari Tuhan. Di Eropa selama Abad Pertengahan, penderita lepra harus mengenakan pakaian khusus, membunyikan lonceng untuk memperingatkan orang lain bahwa mereka ada di sekitarnya, hingga harus berjalan di sisi tertentu menyesuaikan arah angin.Bahkan hingga setelah Gerhard Henrik Armauer Hansen menemukan Mycobacterium Leprae sebagai penyebab biologis penyakit ini, penderita lepra masih terus distigmatisasi dan dijauhi.
Saat ini penderita lepra yang mengalami kecacatan di berbagai negara masih dijauhi, ditolak hak asasi dasarnya, dan mengalami diskriminasi. Padahal stigma yang diberikan kepada lepra akan memengaruhi kondisi fisik, psikologis, sosial dan ekonomi para penderitanya sehingga berkontribusi terhadap kondisi kemiskinan pada daerah-daerah yang terdampak. Perempuan dan wanita yang menderita penyakit ini biasanya juga harus mengahadapi diskriminasi gender dan sosial yang menyebabkan keterlambatan dalam penangganan yang meningkatkan risiko kecacatan.
4. 26 Januari 2020: Hari Kusta Sedunia.
Nyatanya semua stigma tersebut hanyalah kalimat tak beralasan. Lepra merupakan penyakit yang dapat disembuhkan. Sehingga pendidikan kesehatan tentang lepra dan peningkatan akses ke fasilitas kesehatan dianggap menjadi kunci untuk mengurangi stigma terhadap penderita lepra.
Hal ini yang menjadi dasar bagi aktivis kemanusiaan asal Prancis Raoul Follereau, pada tahun 1954 memprakarsai Hari Kusta Sedunia yang diperingati setiap hari minggu terakhir di bulan Januari setiap tahunnya.
Tanggal ini dipilih sebagai penghormatan terhadap kematian Mahatma Gandhi yang selama hidupnya turut berusaha untuk memperbaiki kesehatan para penderita lepra. Tujuan peringatan Hari Kusta Sedunia adalah untuk meningkatkan kesadaran global bahwa lepra merupakan penyakit yang dapat dicegah, diobati, dan disembuhkan.
5. Kementerian Kesehatan: Indonesiatelah berhasil mengeliminasi lepra.
Menurut laporan Kementerian Kesehatan Indonesia, secara nasional Indonesia telah berhasil mengeliminasi lepra di mana pravalensi lepra pada tahun 2000. Namun hingga 2018 masih terdapat beberapa wilayah di Indonesia yang belum mengeliminasi lepra. Artinya angka kejadian kusta di wilayah tersebut masih lebih dari 1 per 10.000 penduduk. Wilayah yang masih terdeteksi angka kejadian lepra yaitu Jawa bagian timur, Sulawesi, Papua Barat, Maluku, dan Maluku Utara.
6. Apa yang dapat kita lakukan untuk menghindari penyebaran lepra?
Mycobacterium Leprae sebagai penyebab penyakit lepra berkembang biak secara perlahan dan memiliki masa intubasi rata-rata lima tahun. Gejala lepra dapat muncul dalam waktu satu tahun namun juga dapat muncul dalam waktu 20 tahun ataupun lebih.Lepra ditularkan melalui droplet atau cairan dari hidung ataupun mulut penderita lepra yang tidak menjalani pengobatan dan menyebar ke udara ketika penderita batuk ataupun bersin yang kemudian dihirup orang lain.
Langkah pencegahan yang sangat penting dilakukan adalah dengan tidak menciptakan tempat lembap di dalam rumah serta memberikan akses sinar matahari masuk ke dalam rumah mengingat bakteri Mycobacterium Leprae dapat bertahan hidup di luar tubuh manusia antara 1-9 hari dan dapat berkembang sangat pesat di suhu dingin.Selain itu menurut Kementerian Kesehatan Indonesia, meskipun 95% manusia telah kebal terhadap penyakit lepra namun masih terdapat 5% manusia yang dapat tertular yang dipengaruhi beberapa faktor fisilogis seperti menopause, faktor infeksi hingga malnutrisi. Sehingga memastikan asupan gizi yang baik guna meningkatkan daya tahan tubuh juga menjadi penting mengingat semakin baik sistem kekebalan tubuh maka resiko tertular serta perkembangan bakteri akan semakin kecil.
Nah, setelah mengetahui enam fakta tentang penyakit lepra tadi, bagaimana pendapatmu? Semoga kita dapat mempelajari lebih lanjut tentang lepra dan menyebarkan pengetahuan tersebut kepada teman, keluarga, hingga masyarakat luas tentang lepra yang dapat dicegah, diobati, dan disembuhkan sehingga tidak ada lagi stigma yang membelenggu para penderita lepra.
Source
- https://web.stanford.edu/class/humbio103/ParaSites2005/Leprosy/history.htm
- https://www.cdc.gov/features/world-leprosy-day/index.html
- https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leprosy
- https://www.who.int/lep/leprosy/en
- Kementerian Kesehatan RI. (2018). Infodatin : Hapuskan Stigma dan Diskriminasi Terhadap Kusta. Jakarta : Kementerian Kesehatan RI