Brilio.net - Kanker rektum menjadi salah satu tumor ganas yang berupa massa polipoid besar pada rektum (bagian akhir dari usus besar yang berfungsi menampung feses). Umumnya penanganan kasus kanker ini dilakukan dengan pegangkan polip sekaligus pembuangan anus. Namun, seiring perkembangan teknologi medis, penanganan kanker rektum tanpa membuang anus sudah bisa diterapkan.

Menyadur dari Antaranews, menurut dokter Dokter spesialis bedah digestif Bethsaida Hospital Gading Serpong dr Eko Priatno, Sp.B-KBD, menjelaskan bahwa perkembangan teknologi kedokteran ini punya solusi inovasi yang memungkinkan pasien dengan riwayat kanker rektum tetap mempertahankan anusnya.

Perkembangan teknik imaging seperti MRI dan Endorectal Ultrasound memungkinkan tim dokter memetakan secara tepat lokasi sekaligus penyebaran tumor pada rektum. Lebih jauh, salah satu metode yang kini semakin banyak diterapkan adalah Intersphincteric Resection. Ini merupakan teknik bedah mutakhir yang memungkinkan pengangkatan sebagian rektum yang terdampak kanker tanpa harus menghilangkan seluruh anus.

Dalam prosedur ini, bagian rektum yang terserang kanker diangkat secara hati-hati dengan pendekatan minimal invasif, sehingga otot sfingter ani tetap terjaga. Dengan begitu, pasien tetap memiliki kendali penuh atas fungsi buang air besar setelah operasi. Tindakan ini termasuk dalam jenis bedah digestif yang membutuhkan ketelitian tinggi dan keterampilan khusus dari tim medis.

Selain inovasi operasi tersebut, tentu membuat banyak yang penasaran tentang apa itu kanker rektum, penyebab, hingga gejalanya. Agar lebih memahaminya, berikut ulasan lengkapnya, disadur brilio.net dari berbagai sumber, Selasa (12/11).

Apa itu kanker rektum?

Inovasi pengobatan kanker rektum bisa dilakukan tanpa angkat anus  2024 freepik.com

foto: freepik.com/8photo

Kanker rektum adalah jenis kanker yang berkembang di bagian rektum, yaitu bagian terakhir dari usus besar yang menghubungkan usus besar dengan anus. Penyakit ini terjadi ketika sel-sel abnormal di dinding rektum tumbuh secara tidak terkendali lalu membentuk tumor. Kanker rektum sering kali tumbuh perlahan-lahan, dimulai dari polip atau jaringan kecil yang kemudian berubah menjadi kanker jika tidak segera diobati.

Kanker rektum biasanya menunjukkan gejala seperti perubahan pada pola buang air besar, adanya darah pada tinja, sakit perut, hingga penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Meskipun penyebab pasti kanker rektum belum sepenuhnya diketahui, faktor-faktor risiko seperti usia, riwayat keluarga, pola makan yang rendah serat dan tinggi lemak, serta gaya hidup yang kurang sehat dapat meningkatkan kemungkinan seseorang mengembangkan penyakit ini.

Oleh sebab itu, deteksi dini melalui pemeriksaan seperti kolonoskopi dapat membantu dalam diagnosis sekaligus meningkatkan peluang kesembuhan. Perawatan untuk kanker rektum biasanya melibatkan kombinasi antara pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi, tergantung pada stadium maupun kondisi kesehatan pasien.

Gejala kanker rektum

Inovasi pengobatan kanker rektum bisa dilakukan tanpa angkat anus  2024 freepik.com

foto: freepik.com/master1305

Beberapa gejala umum yang muncul pada penderita kanker rektum:

1. BAB berdarah.

2. Perdarahan pada anus.

3. Diare.

4. Lebih sering buang gas.

5. Perubahan kebiasaan buang air besar.

6. Rasa tidak nyaman pada perut.

7. Penurunan nafsu makan dan berat badan.

8. Nyeri pinggul.

9. Anemia.

10. Napas lebih pendek dan jantung berdetak cepat.

11. Pusing dan kelelahan tanpa sebab.

Penyebab kanker rektum

Inovasi pengobatan kanker rektum bisa dilakukan tanpa angkat anus  2024 freepik.com

foto: freepik.com/8photo

Belum diketahui secara pasti apa penyebab kanker rektum. Namun, sama halnya dengan kasus kanker lainnya, terdapat dugaan bahwa kondisi ini dipicu oleh sel di dalam rektum yang bermutasi dan tumbuh secara tak terkendali. Akibatnya, sel sehat yang seharusnya mati dan sel abnormal yang menumpuk akan membentuk tumor yang berpotensi menjadi kanker. Ada beberapa risiko yang menjadi pemicu seseorang mengalami kanker rektum, di antaranya:

1. Usia.

Risiko kanker rektum meningkat seiring bertambahnya usia. Kebanyakan orang yang didiagnosis dengan kanker rektum berusia di atas 50 tahun. Menurut American Cancer Society, sekitar 90% kasus kanker kolorektal terjadi pada orang yang berusia lebih dari 50 tahun. Pasalnya, seiring bertambahnya usia, sel-sel di tubuh kamu sehingga bisa mengalami perubahan dan mutasi, yang dapat menyebabkan pertumbuhan sel kanker di rektum.

2. Riwayat keluarga dan faktor genetik.

Kanker rektum dapat dipengaruhi oleh faktor genetik. Jika seseorang memiliki anggota keluarga yang pernah mengidap kanker usus besar atau rektum, maka risiko mereka untuk mengidap kanker ini juga lebih tinggi.

Penyakit seperti poliposis adenomatosa familial (FAP) dan sindrom Lynch (kanker kolorektal herediter non-poliposis) juga dapat meningkatkan risiko kanker rektum. Dalam kondisi-kondisi tersebut, mutasi genetik diwariskan, yang memengaruhi kemampuan tubuh untuk memperbaiki kerusakan DNA, sehingga meningkatkan kemungkinan terjadinya kanker.

3. Diet dan pola makan yang tidak sehat.

Pola makan yang tinggi lemak jenuh dan rendah serat dapat meningkatkan risiko kanker rektum. Studi menunjukkan bahwa konsumsi makanan yang kaya akan daging merah maupun daging olahan, seperti sosis hingga bacon, dapat meningkatkan kemungkinan berkembangnya kanker di rektum. Diet rendah serat, seperti yang ditemukan pada makanan cepat saji, dapat memperlambat proses pencernaan sekaligus membuat usus lebih rentan terhadap kanker.

Sebaliknya, mengonsumsi makanan tinggi serat, seperti buah, sayuran, maupun biji-bijian, dapat membantu mengurangi risiko kanker rektum dengan memperlancar pencernaan serta mengurangi waktu yang dihabiskan zat-zat karsinogenik di dalam usus.

4. Peradangan kronis pada usus.

Penyakit radang usus (IBD) seperti kolitis ulserativa dan penyakit Crohn, yang menyebabkan peradangan kronis pada saluran pencernaan, sehingga meningkatkan risiko kanker rektum. Peradangan yang terus-menerus dapat merusak jaringan di usus besar dan rektum, kemudian memudahkan sel-sel abnormal berkembang menjadi kanker. Pasien dengan penyakit radang usus memiliki kemungkinan lebih besar untuk mengembangkan kanker kolorektal, terutama setelah beberapa tahun mengalami peradangan kronis.

5. Gaya hidup tidak aktif.

Kurangnya aktivitas fisik menjadi faktor risiko yang signifikan untuk kanker rektum. Orang yang jarang berolahraga atau memiliki gaya hidup sedentari lebih rentan terhadap kanker kolorektal. Aktivitas fisik dapat membantu mengatur berat badan, kemudian meningkatkan peredaran darah, yang pada gilirannya dapat mengurangi risiko penyakit ini. Menjaga tubuh tetap aktif melalui olahraga dapat membantu memperbaiki fungsi sistem pencernaan serta mencegah akumulasi sel-sel yang dapat berkembang menjadi kanker.

6. Obesitas.

Kelebihan berat badan bisa meningkatkan risiko kanker rektum. Obesitas menyebabkan tubuh menghasilkan lebih banyak insulin dan hormon pertumbuhan tertentu yang dapat merangsang pertumbuhan sel kanker. Selain itu, lemak tubuh berlebih dapat mempengaruhi kadar hormon lainnya yang berperan dalam perkembangan kanker.

7. Merokok & konsumsi alkohol.

Merokok dan konsumsi alkohol berlebihan menjadi faktor risiko yang telah terbukti untuk kanker rektum. Zat-zat berbahaya dalam rokok dapat merusak sel-sel di saluran pencernaan lalu meningkatkan peluang kanker berkembang.

Demikian juga, konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan peradangan di saluran pencernaan, yang dapat berkontribusi pada terjadinya kanker. Menjaga kebiasaan hidup yang sehat, dengan tidak merokok lalu membatasi konsumsi alkohol, dapat membantu mengurangi risiko terkena kanker rektum.

8. Paparan terhadap bahan kimia atau karsinogen.

Paparan terhadap bahan kimia berbahaya atau karsinogen, baik di lingkungan kerja maupun di lingkungan sehari-hari ternyata bisa meningkatkan risiko kanker rektum. Beberapa pekerjaan yang melibatkan kontak langsung dengan bahan kimia, seperti petrokimia ataupun bahan beracun lainnya, dapat meningkatkan paparan terhadap zat-zat yang berpotensi merusak DNA lalu berkembang menyebabkan kanker. Selain itu, polusi udara dan paparan terhadap pestisida di lingkungan juga dapat berkontribusi pada peningkatan risiko penyakit ini.