Brilio.net - Macam-macam model orang jualan. Salah satunya flash sale, penjualan dalam jumlah dan waktu dibatasi. Model penjualan ini memunculkan istilah barang ghoib. Barang yang antara ada dan tiada.
Perhatikan orang-orang sekitar Anda yang hobi memburu flash sale. Matanya selalu tertuju ke smartphone. Mereka mencari titik terdekat dengan pemancar WiFi. Fokus kepada layar telepon. Dan, seperti saat pistol start lari sprint ditembakkan, mereka akan buru-buru masuk situs yang membuka flash sale.
Semakin cepat koneksi internet, semakin besar kesempatan mendapatkan barang bagus. Kombinasi WiFi, jari-jari cekatan dan pelototan mata berpengaruh besar terhadap sukses tidaknya mereka meraih barang dengan rabat besar.
Cara jualan flash sale dipioniri perusahaan Prancis Vente-privee. Pendiri perusahaan, Jacques Antoine Granjon mengawali dagang bajunya 30 tahun lalu. Dia kulakan baju bermerk yang dijual pabrik dengan harga miring. Baju-baju ini besar kortingannya karena beberapa desain dan warna kurang laku, atau ukurannya tidak begitu populer.
“Sebuah baju merk terkenal normalnya dijual Rp 2 juta. Harga diskon di toko Rp 600.000. Kamu bisa kulakan baju itu Rp 120.000 terus kamu jual Rp 240.000 atau Rp 300.000, kamu pasti untung,” kata Granjon soal filosofi bisnisnya.
Internet dan smartphone kemudian mengubah kebiasaan orang belanja baju. Granjon ikut menunggangi. Dia melakukan terobosan dengan jualan barang diskonan, dalam jumlah terbatas dan tempo sesingkat-singkatnya, di dunia maya. Itulah flash sale.
Bisnis Vente-privee melebar dari Prancis ke kolong jagat. Dengan modal utang ayah Rp 50 juta, kini penghasilan perusahaan sebesar Rp 48,7 triliun per tahun. Model bisnisnya ditiru banyak perusahaan dagang online di seluruh dunia.
Flash sale memanfaatkan psikologi manusia yang sering ketakutan tidak mendapatkan sesuatu. Sebutannya FOMO (fear of missing out). Permintaan tinggi serta penjualan pada waktu dan tempat yang terbatas menimbulkan kelangkaan barang.
Kata Jonah Berger dalam Contagious, jika sesuatu sulit didapatkan, orang membuat asumsi sesuatu itu layak diperjuangkan. Jika sesuatu tidak tersedia atau terjual habis, orang sering menduga banyak orang lain menyukainya, sehingga pastilah barang itu bagus sekali.
Granjon tak perlu merogoh kocek biaya promosi. Dia memanfaatkan getok tular. Dia bilang ke teman. Teman itu akan ceritakan ke teman-temannya, teman-temannya mengisahkan ke teman lainnya. Kelangkaan dan eksklusivitas menggenjot getok tular. Jika seseorang mendapatkan sesuatu yang tidak didapatkan orang lain, mereka bakal merasa istimewa, unik dan berstatus tinggi. Semakin ghoib, semakin bikin penasaran.
Tapi tentu saja seperti strategi penjualan lainnya yang cepat punah, umur flash sale diyakini tidak bertahan lama.
Penyebabnya bisa macam-macam. Pembeli bosan. Kondisi ekonomi stabil juga membikin konsumen tidak merasa perlu mencari barang paling murah. Dari sisi penjual, selisih tipis membuat bisnis tidak sustainable.
Kecuali. Ya kecuali, barang yang dijual itu istimewanya tak lekang waktu.
Seperti, oh ya, saya jadi teringat warung soto langganan.
Tampak dalam Warung Soto Bu Cip. Luasnya tidak pernah bertambah. (Foto Brilio.net/Ivanovich Aldino)
Kalau Anda sedang mencari soto di Jogja, saya tunjukkan warungnya. Tidak hanya istimewa soal rasa dan rupa, tetapi juga bagaimana warung itu ada, berdaya dan jaya sampai sekarang.
Namanya Warung Soto Bu Cip, biasa juga disebut Soto Sor Waru. Dari sisi tampangnya, Soto Bu Cip berkuah bening perpaduan kaldu buntut dan potongan daging sapi. Daging diolah khusus agar empuk. Seakan cukup digigit pakai lidah. Gajihnya minimal. Sotonya semakin nikmat dengan lauk perkedel, bakwan, tahu isi atau tempe goreng. Minumnya teh atau jeruk panas gelas belimbing dengan gula batu.
Warung soto ini legendaris di Jogja. Nama Sor Waru disematkan karena Soto Bu Cip ada di bawah pohon waru. Lokasinya di sisi utara Jalan S Parman, sekitar setengah kilometer sebelah barat gerbang Jogoboyo, istilah Jawa menjaga dari bahaya. Dulunya gerbang Jogoboyo ini berwujud plengkung alias semi terowongan tetapi kini sudah runtuh, tinggal berupa gerbang. Kerap juga disebut gerbang Tamansari karena ada di kawasan Tamansari.
Soto Bu Cip tidak jauh pula dari Warung Soto Pak Marto yang juga populer bagi warga Jogja. Kira-kira dipisah jarak 200 meter. Rupanya, Bu Cip adik Pak Marto. “Ibu saya memang belajar membuat soto dari Pak Marto,” kata Ratih Surono, putra kandung Bu Cip yang sekarang mengelola warung itu.
Warung soto ini sudah ada sejak awal 1983. Dalam sehari habis lima kilogram daging sapi.
Dari awal berdiri sampai sekarang, luas warung tidak pernah bertambah. Tetap seukuran 3 X 5 meter persegi. Bentuk mejanya letter U. Setiap pagi meja selalu penuh sesak. Pengunjung selalu antre sekadar mendapat kursi. Sejak berdiri sampai sekarang, warung ini tidak pernah membuka cabang. Jangankan membuka cabang, memperluas ruangan saja tidak pernah.
Soto Bu Cip dengan kuah bening nan segar. (Foto Brilio.net/Ivanovich Aldino)
Warung buka mulai pukul 06.00 WIB hingga 13.00 WIB. Tetapi kenyataannya seringkali sudah tutup pukul 10.00 WIB karena soto habis.
Tidak menambah suplai meski permintaannya lebih, jualan soto warung ini menganut falsafah Jawa sakmadyo. Tidak perlu berlebihan dan tahu batas. Tidak jarang pula warung soto ini tutup kalau bakulnya sedang ada keperluan tidak bisa ditinggalkan. Tapi justru dari sakmadyo inilah muncul FOMO dari pelanggannya. Mereka berduyun-duyun datang sejak pagi takut kehabisan.
Maka terciptalah flash sale dalam kehidupan nyata. Bukan karena bisnis semata, tetapi karena hidup tidak perlu ngoyo.