Qatar adalah negara kecil dengan sistem pemerintahan monarki yang berada di wilayah Arab. Populasinya? Kecil sekali. Tercatat ada sekitar 313.000 warga negara asli dengan jumlah pekerja migrant/ expatriate lebih dari 2,3 juta jiwa per sensus penduduk tahun 2017. Timpang sekali, ya?
Anyway, seperti banyak negara wilayah Teluk Persia dan Semenanjung Arab lain, Qatar memiliki kandungan minyak bumi dan gas alam tinggi sebagai sumber utama penghasilan devisa negara. PBB memberikan gelar pada Qatar negara wilayah Arab paling maju untuk urusan perkembangan sumber daya manusia. Walau secara resmi merupakan negara yang mengadopsi hukum Islam / Syariah, namun Qatar relatif moderat untuk orang non muslim yang tinggal, berkunjung, maupun bekerja/beraktivitas di sana. Melihat jumlah pekerja luar negeri yang ada, hal ini jadi indikatornya.
(Sumber gambar: Cover People)
Saya sendiri punya kenalan yang merupakan orang asli Qatar namun sedang belajar/sekolah di Inggris. Dia mengatakan banyak hal di Qatar merupakan representasi kultur yang bercampur baur, namun tetap dalam koridor saling menghormati sehingga gesekan sosial bernuansa negatif segera hilang jika muncul. Dan itu pun sangat jarang terjadi.
Yang pasti, katanya, Qatar tidak berbeda dari negara-negara padang pasir lain dalam satu hal absolut: suhu & cuaca super panas yang terjadi sepanjang tahun. Yang belakangan semakin mengkhawatirkan karena dampak perubahan iklim dari global warming.
Lucunya, Qatar punya solusi ekstrem untuk mengatasi suhu panas negara itu. Yaitu lebih banyak AC bahkan untuk kondisi di luar ruangan.
Sebagai negara yang akan jadi tuan rumah acara olahraga terbesar setelah Olimpiade, atau FIFA World Cup tahun 2022, Qatar tentu paham kalau tidak semua tamu yang akan datang nanti sudah terbiasa dengan suhu panas menyengat. Dan suhu panas yang dimaksud bukan di angka yang main-main; karena pada pertengahan Oktober 2019 saja tercatat suhu udara mencapai angka 46,7 derajat Celsius. Itu panas banget! Sehingga pemerintah di sana memutar otak mencari ide bagaimana mengatasi suhu udara panas ini.
Saud Ghani, seorang profesor engineering dari Qatar University, mendesain sistem pendingin seperti yang bisa dirasakan di Stadion Al Janoub di kota Doha, Qatar. Walau di luar stadion udara panas menyengat, di dalam stadion suhu udara jauh lebih rendah. Sebuah hal yang cukup mengherankan karena desain stadion bukanlah indoor atau tertutup.
Stadion Al Janoub Qatar (Sumber gambar: Gulf Organization for Research and Development)
Rahasianya? Ada di sistem pendingin pada bagian bawah setiap 40,000 bangku stadion. Udara dingin berhembus di level mata kaki yang kemudian terus bersirkulasi ke seluruh area stadion; termasuk ke tengah lapangan permainan yang memiliki rumput berkualitas terbaik untuk bermain sepak bola. Sehingga seisi stadion rancangan Zaha Hadid Architects tersebut terasa sejuk sementara area luar stadion lebih pengap.
Sistem pendingin canggih untuk stadion sepak bola (Sumber gambar: The Washington Post)
Sebagai pemimpin pasar produsen gas alam cair, Qatar memang mampu menyediakan energi untuk sistem seperti itu. Tapi hal tersebut tidak mengubah dan memperbaiki masalah utama dari kenaikan suhu udara yang semakin hari semakin ekstrem di berbagai belahan dunia selain Qatar sendiri: yaitu global warming / pemanasan global penyebab climate change atau perubahan iklim. Di mana salah satu tersangka penyebabnya adalah industrialisasi. Suatu hal yang dijalankan oleh berbagai negara termasuk Qatar sendiri.
Tapi memang selama tiga dekade terakhir temperatur suhu udara Qatar menunjukkan tren peningkatan yang konsisten terlepas dari faktor industri yang ada di sana. Disinyalir kalau kenaikan suhu di Teluk Persia (yang berdekatan dengan negara kecil kaya raya ini) juga termasuk pemberi kontribusi tingginya suhu udara yang ada. Bahkan pada bulan Juli 2010, suhu udara di Qatar menembus rekor di angka 50,4 derajat Celsius. Setengah dari titik didih air. Menyeramkan, bukan? Seakan-akan ada hair dryer raksasa yang diarahkan ke Qatar.
Solusi AC digeber pemerintah Qatar di nyaris setiap sudut untuk mengatasi suhu udara panas. AC ada di mana-mana; stadion sepak bola, pusat perbelanjaan, jalanan trotoar. Jika Anda mematikan AC di Qatar Anda tidak akan berfungsi sebagaimana mestinya karena panas banget, ujar Yousef al-Horr dari institusi Gulf Organization for Research and Development.
AC outdoor di Qatar (Sumber gambar: The Denver Post)
Sementara solusi AC (termasuk yang beroperasi di luar ruangan) merupakan sebuah lingkaran setan karena residu emisi karbon yang mereka hasilkan. Emisi karbon menciptakan kondisi pemanasan global, yang kemudian meningkatkan permintaan AC sebagai pendingin suhu. Yang kemudian akan menghasilkan emisi karbon lebih banyak lagi dari sebelumnya. Permintaan instalasi AC di Qatar diprediksi akan terus meningkat hingga 2030; yang artinya suhu udara bakal semakin panas saja di sana.
Suhu panas juga menjadi masalah untuk pekerja migrant di Qatar. Setidaknya bisa dilihat dari artikel jurnal kardiologi di mana 200 dari 571 kasus gagal jantung di kalangan pekerja migrant Nepal disebabkan stress akibat suhu udara panas.
Sebagai negara kaya, Qatar saat ini memang bisa mengatasi suhu udara panas dengan teknologi pendingin usang seperti AC. Namun mengingat dampak penggunaan AC secara berlebih seperti yang mereka lakukan saat ini, tampaknya di masa depan, uang, minyak maupun gas alam tidak akan mampu mencegah Qatar menuju tanah tandus seperti dunia Hokuto no Ken.
Dan tidak hanya Qatar! Karena jika pemanasan global dan perubahan iklim masih terus terjadi, planet ini akan ada di level "tidak dapat dihuni" dalam waktu dekat. Dan itu menakutkan. Solusi terbaik, namun butuh waktu lebih lama, masih berupa penghijauan. Tapi sepertinya tidak ada satu negara pun yang berminat untuk mencoba hal ini dengan lebih serius.