Brilio.net - Tak bisa dipungkiri bahwa semakin hari bumi ini semakin tua. Bahkan banyak ilmuwan mulai mengkhawatirkan kondisi bumi yang rapuh dan tidak mampu lagi mendukung kehidupan. Hal ini harusnya membuat manusia sadar untuk selalu menjaga dan merawat bumi.

Sudah banyak kasus di mana deretan flora dan fauna terkikis jumlahnya karena pemanasan global. Kini, 20.000 spesies tercatat terancam punah dan akan segera bertambah jika tak dicegah.

Kondisi buruk ini bukan tanpa sebab, perilaku manusialah yang membuat alam menjadi tidak berdaya. Hal ini terjadi bukan karena kesengajaan, namun karena sudah mengakar dan kita tak sadar sedang melakukan pengrusakan lingkungan.

Berikut ini perilaku sehari-hari yang tak disadari ternyata dapat merusak lingkungan, seperti dilansir brilio.net dari merdeka.com, Kamis (28/5).

1. Menggunakan sedotan, sumpit, dan cup plastik.

bbcgoodfood.com  2020 brilio.net

foto: bbcgoodfood.com

Salah satu perilaku pertama yang sangat dekat dengan manusia adalah membeli makanan dengan sistem take away, serta delivery. Akibatnya jumlah sedotan, cup plastik, serta sumpit jadi produksi sampah yang mengerikan.

Terlebih lagi, tidak mampunya plastik diuraikan oleh lingkungan menjadi faktor penggerak banyak ritel dan fast food kini berhenti memberi kresek dan sedotan.

Namun yang lebih buruk lagi ternyata sumpit juga menghilangkan hutan. Sumpit kayu yang biasanya langsung kita buang setelah makan, memangkas 20 juta pohon per tahun dan itu di China saja.

Jadi, tak cuma merusak biota laut karena banyak sampah yang mengalir ke laut, ternyata jantung lingkungan kita juga terdeforestasi karena kebiasaan delivery makanan.

2. Membuang obat sembarangan.

aarp.org  2020 brilio.net

foto: aarp.org

Membuang obat ternyata memiliki aturan tersendiri. Seperti sampah-sampah kita yang lainnya, seringkali mereka menuju ke lingkungan yang kita tak tahu apa saja ekosistem di sana. Cara terbaik ternyata adalah dengan membungkus obat dengan tanah atau ampas kopi untuk mengurangi efek obatnya.

Jika obat belum kedaluwarsa, haram hukumnya untuk dibuang dan justru harus disimpan rapat-rapat di tempat dingin dan terhindar dari sinar matahari untuk dikonsumsi jika dibutuhkan.

Hal ini harus dilakukan karena beberapa obat memiliki dampak langsung bagi lingkungan. Pil KB jika sampai ke laut bisa berpengaruh ke ekosistem ikan, karena pil KB juga bekerja ke hormon ikan.

Terlebih lagi, rantai makanan dan ekosistem sekitarnya juga akan terganggu.

Selain itu, obat antidepresan yang dikonsumsi burung lewat air got atau air kali yang dilaruti obat buangan manusia, berpengaruh pada perilaku burung yang tak mau makan dan berkembang biak, serta tidak kuat lagi hidup di musim dingin.

3. Menggunakan sabun antibakteri.

parkview.com  2020 brilio.net

foto: parkview.com

Sabun antibakteri memang kerap digunakan oleh banyak orang. Tapi ternyata air bekas sabun cuci tangan kita tidak sehat untuk lingkungan.

Berdasarkan studi dari Johns Hopkins dari University Center for Water and Health, dua kandungan sabun antibakteri yakni triclocarban dan triclosan, keduanya sangat berbahaya ketika terdegradasi.

Partikel kimiawinya bahkan termasuk choloform, yang bisa muncul di rantai makanan tumbuhan, hewan, dan manusia. Beberapa studi telah membuktikan kalau kandungan triclosan di lingkungan telah menjadikan tikus dan amfibi mengalami pubertas lebih dini, infertilitas, serta kanker.

4. Menggunakan pasir gumpal untuk kotoran kucing.

animalwised.com  2020 brilio.net

foto: animalwised.com

Tidak ada pembahasan soal apakah pasir kucing bisa merusak lingkungan ketika dibuang. Namun, cara kita mendapatkan pasir kucing, terutama pasir gumpal yang populer digunakan para pecinta kucing indoor karena gampang diserok, ternyata cukup memporakporandakan lingkungan.

Ternyata untuk membuat pasir kucing yang berbentuk gumpal, metodenya adalah dengan pertambangan terbuka. Dengan ini, banyak tanah yang gundul karena permukaan tanahnya dikeruk untuk mendapatkan pasir kucing.

Bahkan banyak kasus di mana pertambangan terbuka yang seringkali izinnya tidak seketat pertambangan biasa, telah mengorbankan kesuburan tanah dan tentunya makanan ternak.

Di dunia barat, permasalahan ini sudah dihadapi dengan deretan alternatif pasir kucing seperti kertas daur ulang, serta gumpal pasir yang terbuat dari kayu dan tumbuhan lainnya.

5. Mengonsumsi kedelai dan minyak kelapa sawit.

businessday.ng  2020 brilio.net

foto: businessday.ng

Konsumsi kedelai di dunia kini sedang tinggi-tingginya. Hal ini karena kedelai adalah alternatif makanan sehat dan non hewani terbaik yang ada. Namun karena hal ini, deforestasi terjadi di area yang sangat masif di daerah tropis seperti Brasil, untuk ditanami kedelai.

Hal ini juga terjadi pada kelapa sawit, di mana fenomena ini terjadi di Indonesia. Indonesia punya lebih dari separuh perkebunan sawit di dunia dan total areanya sebesar pulau Jawa ditambah Sulawesi. Deforestasi yang terganti oleh sawit mengorbankan flora dan fauna yang hidup di hutan-hutan kita.

Soal konsumsinya, produk sawit ada di hampir semua hal yang ada di supermarket: mie instan, biskuit, minyak goreng, dan bahkan produk kecantikan.

Namun hal ini tidak berhenti di soal konsumsi sehari-hari, biofuel dari sawit juga merupakan campuran bensin dan solar di seluruh dunia.

6. Tidak menghabiskan makanan.

worldwildlife.org  2020 brilio.net

foto: worldwildlife.org

Tak menghabiskan makanan adalah salah satu masalah besar dunia, di mana makin maju negara makin berat permasalahan buang-buang makanannya. Menurut studi, tiap tahun secara global ada 1,3 miliar ton sampah makanan dan hal ini jadi ancaman besar bagi lingkungan.

Pasalnya, limpahan sampah makanan ini menghasilkan gas rumah kaca secara masif yang menyebabkan pemanasan global.

Terlebih lagi, makin banyak permukaan tanah hijau dikorbankan untuk jadi lahan pertanian, yang justru memperparah adanya pembuangan sampah makanan. Dengan ini, tak cuma manusia, tumbuhan dan hewan pun ikut jadi korban.

Hal ini sudah banyak dilawan dengan lewat gerakan-gerakan kecil mengemas makanan di kontainer dan menyimpannya di kulkas, hingga yayasan yang mengumpulkan makanan sisa yang masih dalam kondisi baik (atau bahkan tak tersentuh) untuk didistribusikan kembali.