Brilio.net - Ketika dihadapkan kepada pertanyaan, kenapa sebuah negara maju dan negara lainnya tertinggal, banyak yang merujuk pada cerita Ghana dan Korea Selatan. Penulis Benturan Peradaban, Samuel Huntington membandingkan Ghana dan Korea Selatan dalam pengantar di Culture Matters.

Buku yang dieditori Hungtington bersama Lawrence E Harrison itu berisi 22 esai dari para ilmuwan atau wartawan yang berniat menjawab pertanyaan mengapa pada awal abad 21, dunia makin terbelah antara negara kaya dan miskin, antara mereka yang hidup merdeka dengan mereka yang ditindas.

Huntington mencatat, pada awal 1960-an, Ghana dan Korsel sebanding dalam hal pendapatan per kapita maupun jumlah bantuan ekonomi yang diterima. Korea Selatan juga baru sedikit memproduksi barang manufaktur. Setelah 30 tahun, Korea Selatan bersalin menjadi raksasa industri dengan ekonomi terbesar ke-14 di dunia. Korea Selatan mengekspor mobil dan alat elektronik canggih. Bahkan sekarang Korea Selatan juga mengekspor budaya ke seluruh dunia dengan nama K-Pop.

Sementara Ghana tetap tertinggal dengan pendapatan per kapita seperlimabelas dari Korea Selatan.

Mengapa? Menurut Huntington, karena Korea Selatan memberi penghargaan lebih kepada penghematan, investasi, kerja keras, pendidikan, organisasi, dan disiplin. Sedangkan Ghana memiliki nilai yang berbeda. Pendek kata, kata Huntington, budaya menjadi penting.

Mari tengok Indonesia dan Jepang. Teknologi, datang lebih dulu antara 10-15 tahun ke Indonesia dibanding Jepang. Kereta api pertama kali datang ke Jawa pada 1867 menghubungkan Semarang dengan Tanggung. Kedatangan kereta api ke tanah Jawa lebih cepat lima tahun dibandingkan keberadaannya pertama kali di Jepang pada 1872, menyambungkan Shimbashi ke Yokohama. Telepon lebih dulu menghubungkan Jakarta dan Bogor pada 1881 dibanding sambungan telepon Tokyo-Yokohama yang baru ada 9 tahun kemudian pada 1890. Kabel bawah laut sudah ada di Jawa pada 1859, lebih cepat 13 tahun dari kabel bawah laut antara ShimonosekiMoji di Jepang. Itu data-data mengejutkan yang dicatat Masatoshi Iguchi dalam Java Essay: The History and Culture of a Southern Country.

Bahkan, jalan-jalan di Jawa semulus di Eropa. Sekolah dokter sudah lebih dulu ada di Jakarta pada 1851 dibandingkan di Yedo, Jepang pada 1861. Belum lagi pelabuhan modern Tanjung Priok yang ada lebih dulu pada 1886 dibandingkan pelabuhan modern di Yokohama Jepang.

Bagaimana sekarang? Jepang jauh lebih maju dibandingkan Indonesia.

Menurut intelektual Bernard Lewis, ketika orang menyadari ada yang salah, ada dua pertanyaan mereka munculkan. Pertanyaan pertama: Apa yang bikin kita salah? Pertanyaan kedua: Siapa melakukan ini kepada kita?

Pertanyaan terakhir ini mengarah kepada teori konspirasi dan ketakutan berlebihan. Pertanyaan pertama menuju kepada cara berpikir lain, bagaimana kita bisa membenarkan kesalahan itu.

Dalam pengantar Culture Matters lainnya oleh Lawrence E Harrison disebutkan, banyak negara-negara Amerika Latin memilih pertanyaan kedua ketika dihadapkan pada masalah. Sementara Jepang menekankan pada pertanyaan, bagaimana supaya bisa benar ketika menyadari ada sesuatu yang tak benar.

Satu lagi literatur menjelaskan tentang misteri negara kaya dan miskin disusun sejarawan dan ahli ekonomi Harvard, David Landes. Setelah mengamati, salah satunya Jepang, Landes menyimpulkan optimisme berperan membawa sebuah negara makin maju.

Memang seperti klise, kata Landes. Jika Anda ingin produktivitas tinggi, maka Anda harus hidup untuk bekerja kemudian bahagia. Ini tidak mudah. Orang-orang yang hidup untuk bekerja adalah sekelompok kecil yang beruntung. Mereka sekelompok elit yang memilih jalannya sendiri dan jenis orang yang menonjolkan sisi positif.

Di dunia ini, orang-orang optimis memiliki pandangan positif. Pesimisme, ujar Landes, hanya menawarkan hiburan kosong karena merasa benar.