Brilio.net - Listrik mati di Jakarta dan Jawa bagian Barat baru lalu diikuti beragam ekspresi. Konon potensi kerugian triliunan rupiah. Presiden Jokowi marah. “Apakah tidak dihitung, apakah tidak dikalkulasi,” katanya. Dalam foto yang beredar luas, Jokowi didampingi empat menteri. Dua di kanan, dua di kiri. Pejabat Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang duduk di seberang menjadi sasaran kemarahan presiden, bukan para menteri.
Dua tahun lalu di Taiwan, menteri urusan ekonomi mundur gara-gara listrik mati lima jam di banyak kota. Pada 2011, menteri energi Korea juga mundur karena listrik mati yang mengganggu dua juta rumah. Seperti Jokowi, Presiden Korea ketika itu Lee Myung-bak memarahi pejabat kelistrikan. “Saya malu, bahkan untuk sekadar membicarakan ini.”
Meskipun bukan orang yang melakukan kesalahan secara langsung, menteri di Taiwan dan Korea Selatan itu mundur. Budaya malu orang-orang Asia Timur memang tinggi. Keputusan mundur diambil sebagai bentuk pertanggungjawaban moral. Di sini, pejabat mundur belum jadi budaya.
Listrik mati juga memicu satu keluarga seleb mengungsi ke hotel. Akun Youtube seleb lain membuat video berjudul, “Jakarta Mati Lampu, Janjian Sekeluarga ke Singapore!!! Video itu menuai reaksi warganet.
“Holang kaya hoy.”
“Beda kasta say.”
“Jiwa misqueenku berontak.”
Namanya juga banyak duit, suka-suka mereka. Tapi asal tahu saja. Di Amerika, ada masyarakat Amish yang sehari-hari hidup tanpa listrik. Setiap tahun, jutaan turis mendatangi masyarakat Amish ingin merasakan hidup tanpa listrik. Kalau orang kaya Indonesia tak bisa hidup tanpa listrik, bagi sebagian orang hidup tanpa listrik sudah menjadi seni.
Tanpa televisi, radio, atau internet hidup bisa lebih rileks. Tanpa smartphone di tangan, mengobrol dengan siapapun terasa lebih intens.
Memang menjadi susah kalau sudah sangat bergantung pada listrik. Sepanjang sejarah penciptaannya, listrik turut mengangkat pertumbuhan ekonomi yang dampaknya menciptakan lapangan kerja. Listrik membantu mengurangi kemiskinan. Listrik ikut pula memperbaiki kualitas hidup manusia. Saat listrik memunculkan mesin cuci, kulkas, dan televisi, masyarakat Jepang menyebutnya sebagai tiga harta sakral, sebanding pedang, cermin, dan perhiasan, benda yang diburu untuk dimiliki pada masa kekaisaran.
Pentingnya listrik membuat negara-negara berlomba meningkatkan rasio elektrifikasi yaitu perbandingan jumlah penduduk yang menikmati listrik dengan jumlah total penduduk di suatu wilayah. Di Indonesia, rasio elektrifikasi per 2018 sudah mencapai 98%.
Dari data Badan Energi Internasional per 2017, sudah 7,55 miliar penduduk di muka bumi menikmati listrik. Jumlah yang belum menikmati listrik ada 1 miliar orang. Kebanyakan tinggal di negara-negara miskin atau tempat sangat terpencil, seperti negara Sub Sahara di Afrika.
Maka kemudian wajar jika ketergantungan terhadap listrik sudah sangat tinggi. Apalagi di kota-kota besar. Ketika listrik padam, menimbulkan banyak keluhan hingga hujatan kepada PLN. Bahkan ada yang berencana menggugat PLN karena ikan koinya mati akibat listrik padam.
Jarang kita mendengar, listrik mati membuat orang berpikir keras, kemudian berusaha membangkitkan kreativitas.
***
Tidak dilalui lintas perdagangan utama Jawa jalur utara maupun selatan, Blora dikenal kota kecil yang sepi. Blora identik dengan Arya Penangsang, Pramoedya Ananta Toer, jati, dan Kali Lusi. Arya Penangsang adalah raja Demak terakhir yang memboyong pusat kerajaan ke Jipang, kini Kecamatan Cepu, Kabupaten Blora. Pramoedya Ananta Toer, tak diragukan lagi adalah sastrawan terbesar Indonesia.
Afie saat kami temui di kampusnya Fakultas Pertanian, Bulaksumur, UGM. (Foto Brilio.net/Arif Bayu Setyo)
Rumah Pramoedya berdiri di sisi Kali Lusi, tepatnya di Dusun Jetis. Pada cerpennya ‘Yang Sudah Hilang’ (buku Cerita Dari Blora), Pramoedya menggambarkan dengan indah memori tentang Kali Lusi, sungai yang melingkari separuh Kota Blora bagian Selatan. Secara geografis Kota Blora dikelilingi hutan jati. Jati Blora dikenal salah satu terbaik di dunia, bersama jati Bojonegoro.
Pada sisi lain, keberadaan pohon-pohon jati seringkali menimbulkan kekhawatiran terhadap listrik terutama saat musim hujan. Jika turun hujan disertai angin, seringkali diikuti pemadaman listrik. Pemadaman tidak hanya sejam dua jam, bisa setengah hari bahkan semalaman. Listrik bisa mati dua hingga tiga hari sepekan. Sungguh merepotkan.
Saat listrik mati, kebanyakan warga Blora menggunakan lilin sebagai pengganti penerangan. Selain boros, lilin riskan menimbulkan kebakaran mengingat banyak rumah di Blora terbangun dari kayu.
Kerisauan ini turut menjadi perhatian kakak beradik, Chaieydha Noer Afiefah, 23 tahun dan Fadhiela Noer Hafiezha, 20 tahun, tinggal di Dusun Mlangsen, satu kilometer dari rumah Pramoedya menyeberangi Kali Lusi. Keduanya berpikir bagaimana mengatasi masalah ini.
Suatu hari pada 2017, obrolan di ruang tamu mengantar pada gagasan cemerlang menciptakan lampu darurat hemat energi yang akan berguna ketika listrik padam. Proses penciptaan lampu hemat energi diawali sang adik Fadhiela yang mahasiswi S1 Teknik Mesin Universitas Gadjah Mada. Fadhiela memang hobi utak-atik elektronik. Dia dibantu ayahnya, guru otomotif di Sekolah Menengah Kejuruan 1 Blora.
Setelah melalui proses tidak mudah setahun lamanya, eureka! terwujud juga lampu darurat menggunakan material lokal dan mudah didapat. Lampu darurat itu terdiri dari lampu led, fitting lampu, trafo ferit, kumparan email, resistor, transistor, saklar, serta batu baterai.
Lampu dikembangkan dua jenis, berdaya 3 watt dan 9 watt. Untuk baterai, cukup baterai kecil AA 1,5 volt yang sering dipakai untuk jam dinding. Satu baterai bisa membuat lampu menyala 12 jam untuk berdaya 3 watt, 10 jam lebih untuk yang berdaya 9 watt.
Pada awalnya, lampu ini hanya diminati tetangga sekitar. Berkat media sosial dan pemasaran dari mulut ke mulut permintaan semakin deras. Di sinilah datang peran sang kakak, Chaieydha yang mahasiswi S2 Fakultas Pertanian juga di Universitas Gadjah Mada.
Sadar ada potensi bisnis, mereka mengajukan proposal sebagai perusahaan pemula berbasis teknologi (PPBT) ke Kementerian Ristek dan Dikti pada Desember 2018. Proposal lolos hingga mendapatkan pendampingan inkubator, mereka pun mulai menjual produk ini secara bebas di pasaran.
Lampu ini sudah laku ribuan unit. (Foto Brilio.net/Arif Bayu Setyo)
Produk ini dinamakan La Helist, singkatan dari lampu hemat listrik. Perusahaannya pun bernama sama. “Adik saya sebagai CEO-nya (chief executive officer), kalau saya menjadi CMO (chief marketing officer),” kata Chaieydha, saya jumpai di gazebo kampus Fakultas Pertanian UGM yang rindang, belum lama ini.
La Helist kini sudah mempekerjakan tiga karyawan. Lampu darurat 9 watt dihargai Rp 65.000, 3 watt dibanderol Rp 55.000. Sejauh ini produknya terjual ribuan unit. Laku keras. Permintaan pasarnya besar. Tidak cuma Jawa, juga sudah sampai Sumatera dan Kalimantan. Sebulan bisa laku 500-700 unit.
Pendapatannya? Anda tinggal kalikan saja. Yang pasti, baik Chaieydha maupun Fadhiela sudah bisa mengongkosi kuliah sendiri. Uang jajan juga berlimpah dong, tanya saya? Chaieydha, biasa dipanggil Afie, hanya tertawa saja.
Berbincang dengan Afie, saya teringat kata-kata Peter Thiel, pemodal usaha juga pendiri Paypal. Dia menulis Zero To One, saya rekomendasikan untuk wajib Anda baca. Peter Thiel mengaku aneh kalau ada orang tiba-tiba bilang ingin menjadi wirausahawan. “Itu seperti berkata, saya ingin jadi kaya dan terkenal. Anda nggak bisa memulai bisnis hanya untuk menjadi kaya atau terkenal. Tetapi karena ada masalah yang tidak bisa dipecahkan dengan struktur yang ada,” ujar Thiel.
Afie dan Fadhiela membuktikan diri mereka remaja cemerlang. Yang kalau listrik padam kerjanya tidak mengeluh saja, tetapi menjadikan uang!
Oleh: Titis Widyatmoko