Brilio.net - Sejak virus corona (Covid-19) merebak pada awal tahun 2020, sedikitnya 200 kandidat vaksin telah dikembangkan di sejumlah negara di dunia. Setidaknya 15 uji coba juga sudah dilakukan pada manusia. Seperti dilaporkan The Telegraph.co.uk, saat ini vaksin yang sedang dikembangkan Universitas Oxford dan pemerintah Jerman adalah dua kandidat yang paling mungkin siap untuk tahun ini. Selain itu ada juga kandidat yang sedang diuji di Amerika Serikat (AS), Rusia dan China. Ada juga beberapa tanda bahwa China semakin maju dalam pengembangan vaksin ini.
Namun, Kate Bingham, Kepala Gugus Tugas Vaksin Inggris memperingatkan bahwa setiap suntikan kemungkinan hanya akan efektif 50 persen. Menurut dia, vaksin apa pun yang mampu mengimunisasi virus corona kemungkinan hanya akan seefektif vaksin flu.
Sementara Geir Bukholm, yang memimpin pengembangan vaksin di Institut Kesehatan Masyarakat Nasional (FHI) Norwegia seperti dilaporkan norwaytoday.info yang mengutip surat kabar Aftenposten, hingga saat ini belum jelas bagaimana vaksin untuk melawan virus corona akan bekerja dan seperti apa efeknya.
Menurut dia, beberapa mungkin akan bekerja sedemikian rupa sehingga pasien yang rentan bisa tertolong dengan tetap membutuhkan alat bantu pernapasan. Namun tidak menutup kemungkinan vaksin tersebut juga tidak bekerja untuk kelompok ini. Hingga saat ini, vaksin telah diujicobakan kepada manusia di sejumlah negara.
foto ilustrasi: pixabay.com/Pete Linforth
Lantas bagaimana dengan vaksin Covid-19 yang dikembangkan Universitas Oxford yang disebut-sebut memperlihatkan tren positif dalam melawan virus corona? Pengembangan vaksin yang dilakukan Universitas Oxford seperti dikutip mirror.co.uk, telah menjalani pengujian yang sangat ketat.
Sekarang tim Universitas Bristol memvalidasi bahwa vaksin tersebut secara akurat mengikuti instruksi genetik yang diprogramkan ke dalamnya. Vaksin yang dikembangkan dikatakan berhasil memicu sistem respons imun yang kuat dari 100 persen objek uji coba setelah diberikan dua dosis. Bahkan, 90 persen dari mereka sudah menghasilkan antibodi pada dosis pertama.
Petunjuk ini merinci cara membuat protein lonjakan dari SARS-CoV-2, virus yang menyebabkan Covid-19. Setelah lonjakan protein dibuat, sistem kekebalan bereaksi terhadap virus tersebut, melatih sistem kekebalan tubuh untuk mengidentifikasi infeksi Covid-19 yang sebenarnya. Artinya, ketika orang yang divaksinasi dihadapkan dengan SARS-CoV-2, sistem kekebalan tubuhnya sudah terlatih dan siap untuk melawan virus tersebut.
“Ini adalah studi penting karena kami dapat memastikan bahwa instruksi genetik yang mendasari vaksin ini, diikuti dengan benar ketika masuk ke sel manusia,” ujar Dr David Matthews, yang memimpin penelitian tersebut.
Dalam penelitian tersebut, para peneliti berfokus pada seberapa sering dan akurat vaksin menyalin dan menggunakan instruksi genetik yang diberikan. Profesor Vaksinologi di Universitas Oxford yang memimpin uji coba vaksin, Sarah Gilbert mengatakan ini adalah contoh yang bagus dari kolaborasi lintas disiplin, menggunakan teknologi baru untuk memeriksa secara tepat apa yang vaksin lakukan ketika masuk ke dalam sel manusia.
Vaksin yang dikenal sebagai ChAdOx1 atau AZD1222 dibuat dengan mengambil virus flu biasa yang disebut adenovirus dari simpanse. Dalam pengembangannya dilakukan dengan menghapus sekitar 20 persen instruksi virus. Artinya, vaksin tidak mungkin mereplikasi atau menyebabkan penyakit pada manusia. Para ilmuwan di Universitas Bristol juga menggunakan teknologi mutakhir untuk mempelajari susunan inokulasi.
Metode analisis baru memungkinkan para ilmuwan untuk memeriksa apakah vaksin itu dirancang dengan tepat untuk mereplikasi bagian-bagian dari susunan Covid-19 yang diperlukan untuk melatih sistem kekebalan dalam melawan penyakit. Saat ini vaksin ini sedang menjalani uji klinis fase 3 untuk lebih memastikan keamanan pengobatan.
foto ilustrasi: pixabay.com/Dimitri Houtteman
Hal ini dilakukan setelah muncul sentimen negatif. Seperti dikabarkan kantor berita Reuters, seorang relawan yang terlibat dalam uji klinis vaksin Covid-19 yang sedang dikembangkan AstraZeneca dan Universitas Oxford telah meninggal dunia.
Kendati begitu, Universitas Oxford menekankan tidak ada kekhawatiran tentang keamanan kandidat vaksinnya. Mereka pun berencana terus melanjutkan uji coba. Universitas Sao Paulo, yang mengoordinasikan uji coba fase tiga di Brasil, mengonfirmasi bahwa relawan yang meninggal adalah warga negara Brasil, seorang pria berusia 28 tahun yang tinggal di Rio de Janeiro, dan dia dikatakan meninggal karena komplikasi Covid-19. Namun belakangan diketahui bahwa pria itu mengonsumsi placebo, bukan vaksin aktif.
Menurut juru bicara universitas, 8.000 dari 10.000 sukarelawan yang berpartisipasi dalam uji coba di enam kota di Brasil telah menerima dosis pertama, dan banyak juga yang menerima suntikan kedua. Uji coba dilakukan mengingat Negeri Samba itu memiliki jumlah kematian akibat Covid-19 tertinggi kedua di dunia dengan lebih dari 154.000. Sejauh ini sekitar 5,2 juta orang telah terinfeksi, tertinggi ketiga di dunia setelah AS dan India.
Saat ini, data pertama dari uji klinis skala besar tahap akhir yang dilakukan di beberapa negara di seluruh dunia, termasuk Brasil, AS, dan Inggris, diharapkan akan dirilis sebelum akhir tahun.
Recommended By Editor
- Uji klinis vaksin Covid-19 di Indonesia masuk tahap tiga, ini faktanya
- 5 Tahap penanganan pandemi setelah vaksin Covid-19 ditemukan
- Orang golongan darah B dan O lebih tahan Covid-19, ini penjelasannya
- Prosedur penangan pasien Covid-19 sesuai gejala dan kriteria sembuhnya
- Mengenal Ensefalopati, perubahan fungsi mental pada pasien Covid-19