Brilio.net - Bagi anak muda sekarang alias generasi milenial, paket data internet adalah kebutuhan pokok. Berapapun harganya, dengan sungguh-sungguh diusahakan supaya bisa terbeli. Kalau perlu dengan gonta-ganti kartu operator supaya bisa dapetin promo. Guyonan ekstremnya, lebih baik sehari makan dua kali tapi bisa beli paket internet ketimbang makan tiga kali tapi nggak punya paket data.
Kalaupun terpaksanya jadi kaum 'fakir' internet, maka mencari jaringan Wi-Fi gratis adalah pilihan terbaik yang bisa dilakukan. Intinya, akses internet harus selalu dalam genggaman. Percuma punya smartphone tapi nggak bisa internetan. Kamu juga begitu?
Makanya jangan heran jika anak muda begitu aktif dan eksis di media sosial, betah chatingan berlama-lama, saling berkirim email, dan nggak pernah ketinggalan info-info terbaru. Paket data internet inilah rahasia dari semuanya.
Tapi situasi ini akan langsung jomplang, bahkan berbalik 180 derajat, jika kita bicara soal antusiasme anak muda dalam menelepon. Padahal, tarif menelepon sekarang ini juga tidak mahal. Bahkan, sejumlah operator menyediakan promo tarif menelepon yang hemat, bahkan gratis. Namun kenapa dalam sehari, bahkan mungkin bisa berhari-hari, belum tentu anak muda melakukan panggilan telepon?
Anak milenial cenderung lebih memilih bentuk komunikasi teks. Mereka menggunakan aplikasi pesan singkat maupun layanan pesan eleketronik (email). Perilaku anak milenial ini terjadi tidak saja di Indonesia, tapi di berbagai negara di dunia. Bahkan, sejumlah peneliti melakukan penelitian mengenai perilaku tersebut. Fakta ini dinilai sebagai sebuah ironi mengingat anak milenial adalah generasi gadget.
Situasi ini mulai terjadi sejak 2010, ketika layanan pesan singkat tumbuh pesat dengan berbagai inovasinya, seperti BlackBerry Messanger (BBM), WhatsApp, dan banyak yang lainnya. Aplikasi-aplikasi ini membuat komunikasi terjadi tanpa perlu bicara, bahkan bisa dilakukan ke banyak orang sekaligus.
Tapi, benarkah hanya gara-gara menjamurnya aplikasi pesan singkat itu kemudian membuat anak muda sekarang cenderung menghindari panggilan telepon? Tentu tidak sesederhana itu. Ada beberapa hal yang menjadi alasan generasi milenial lebih menyukai komunikasi teks ketimbang verbal, entah menelepon maupun menerima telepon. Antara lain;
1. Kecepatan dan efisiensi.
Penelitian yang dikutip dari inc.com, Jumat (4/8) menyatakan, alasan terbesar menghindari panggilan telepon adalah soal waktu. Ini adalah pembeda antara generasi milenial dengan generasi terdahulu. Anak milenial berpikir lebih cepat dari yang tua. Mereka memproses informasi dengan lebih cepat, mereka tidak punya waktu untuk melayani komunikasi verbal yang berlarut-larut. Dengan teks, mereka bisa berkomunikasi sambil tetap melakukan aktivitas lainnya. Bahkan, dengan teks komunikasi bisa dilakukan dengan banyak orang dalam waktu bersamaan. Sehingga ini juga efisiensi bagi mereka.
2. Jawaban terbaik.
Nggak cuma cepat, tapi generasi milenial juga selalu ingin mengejar maupun memberi jawaban terbaik. Mereka meyakini ada perbedaan kualitas jawaban antara pertanyaan yang disampaikan langsung dengan melalui tulisan. Sebab, pertanyaan lewat tulisan memberi waktu lebih lama bagi orang yang ditanya untuk berfikir tentang jawaban terbaik, dan bagaimana pilihan kalimat terbaiknya.
3. Orientasi hasil, bukan proses diskusi.
Ini juga salah satu ciri generasi milenial yang selalu berorientasi pada hasil. Proses adalah nomor sekian, yang penting hasilnya.
4. Menghindari konflik.
Berbicara langsung lewat telepon memungkinkan adalah diskusi yang panjang karena beradu pendapat. Melalui telepon, diskusi dan perdebatan lebih sulit untuk dihentikan. Sementara jika lewat teks, kamu bisa menulis yang kamu inginkan dan kemudian berlalu begitu saja tanpa peduli dengan gagasan orang yang kamu kirimi pesan. Bahkan, lewat teks kamu masih bisa menyembunyikan perasaanmu yang sebenarnya dengan menyisipkan emoji yang berseberangan. Misalnya, kamu bisa sisipkan emoji bercanda padahal aslinya kamu sedang serius.
Berbagai alasan tersebut tampak normal, bahkan rasional, untuk dilakukan. Tapi, setiap pilihan selalu ada risiko. Ketika kamu memilih menggunakan komunikasi teks, maka ada beberapa hal yang harus kamu 'bayar'. Di antaranya:
1. Kehilangan kepercayaan diri.
Semakin sering kamu memindahkan percakapan ke email dan pesan teks, maka perlahan-lahan kamu mulai kehilangan kepercayaan diri pada kemampuan berkomunikasi.
2. Teks tidak bisa diandalkan saat kritis.
Di era yang tidak ada lagi jarak, percakapan tatap muka tentu menjadi hal yang tidak selalu bisa terjadi. Di satu waktu, kamu harus melakukan percakapan jarak jauh untuk keputusan-keputusan kritis yang butuh kecepatan dan efisiensi. Kamu tidak bisa mengandalkan teks dan emoji saat situasi kritis.
Nah, sekarang pilihan ada di kamu apakah memilih panggilan telepon atau cukup lewat teks.
Recommended By Editor
- Kenapa akun gosip begitu disukai netizen di Indonesia?
- Di balik langkah zig zag politisi Indonesia yang kelewat sering
- Mengenal jenis garam yang diproduksi di Indonesia
- Ini lho harga Neymar jika dibandingkan proyek infrastruktur era Jokowi
- Kenapa Cinta, Milea, dan Olga Sepatu Roda jadi ikon cewek idaman?