Brilio.net - Kasus dugaan perundungan yang menimpa almarhumah dr. Aulia Risma, mahasiswi Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anastesi Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, terus menuai sorotan publik. Baru-baru ini, ibu almarhumah, Nuzmatun Malina membuka suara terkait sejumlah fakta mengejutkan selama putrinya menempuh pendidikan spesialis. Salah satu hal yang menjadi perhatian adalah besaran iuran yang harus disetor Aulia selama menjalani PPDS.

Kuasa hukum keluarga almarhumah, Misyal Achmad, mengungkapkan bahwa total iuran yang disetor Aulia selama menempuh pendidikan di Undip mencapai angka fantastis. Jumlah tersebut tercatat sebesar Rp 225 juta, meski rincian penggunaannya belum diketahui secara pasti. Fakta ini tentu menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi penggunaan dana tersebut.

"Yang sudah kami sampaikan ke penyidik, tetapi tidak tahu berapa saja besaran penggunaannya. Bukti rekening koran sudah kami sampaikan ke penyidik," kata Misyal dikutip brilio.net dari Antara, Kamis (19/9).

aulia risma transfer rp 225 juta  © 2024 brilio.net

foto: Liputan6.com

Nuzmatun Malina, selaku ibu almarhumah, membenarkan adanya transfer uang secara rutin kepada putrinya untuk keperluan iuran PPDS. Ia mengaku telah menyerahkan bukti rekening koran kepada pihak penyidik sebagai bagian dari proses penyelidikan kasus ini. Pengakuan ini semakin memperkuat dugaan adanya pungutan yang tidak wajar dalam program pendidikan tersebut.

Nuzmatun menjelaskan bahwa transfer uang untuk iuran PPDS dilakukan sejak semester pertama. Ia menyatakan bahwa jumlah yang ditransfer bervariasi dan dilakukan setiap bulan. Hal ini menunjukkan adanya beban finansial yang cukup berat yang harus ditanggung oleh mahasiswa PPDS.

"Yang besar-besar di semester pertama. Di semester berikutnya juga masih, tetapi tidak besar," katanya.

Selain masalah finansial, Nuzmatun juga mengungkapkan perlakuan tidak menyenangkan yang dialami putrinya selama menjalani PPDS. Ia menceritakan bahwa Aulia sering mengeluh kelelahan akibat jadwal PPDS yang padat. Kondisi ini bahkan pernah menyebabkan Aulia mengalami kecelakaan sepeda motor karena mengantuk berat seusai menjalani tugas.

Lebih memprihatinkan lagi, meski dalam kondisi pasca operasi akibat kecelakaan, Aulia masih mendapat perlakuan kasar dari seniornya. Nuzmatun menggambarkan betapa kejamnya perlakuan yang diterima putrinya, bahkan ketika sedang dalam kondisi tidak fit.

aulia risma transfer rp 225 juta  © 2024 brilio.net

foto: Merdeka.com

"Saat sakit kedua-duanya punggung dan kaki masih dibentak-bentak, karena tugasnya lelet. Disuruh bawa makanan dan minuman naik dari lantai satu ke lantai dua. Tidak boleh pakai troli, harus bawa sendiri. Kejam sekali," ungkapnya, dikutip brilio.net dari Merdeka, Kamis (19/9).

Nuzmatun juga menceritakan bahwa Aulia pernah dihukum berdiri selama satu jam oleh seniornya. Ketika ia melayangkan protes kepada Kaprodi atas perlakuan tersebut, jawaban yang diterimanya justru mengecewakan dan menunjukkan kurangnya empati terhadap kondisi Aulia.

Ia merasa kecewa dengan respons pihak kampus yang seolah menganggap perlakuan tersebut sebagai hal yang wajar. Nuzmatun mempertanyakan sisi kemanusiaan dalam proses pendidikan yang seharusnya mengutamakan kesejahteraan mahasiswa.

"Justru jawaban Kaprodi 'saya dulu berdiri lima jam'. Bayangkan kaki anak saya bengkak dan disuruh berdiri satu jam. Kemanusiaannya di mana? Allah," ujarnya.

aulia risma transfer rp 225 juta  © 2024 brilio.net

foto: Freepik.com

Nuzmatun menegaskan bahwa sebelum menjalani PPDS Anestesi di Undip, kondisi fisik Aulia sangat sehat. Ia menyatakan bahwa putrinya tidak pernah sakit selama kuliah dokter umum dan saat bekerja di RSUD Kardinah Tegal. Perubahan drastis terjadi setelah Aulia mengikuti program PPDS.

Meskipun telah melaporkan perlakuan tidak menyenangkan kepada Kaprodi beberapa kali, Nuzmatun mengaku bahwa perilaku semena-mena terhadap Aulia tetap berlanjut. Ia menyoroti perubahan sikap putrinya yang menjadi ketakutan akibat sering menerima bentakan dan kata-kata kasar selama menjalani PPDS.

"Saya biasa mendidik anak saya dengan cara halus, lemah lembut. Begitu masuk PPDS, pendidikan dengan kata kasar, anak saya jadi ketakutan. Anak saya ketakutan sekali kalau dengar bentakan, beberapa kali saya menyampaikan ke Kaprodi tetapi tetap seperti itu," jelasnya.