Brilio.net - Skizofrenia merupakan salah satu gangguan mental yang cukup serius. Orang yang terdiagnosa menderita skizofrenia mengalami kesulitan dalam membedakan antara khayalan dan realita. Umumnya kondisi ini ditandai dengan perilaku abnormal, seperti delusi, halusinasi, kekacauan berpikir, hingga perubahan sikap.
Melansir dari hasil Survei Kesehatan Indonesia (SKI) Kementerian Kesehatan pada 2023 yang dirilis pada Juni 2024, menemukan bahwa Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai wilayah dengan prevalensi kasus gangguan jiwa berat skizofrenia tertinggi. Ditemukan hampir 9,3% rumah tangga yang memiliki anggota keluarga bergejala psikosis/ skizofrenia.
Setelah itu, disusul Jawa Tengah dengan prevalensi 6,5%, kemudian Sulawesi Barat 5,9%. Sementara itu, terkait rumah tangga yang memiliki ART dengan gejala psikosis/skizofrenia oleh dokter yakni 7,8% dibandingkan daerah lainnya. Lebih jauh, jika menilik data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), terdapat 20 juta orang di seluruh dunia menderita skizofrenia.
Pada riset Kementerian Kesehatan RI tahun 2019 menemukan ada kurang lebih 450.000 orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) berat di Indonesia, termasuk skizofrenia. Melihat kasus skizofrenia atau masalah gangguan mental berat yang semakin marak terjadi, maka sudah seharusnya setiap orang lebih peduli pada kesehatan mental.
Oleh karena itu, pentingnya memahami penyebab hingga gejala skizofrenia agar bisa mencegah terjadinya penyakit mental ini. Lantas apa saja penyebab, gejala, dan cara mengatasinya sejak dini? Yuk simak ulasan lengkap di bawah ini, dilansir brilio.net dari berbagai sumber, Selasa (13/8).
Apa itu skizofrenia?
foto: freepik.com
Skizofrenia merupakan gangguan mental kronis yang mempengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Kondisi ini ditandai dengan gangguan dalam persepsi realitas, proses berpikir, dan fungsi emosional. Skizofrenia sering digambarkan sebagai gangguan yang menyebabkan "perpecahan pikiran", di mana si penderita tidak bisa membedakan mana khayalan dan realita.
Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-5) yang diterbitkan oleh American Psychiatric Association, skizofrenia didiagnosis ketika seseorang mengalami setidaknya dua dari lima gejala utama (halusinasi, delusi, bicara tidak jelas, perilaku tidak jelas atau katatonik, dan gejala negatif) selama periode satu bulan dengan setidaknya satu gejala harus berupa halusinasi, delusi, atau bicara tidak jelas.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa skizofrenia bukan hanya gangguan otak, tetapi juga melibatkan faktor genetik, lingkungan, dan perkembangan. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Genetics pada 2022, mengidentifikasi 287 lokasi genom yang terkait dengan risiko skizofrenia, menegaskan kompleksitas genetik dari gangguan ini.
Skizofrenia biasanya muncul pada usia remaja akhir atau dewasa awal, dengan rata-rata pada usia 20-an untuk pria dan akhir 20-an untuk wanita. Meskipun tidak dapat disembuhkan sepenuhnya, skizofrenia dapat dikelola dengan pengobatan serta intervensi psikososial yang tepat, sehingga memungkinkan banyak individu penderita untuk menjalani kehidupan yang produktif.
Gejala skizofrenia
foto: freepik.com
Gejala skizofrenia dapat bervariasi dari satu individu ke individu lainnya dan dapat berubah seiring waktu. Gejala-gejala ini umumnya dikelompokkan menjadi tiga kategori utama: gejala positif, gejala negatif, serta gejala kognitif.
a. Gejala positif
- Halusinasi: Pengalaman sensorik yang terjadi tanpa stimulus eksternal. Halusinasi auditori (mendengar suara) adalah yang paling umum, tetapi bisa juga visual, taktil, penciuman, atau pengecapan.
- Delusi: Keyakinan yang salah dan tidak berdasar yang dipertahankan meskipun ada bukti yang bertentangan. Contohnya termasuk delusi paranoid, delusi kebesaran, atau delusi referensi. Misalnya menganggap dirinya sedang dikejar-kejar orang.
- Gangguan pikiran: Termasuk pemikiran yang tidak terorganisir, bicara yang tidak koheren (meracau), atau asosiasi longgar antara ide-ide.
- Gangguan perilaku: Perilaku yang tidak terorganisir atau tidak sesuai, seperti agitasi, katatonia, atau perilaku yang aneh dan tidak sesuai konteks.
b. Gejala negatif
- Afek tumpul: Berkurangnya ekspresi emosi melalui wajah, nada suara, atau gerakan tubuh.
- Alogia: Berkurangnya produksi pembicaraan atau isi pembicaraan.
- Avolisi: Kurangnya motivasi atau inisiatif untuk melakukan kegiatan tertentu.
- Anhedonia: Ketidakmampuan untuk merasakan kesenangan dari aktivitas yang biasanya menyenangkan.
- Isolasi sosial: Menarik diri dari interaksi sosial dan hubungan interpersonal.
c. Gejala kognitif
- Gangguan memori kerja: Kesulitan dalam menyimpan informasi jangka pendek.
- Gangguan fungsi eksekutif: Kesulitan dalam perencanaan, pengambilan keputusan, dan pemecahan masalah.
- Gangguan perhatian: Kesulitan dalam memfokuskan atau mempertahankan konsentrasi.
- Gangguan pemrosesan informasi: Lambat dalam memproses informasi atau merespons stimulus.
Penyebab skizofrenia
foto: freepik.com
Penyebab pasti skizofrenia masih belum sepenuhnya dipahami, namun para peneliti percaya bahwa kombinasi faktor genetik, lingkungan, dan perkembangan otak berperan dalam munculnya gangguan ini. Adapun beberapa hal yang diyakini menyebabkan skizofrenia di antaranya:
a. Faktor genetik
Penelitian menunjukkan bahwa skizofrenia memiliki komponen genetik yang kuat. Individu dengan riwayat keluarga skizofrenia memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami gangguan ini. Studi pada kembar identik menunjukkan tingkat konkordansi sekitar 50%, yang berarti jika salah satu kembar memiliki skizofrenia, kemungkinan kembar lainnya juga mengembangkan gangguan ini yakni sekitar 50%.
Sebuah studi genomwide association (GWAS) yang dipublikasikan dalam Nature pada 2022, mengidentifikasi lebih dari 280 lokus genetik yang terkait dengan skizofrenia. Penelitian ini menunjukkan bahwa banyak gen yang terlibat dalam perkembangan dan fungsi otak, serta sistem kekebalan tubuh yang berkontribusi terhadap risiko skizofrenia.
b. Ketidakseimbangan kimiawi di otak
Skizofrenia sering dikaitkan dengan ketidakseimbangan neurotransmiter, yaitu zat kimia di otak yang berfungsi sebagai pembawa pesan antar sel saraf. Penelitian menunjukkan bahwa kadar dopamin dan glutamat yang tidak normal berperan dalam perkembangan skizofrenia.
Dopamin yang berlebihan dapat menyebabkan gejala seperti delusi maupun halusinasi, sedangkan gangguan pada sistem glutamat dapat mempengaruhi fungsi kognitif serta memori. Ketidakseimbangan ini dapat mempengaruhi cara otak memproses informasi, yang mengarah pada gejala-gejala yang khas dari skizofrenia.
c. Pengaruh lingkungan
Faktor lingkungan juga berkontribusi terhadap risiko skizofrenia. Peristiwa stresor yang signifikan, seperti kehilangan orang yang dicintai, atau pengalaman traumatis lainnya, dapat memicu munculnya gejala pada individu yang sudah rentan secara genetik.
Selain itu, paparan infeksi virus atau malnutrisi selama masa kehamilan juga dapat meningkatkan risiko bayi mengembangkan skizofrenia di kemudian hari. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan perkotaan atau yang mengalami kekerasan serta pelecehan emosional memiliki risiko lebih tinggi untuk mengembangkan skizofrenia.
d. Kelainan struktur otak
Beberapa penelitian dari American Psychiatric Association pencitraan otak, seperti MRI, menunjukkan bahwa orang dengan skizofrenia sering memiliki perbedaan dalam struktur dan fungsi otak mereka dibandingkan dengan orang tanpa gangguan tersebut.
Temuan umum termasuk pelebaran ventrikel otak (rongga yang berisi cairan serebrospinal) serta pengurangan volume di beberapa bagian otak, seperti lobus temporal dan frontal yang berhubungan dengan pemrosesan informasi hingga pengendalian emosi.
Meskipun temuan ini belum bisa dijadikan penentu skizofrenia, perbedaan struktural ini memberikan bukti tambahan bahwa skizofrenia melibatkan gangguan biologis pada otak.
e. Pengaruh neurodevelopmental
Teori neurodevelopmental menyatakan bahwa skizofrenia dapat disebabkan oleh gangguan dalam perkembangan otak selama masa janin. Riset dari AMA Psychiatry pada 2020 menunjukkan bahwa komplikasi selama kehamilan atau persalinan, seperti hipoksia (kurangnya oksigen saat lahir) atau infeksi prenatal, dapat mengganggu perkembangan normal otak janin, yang kemudian meningkatkan risiko terjadinya skizofrenia di kemudian hari.
Faktor-faktor ini dianggap dapat menyebabkan perubahan awal pada struktur maupun fungsi otak, yang mungkin tidak terlihat hingga masa remaja atau dewasa awal, ketika otak mengalami perubahan besar lainnya yang dapat memicu timbulnya gejala skizofrenia.
Cara mengatasi skizofrenia sejak dini
foto: freepik.com
1. Deteksi dini.
Identifikasi gejala awal skizofrenia sangat krusial. Program seperti COPE (Cognitive-OriElarly Prevention and Intervention in Psychosis) yang dikembangkan oleh McGorry et al. (2002) telah menunjukkan efektivitas dalam mengidentifikasi individu berisiko tinggi. Penelitian yang dipublikasikan dalam Archives of General Psychiatry, mendemonstrasikan bahwa intervensi dini dapat menunda atau bahkan mencegah onset psikosis pada individu berisiko tinggi.
Gejala prodromal seperti perubahan perilaku, penurunan fungsi sosial, atau gejala psikotik ringan harus menjadi perhatian. Penggunaan alat skrining seperti Prodromal Questionnaire (PQ) atau Structured Interview for Prodromal Syndromes (SIPS) dapat membantu dalam identifikasi awal.
2. Intervensi psikologis
Terapi Kognitif-Perilaku (CBT) telah terbukti efektif dalam menangani gejala awal skizofrenia. Sebuah meta-analisis yang dilakukan oleh Hutton dan Taylor (2014), dipublikasikan dalam British Journal of Psychiatry, menunjukkan bahwa CBT dapat mengurangi tingkat transisi ke psikosis pada orang berisiko tinggi.
Selain itu, peran keluarga juga penting. Program seperti Family-Focused Treatment for Prodromal Youth (FFT-PY) yang dikembangkan oleh Miklowitz et al. (2014) telah menunjukkan hasil positif dalam mengurangi gejala prodromal sekaligus meningkatkan fungsi sosial bagi penderita skizofrenia.
3. Farmakologi
Meskipun penggunaan antipsikotik pada fase prodromal masih kontroversial, beberapa penelitian menunjukkan manfaatnya dalam dosis rendah. Studi oleh McGlashan et al. (2006) yang dipublikasikan dalam American Journal of Psychiatry menunjukkan bahwa olanzapine dapat menunda onset psikosis pada individu berisiko tinggi, meskipun efek sampingnya perlu dipertimbangkan dengan hati-hati.
4. Pendekatan holistik
Pendekatan holistik seperti mengatur gaya hidup seperti olahraga teratur, pola makan sehat, dan manajemen stres juga penting. Sebuah studi oleh Firth et al. (2015) yang dipublikasikan dalam Schizophrenia Bulletin menunjukkan bahwa olahraga dapat meningkatkan fungsi kognitif sekaligus mengurangi gejala negatif pada individu dengan skizofrenia awal.
5. Manajemen stres
Teknik relaksasi maupun mindfulness telah terbukti efektif dalam mengurangi stres serta kecemasan yang sering menyertai fase awal skizofrenia. Sebuah studi oleh Khoury et al. (2013) yang dipublikasikan dalam Clinical Psychology Review menunjukkan efektivitas intervensi berbasis mindfulness dalam mengurangi gejala psikotik. Selain itu, pentingnya menghindari hal-hal yang memicu stress agar terhindar dari risiko skizofrenia.
Recommended By Editor
- Sumber antioksidan untuk kesehatan mental, 13 buah ini bisa mengurangi risiko depresi di usia tua
- Tak banyak yang tahu 6 makanan ini dapat menjaga kesehatan mental lebih baik
- Remaja mental buruk berisiko stroke 3 kali lipat, kenali 7 kebiasaan yang merusak kesehatan mental
- Jangan terbalik, ini perbedaan serangan dan gagal jantung disertai cara mencegahnya
- Sering disepelekan, ini 8 tanda diabetes di usia muda yang wajib diperhatikan
- [KUIS] Tes usus kotor lewat 7 pertanyaan: Kenali gejalanya dan dapatkan rekomendasi makanan sehat