Brilio.net - Nggak salah kalau Indonesia memang paceklik dokter sejak zaman Orba. Sejak dulu hingga sekarang, kekurangan dokter ini masih jadi isu yang nggak bisa ditinggalkan. Idealnya sih menurut World Health Organization (WHO) 1 dokter melayani 1.000 penduduk alias 1:1.000. Ibarat kata, kalau ada 200 juta penduduk Indonesia, ya seenggaknya harus ada minimal 200.000 dokter di Tanah Air.
Tapi namanya teori ideal kan nggak selamanya sesuai fakta di lapangan. Jangankan mau menyentuh ideal, saat ini aja Indonesia kekurangan setidaknya 120.000 tenaga medis kedokteran. Lho kok bisa? Sebenarnya masalahnya nggak cuma karena nggak ada dokter aja, tapi juga distribusinya yang nggak merata sampai ke penjuru Tanah Air beta. Lebih dari setengah populasi dokter ada di Wilayah Indonesia Barat (WIB), khususnya Jawa-Bali. Lalu daerah terpencil nasibnya gimana?
Di media sosial TikTok ada salah satu dokter yang bertugas di Fakfak, Papua. Namanya Dokter Amira, Sp.OG, selain jadi dokter ia juga merangkap konten kreator yang sering banget membagikan cerita-cerita miris soal permasalahan kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi di wilayah tempat praktiknya. Dari cerita satu dokter itu saja, kita bisa melihat gambaran dari nasib masyarakat pedalaman yang nggak cuma susah mengakses fasilitas medis, tapi juga minim edukasi soal kesehatan diri.
Mau di kata apa, memang nggak banyak dokter yang mau ditempatkan di daerah-daerah terpencil negeri ini. Alasannya tentu saja lagi-lagi soal kesejahteraan. Belum lagi soal kenyamanan hidup yang harus digadaikan untuk mengabdi di pedalaman. Kalau sudah sampai di masalah ini, pastinya cawe-cawe pemerintah sangat dibutuhkan. Bisa atau nggak pemerintah melalui Kemenkes memberikan jaminan kesejahteraan bagi pahlawan kesehatan yang mau ditugaskan di pelosok yang rawan?
foto: istimewa
Kalau Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mohammad Adib Khumaidi, masalah pemerataan itu terjadi karena berbagai faktor.
"Permasalahan tidak merata itu sarana dan prasarana terbatas, keterbatasan alat kesehatan dan obat, insentif dan jenjang karier. Untuk itu, perlu pembiayaan pendidikan dokter oleh negara dan pemerintah, kemudian yang perlu ditingkatkan adalah kualitas pendidikan, karena itu akan berpengaruh pada kualitas mutu pelayanan, kualitas kompetensi, yang akan berdampak juga pada keselamatan pasien," paparnya dalam konferensi pers daring yang dikutip brilio.net.
Senada, dengan ketua PB IDI, dekan Fakultas Kedokteran UNISA Yogyakarta, dr. Joko Murdiyanto,Sp.An., MPH, FISQua saat diwawancarai brilio.net juga menyinggung soal pemerataan tenaga kesehatan.
“Jadi (dokter) kurang itu relatif. Tapi itung-itungan Kemenkes itu (saat ini) dianggap kurang. Tapi lebih kepada sebetulnya penyebaran. Kan pemerataan (dokter) itu sulit ya. Dibukanya beberapa Fakultas Kedokteran (FK) (termasuk di UNISA) jadi kesempatan alumni FK itu lebih bisa merata ke seluruh Indonesia,” ungkapnya.
foto: istimewa
Soal pemerataan ini, dibarengi dengan isu-isu kebijakan yang muncul, tapi sayangnya, bukan isu soal kesejahteraan, alih-alih malah wacana impor dokter asing yang menguasai panggung diskusi. Kok bisa ya kepikiran bakal impor dokter asing aja untuk memenuhi kebutuhan tenaga medis? Padahal kalau dipikir-pikir, memangnya dokter asing mau ditugaskan di pelosok terpencil?
Ketua Kluster Kedokteran dan Kesehatan Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional, dokter Iqbal Mochtar saja meragukan efektivitas ‘impor’ tenaga medis asing ini. Benarkah bisa menjawab tantangan dan harapan pemerintah soal memeratakan persebaran dokter?
"Saya kurang yakin program mendatangkan dokter asing ini akan menjawab tujuan yang diharapkan bahwa hadirnya dokter asing akan menutup kekurangan dokter spesialis di Indonesia," kata Iqbal seperti dikutip brilio.net dari Liputan6.
foto: istimewa
Iqbal pun menyarankan bila Indonesia kekurangan dokter, mending dirinci dulu dokter apa saja dan spesialis apa saja yang dibutuhkan, dan tentunya di daerah mana ia bakal ditempatkan.
"Jadi, Kemenkes perlu mapping yang adekuat sebelum menjalankan program. Dokter apa yang dibutuhkan, daerah mana yang membutuhkan, berapa banyak yang dibutuhkan?" tutur Iqbal.
Nah, yang jadi polemik lagi, nantinya gimana sistem gaji dokter asing kalau benar-benar bakal direalisasikan? Lalu, gimana caranya pemerintah memastikan tidak ada ketimpangan yang besar antara dokter lokal sama asing? Masa iya, dengan pekerjaan sama misalnya, gajinya berbeda 180 derajat?
"Tapi kalau untuk masyarakat umum saya mempertanyakan, apakah dokter asing tersebut mau dibayar dengan standar gaji BPJS? Apakah siap melayani pasien yang banyak?" ungkapnya.
Nah, masalah pemerataan dokter ini memang jadi tanggung jawab besar pemerintah. Apalagi untuk memerangi berbagai masalah kesehatan di daerah-daerah. Misal stunting, demam berdarah, malaria, dan beragam masalah lainnya yang membutuhkan penanganan serius. Kalau menurut kamu, apakah dokter asing jadi solusi untuk mengatasi kurangnya distribusi?
Recommended By Editor
- Tak mau cawe-cawe soal penangguhan doktor Bahlil Lahadalia, begini tanggapan Mendiktisaintek
- Tak bedakan gaji dosen negeri dan swasta, begini rencana anggaran Rp57 triliun Mendiktisaintek
- Bukan cuma bisa mendidik, Mendikdasmen minta guru perhatikan murid tekan kasus bunuh diri remaja
- Inovasi pengobatan kanker rektum bisa dilakukan tanpa angkat anus, kenali penyebab & gejalanya
- Dari segi kesehatan mana yang lebih baik, sunat saat kecil atau dewasa? Pahami manfaat dan risikonya