Brilio.net - Penyebaran virus corona atau Covid-19 telah meluas hampir ke-30 negara di dunia, termasuk Indonesia. Terkait dengan masifnya penyebaran virus ini di Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) baru merampungkan penelitian terkait dengan pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus mematikan itu.
Penelitian ini melibatkan 11 doktor di Bidang Meteorologi Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh guru besar dan doktor di bidang Mikrobiologi dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM).
Kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang Pengaruh Cuaca dan Iklim dalam Penyebaran Covid-19. Melalui akun Twitter resminya, BMKG merilis beberapa penjelasan ilmiah tentang kenapa virus corona bisa berkembang cepat di Indonesia.
KAJIAN Tim BMKG dan Mikrobiologi Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM
— Humas_BMKG (@InfoHumasBMKG) April 4, 2020
PENGARUH CUACA DAN IKLIM TERHADAP PANDEMI
(A Thread) pic.twitter.com/3p1anvkRJR
"Hasil kajian yang telah disampaikan kepada Presiden dan beberapa kementerian terkait pada 26 Maret 2020 yang lalu ini, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19, sebagaimana disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020), dan Wang et. al. (2020)," tulis BMKG seperti dikutip brilio.net dari akun Twitter @InfoHumasBMKG, Minggu (5/4).
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan berdasarkan hasil analisis Sajadi et. al. (2020) serta Araujo dan Naimi (2020), menunjukkan bahwa sebaran kasus Covid-19 pada saat outbreak (penyebaran) gelombang pertama, berada pada zona iklim yang sama, yaitu pada posisi lintang tinggi wilayah subtropis dan temparate.
"Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis," tulis Dwikorita.
Adapun penelitian Chen et. al. (2020) dan Sajadi et. al. (2020) menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus corona adalah temperatur sekitar 8 - 10 derajat celcius dan kelembapan 60-90 persen.
"Artinya dalam lingkungan terbuka yang memiliki suhu dan kelembaban yang tinggi merupakan kondisi llingkungan yang kurang ideal untuk penyebaran kasus Covid-19," tulisnya.
foto: Instagram/@dwikoritakarnawati
BMKG menyatakan, para peneliti itu menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur, kelembapan relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.
Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur (di atas 1 derajat celcius) dengan jumlah dugaan kasus Covid-19 per-hari. Mereka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah (1 - 9 derajat celcius).
"Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah," ujarnya.
Lebih lanjut Wang et. al. (2020) menjelaskan pula bahwa serupa dengan virus influenza, virus corona ini cenderung lebih stabil dalam lingkungan suhu udara dingin dan kering.
Kondisi udara dingin dan kering tersebut dapat juga melemahkan "host immunity" seseorang, dan mengakibatkan orang tersebut lebih rentan terhadap virus sebagaimana yg dituliskan dalam studi Wang et al. (2020) tersebut.
Demikian pula Araujo dan Naimi (2020) memprediksi dengan model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya, mereka menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.
Mereka juga menjelaskan lebih lanjut bahwa terhambatnya penyebaran virus dikarenakan kondisi iklim tropis dapat membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil, sehingga penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat, dan akhirnya kapasitas peningkatan kasus terinfeksi untuk menjadi pandemik juga akan terhambat.
Selain itu, kajian oleh tim gabungan BMKG-UGM ini menjelaskan bahwa analisis statistik dan hasil pemodelan matematis di beberapa penelitian tersebut mengindikasikan bahwa cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang linggi. Namun bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang kedua.
Disampaikan pula bahwa kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah Covid-19. Namun fakta menunjukkan terjadinya lonjakan kasus Covid-19 di Indonesia sejak awal bulan Maret 2020.
Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27-30 derajat celcius. Adapun kelembapan udara berkisar antara 70-95 persen dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak Covid-19.
Namun demikian, fakta menunjukkan bahwa kasus gelombang ke-2 Covid-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.
Akhirnya laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat (Luo et. al. 2020 dan Poirier et. al., 2020), maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut.
foto: Twitter/@InfoHumasBMKG
Selain itu perlu diwaspadai pula bahwa memasuki bulan April sampai dengan Mei ini, sebagian besar wilayah Indonesia memasuki pergantian musim, yang sering ditandai dengan merebaknya wabah demam berdarah.
Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh. Caranya dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat, terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti.
Puncak musim kemarau di Agustus diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat celcius hingga 32 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60-80 persen.
Selain itu, masyarakat juga tentunya dengan lebih ketat menerapkan physical distancing dan pembatasan mobilitas orang atau dengan tinggal di rumah, disertai intervensi kesehatan masyarakat. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk memitigasi atau mengurangi penyebaran wabah Covid-19 secara lebih efektif.
"Karena cuaca yang sebenarnya menguntungkan ini, tidak akan berarti optimal tanpa penerapan seluruh upaya tersebut dengan lebih maksimal dan efektif," tutup BMKG.
Recommended By Editor
- Begini cara Rafael Nadal menghilangkan jenuh saat di rumah aja
- Viral potret physical distancing warga saat tahlilan, cegah corona
- Berwisata saat positif corona, ibu dan anak ini digugat Rp 1,7 M
- Cerita pengobatan Andrea Dian selama positif corona
- Di kota ini, mayat digeletakkan begitu saja karena corona