Salah satu lingkungan yang paling berpengaruh bagi anak adalah lingkungan tempat anak tinggal. Pada tahun 2016 jumlah keluarga yang tinggal pada lingkungan urban mencapai 53% dari keseluruhan populasi dunia sehingga dapat dikatakan salah satu lingkungan yang dominan ditempati oleh anak-anak adalah lingkungan perkotaan atau urban (Kytta, Oliverb, Ikedab, Ahmadic, Omiyad, & Laatikainena, 2018).
Lingkungan perkotaan yang baik untuk anak merupakan lingkungan yang ramah anak. Lingkungan ramah anak yang dimaksud yaitu lingkungan yang memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk bermain, melakukan aktivitas fisik, bergerak aktif, berinteraksi sosial, bergerak bebas dan memiliki pengalaman bermain di ruang terbuka yang mereka tidak dapatkan di lingkungan rumah (Kytta dkk., 2018). Maka dengan begitu anak dapat mengembangkan dirinya secara optimal. Sebaliknya, jika anak tinggal di lingkungan yang tidak ramah, maka anak akan kesulitan mendapat informasi dari lingkungannya yang berdampak tidak optimalnya pengembangan diri seorang anak.
Lingkungan perkotaan tidak ramah anak.
Kenyataan yang kita hadapi saat ini, sebagian besar lingkungan perkotaan kurang ramah terhadap anak. Hal ini karena tempat tinggal perkotaan biasanya terdiri dari sedikit atau tidak adanya ruang hijau yang dapat digunakan anak untuk bermain. Ruang bermain anak pada perkotaan modern telah dibatasi dan dijadikan lembaga seperti playground, halaman sekolah, dan tempat-tempat yang dirancang khusus untuk anak-anak bermain yang bersifat komersial.
Anak kekurangan ruang bermain.
Minimnya ruang bermain anak mengakibatkan anak terpaksa bermain di tempat-tempat yang tidak semestinya digunakan untuk tempat bermain seperti di jalanan, gang, bantaran kali, dan tempat-tempat lainnya yang kurang pas. Selain itu, permainan anak-anak yang sifatnya di ruang terbuka juga mulai ditinggalkan yang kemudian digantikan dengan permainan-permainan anak dalam gadget. Ketika anak bermain gadget maka dia akan cenderung memilih untuk bermain sendiri di rumah dan memiliki interaksi yang minim terhadap orang-orang di sekitarnya. Hal ini membuat anak menjadi cenderung pasif dan individualis sehingga anak akan lebih menikmati ruang geraknya yang mandiri tanpa ada orang tua yang mengatur atau mendampingi si anak yang pada akhirnya hal tersebut dapat berdampak buruk pada anak.
Individualis menjadi dampaknya.
Sikap individualisme seorang anak sangatlah berbahaya. Seorang anak yang telah menjadi individualis karena apa yang mereka dapatkan dari lingkungan bermain maupun lingkungan sosial berkemungkinan besar untuk memiliki perilaku tertutup, bahkan terhadap orangtuanya sendiri. Mereka akan selalu mementingkan dirinya sendiri, tidak memedulikan orang lain dan hanya peduli terhadap urusannya sendiri. Seseorang yang individualisme tidak dapat menilai apa yang ada disekitarnya karena menganggap hanya dirinya yang paling benar.
Dampak lain yang dirasakan anak akibat keterbatasan ruang bermain.
Ketika si anak menginjak masa remaja dan mulai terjerumus dalam kenalakan remaja, biasanya anak akan merasakan hal positif dari kenakalan tersebut seperti merasa bebas dalam menentukan diri mereka sendiri, bebas dari tekanan sosial dan lainnya. Hal positif ini akan membuat anak sulit untuk keluar dari perilaku tersebut karena adanya rasa nyaman yang mereka rasakan. Ini tentu bukanlah hal yang baik. Lambat laun, mereka juga akan merasakan hal negatif yang biasanya berhubungan dengan kondisi fisik, psikis maupun dari lingkungan sosial mereka. Misalnya, efek negatif dari mengonsumsi narkoba berupa timbulnya berbagai penyakit di tubuh mereka serta adanya kecenderungan menjadi ceroboh dan gelisah. Begitu pula dengan melakukan seks bebas yang berdampak terjangkitnya penyakit menular seksual dan seringnya berhalusinasi yang berhubungan dengan keinginan seksual. Adapun hal negatif dari lingkungan sosial yang mereka rasakan seperti mendapatkan stigma buruk dari lingkungan karena penggunaan narkoba dan perilaku seks bebas yang mereka jalani dapat berujung pada tidak diterimanya mereka di lingkungan masyarakat.
Apa yang bisa Bunda lakukan?
Bunda bisa melakukan pencegahan sejak dini. Orang tua memang tidak bisa menolak kesibukan yang sedang hadapinya, apalagi bagi mereka yang masih termasuk ke dalam usia produktif. Namun, anak-anak sangat memerlukan perhatian dari orang tua. Saat anak memasuki tahapan penjelajahan, peran orang tua sebagai pendamping sangatlah penting sehingga pastikan anak kamu mengetahui pengalaman-pengalaman pertamanya langsung dari kamu.
Saat proses ini berlangsung, orang tua dan anak akan belajar mengenai apa yang boleh dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Hal ini dapat dilakukan baik melalui kontak fisik seperti memindahkan anakmu dari hal-hal yang tidak boleh dilakukan atau dengan melakukan peringatan secara lisan. Melalui peringatan lisan secara tidak langsung orang tua dan anak akan membangun sebuah komunikasi yang pada akhirnya hal tersebut dapat meningkatkan kemampuan berkomunikasi seorang anak. Saat itu juga, anak akan belajar tentang hal-hal positif dari orang tuanya, seperti ketika anak diberi tahu bahwa api itu panas namun si anak tidak menggubris peringatan dari orang tuanya yang akhirnya dia tetap menyentuh api sehingga menyebabkan anak mengalami luka bakar. Melalui pengalaman tersebut anak akan belajar bahwa peringatan yang Bunda berikan kepada anak adalah hal yang baik bagi diri mereka.
Maka setelah itu anak juga akan sering meminta saran kepada orang tua tentang apa yang harus mereka pilih atau tidak. Dengan begitu anak menjadi lebih terbuka kepada orang tuanya dan anak pun memiliki pemahaman yang lebih tepat mengenai lingkungannya sehingga dapat mencegahnya dari pergaulan yang negatif.
Source
- Cordovil, R., Ara?jo, D.,Pepping, G., & Barreiros, J. (2015). An ecological stance on risk and safe behaviors in children: The role of affordances and emergent behaviors. New Ideas in Psychology, 36, 50-59. doi: 10.1016/j.newideapsych.2014.10.0070732-118X.
- Kytt?a, M., Oliverb, M., Ikedab, E., Ahmadic, E., Omiyad, I., Laatikainena, T. (2018). Children as urbanites: mapping the affordances and behavior settings of urban environments for Finnish and Japanese children. Children?s Geographies, 1-14. doi: 10.1080/14733285.2018.1453923.
- Miller, P.H. (2002). Theories of Developmental Psychology (5th edition). New York: Catherine Woods.