Brilio.net - Thalasemia merupakan penyakit bawaan yang ditandai dengan adanya kelainan pembentukan struktur protein pada hemoglobin darah. Di mana hemoglobin darah berfungsi untuk mengikat dan mengedarkan oksigen ke seluruh tubuh. Apabila proses pembentukan hemoglobin ini mengalami gangguan maka fungsi organ tubuh pun akan terganggu.

Gejala thalasemia seringkali tidak disadari karena menyerupai anemia biasa, seperti mudah lelah, pucat, dan pertumbuhan terhambat. Pemeriksaan darah rutin dan tes genetik diperlukan untuk memastikan diagnosis thalasemia secara akurat. Edukasi masyarakat tentang pentingnya skrining pranikah dan kehamilan menjadi langkah penting dalam upaya pencegahan kelahiran bayi dengan thalasemia.

Oleh karena itu, deteksi dini menjadi kunci utama memutus rantai penyebaran thalasemia, mengingat kondisi ini dapat diwariskan dari orangtua ke anak. Mengenali ciri-ciri thalasemia sejak awal memungkinkan penanganan lebih cepat dan efektif, sehingga kualitas hidup penderita dapat ditingkatkan.

Supaya lebih memahami apa itu thalasemia dan upaya pencegahannya, yuk simak ulasan lengkap di bawah ini! Brilio.net sadur dari berbagai sumber, Sabtu (10/8)

Penyebab dan gejala thalasemia.

foto: freepik.com

Menyadur dari laman RSUD Sleman, thalasemia disebabkan oleh mutasi genetik yang mengganggu protein rantai globin dalam hemoglobin. Bisa dibilang, kondisi ini diwariskan oleh orang tua yang membawa gen yang tidak normal. Adapun gejala thalasemia yang umumnya dialami si penderita, meliputi:

1. Kelelahan dan lemah

2. Kehilangan nafsu makan

3. Pertumbuhan terhambat pada anak-anak

4. Kulit pucat dan membiru

5. Detak jantung yang cepat

6. Pembesaran organ seperti hati dan limpa

7. Sering mengalami infeksi

8. Tulang rapuh (pada beberapa kasus)

Ciri-ciri thalasemia.

foto: freepik.com

1. Anemia kronis

Thalasemia menyebabkan anemia yang parah. Penderita mengalami kekurangan sel darah merah yang sehat, akibatnya rendahnya kadar hemoglobin. Gejala yang muncul termasuk kelelahan ekstrem, merasa lemas, kulit pucat, dan sesak napas terutama saat beraktivitas. Penelitian yang dipublikasikan dalam Blood Reviews pada 2021 menunjukkan bahwa 95% penderita thalasemia mayor mengalami anemia berat dengan kadar hemoglobin di bawah 7 g/dL tanpa transfusi rutin.

2. Pertumbuhan terhambat

Anak-anak dengan thalasemia sering mengalami pertumbuhan yang lebih lambat dibandingkan anak seusianya. Hal ini disebabkan oleh kurangnya oksigen yang diedarkan ke seluruh tubuh akibat anemia, serta penumpukan zat besi yang mengganggu fungsi organ.

3. Pembesaran organ limpa

Thalasemia dapat menyebabkan pembesaran hati (hepatomegali) dan limpa (splenomegali). Organ-organ ini membesar karena bekerja lebih keras untuk memproduksi sel darah merah serta menghancurkan sel-sel yang rusak. Menurut riset Haematologica pada 2022 menunjukkan bahwa sekitar 80% penderita thalasemia mayor mengalami splenomegali pada usia 5 tahun jika tidak mendapat transfusi darah rutin.

4. Perubahan struktur wajah

Penderita thalasemia, terutama tipe beta mayor, sering mengalami perubahan struktur tulang wajah yang disebut "facies Cooley". Ciri-cirinya meliputi tulang pipi yang menonjol, hidung yang pesek, dan gigi yang tidak teratur.

5. Masalah pertumbuhan seksual

Thalasemia dapat menyebabkan keterlambatan pubertas hingga masalah pertumbuhan seksual. Hal ini terkait dengan penumpukan zat besi di kelenjar endokrin, terutama kelenjar hipofisis.

Cara mengatasi penyakit thalasemia.

foto: freepik.com

1. Transfusi darah rutin

Penderita thalasemia biasanya rutin melakukan transfusi darah, terutama tipe mayor. Tujuannya adalah mempertahankan kadar hemoglobin pada level yang aman, biasanya di atas 9-10 g/dL. Frekuensi transfusi bervariasi, umumnya setiap 2-4 minggu.

Pada penelitian yang dipublikasikan dalam American Medicine Journal 2020 menunjukkan bahwa transfusi darah rutin dapat meningkatkan harapan hidup penderita thalasemia mayor hingga 50 tahun atau lebih, dibandingkan dengan hanya 5-10 tahun tanpa transfusi.

2. Terapi kelasi besi

Transfusi darah rutin menyebabkan penumpukan zat besi dalam tubuh. Terapi kelasi besi diperlukan untuk mengeluarkan kelebihan zat besi ini. Obat-obatan seperti deferasirox, deferiprone, atau deferoxamine digunakan untuk tujuan ini.

Studi yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine pada 2022 menunjukkan bahwa kombinasi terapi kelasi besi dapat mengurangi komplikasi jantung dan hati hingga 70% pada penderita thalasemia mayor.

3. Transplantasi sumsum tulang

Langkah selanjutnya yang bisa dilakukan untuk mengobati thalasemia yakni dengan transplantasi sumsum tulang atau sel induk hematopoietik.

Langkah ini merupakan satu-satunya pengobatan yang berpotensi menyembuhkan thalasemia saat ini. Prosedur ini paling efektif jika dilakukan pada usia muda dan dengan donor yang cocok, biasanya saudara kandung.

4. Manajemen komplikasi

Thalasemia dapat menyebabkan berbagai komplikasi seperti masalah jantung, hati, dan tulang. Manajemen komprehensif melibatkan pemantauan rutin serta pengobatan spesifik untuk setiap komplikasi.

Misalnya, terapi hormon untuk masalah pertumbuhan dan pubertas, atau pengobatan osteoporosis untuk masalah tulang.

Upaya putus rantai thalasemia.

foto: freepik.com

1. Skrining genetik pranikah dan prahamil

Langkah ini merupakan upaya pencegahan paling efektif untuk memutus rantai thalasemia. Pasangan yang berencana menikah atau memiliki anak dianjurkan untuk menjalani tes genetik.

Skrining ini dapat mengidentifikasi apakah seseorang membawa gen thalasemia. Jika kedua calon orangtua ternyata pembawa gen, mereka dapat mempertimbangkan opsi seperti adopsi atau teknologi reproduksi berbantu untuk menghindari risiko melahirkan anak dengan thalasemia mayor.

2. Diagnosis prenatal dan konseling genetik.

Bagi pasangan yang sudah hamil, diagnosis prenatal dapat dilakukan untuk mendeteksi thalasemia pada janin. Metode yang umum digunakan adalah amniosentesis atau pengambilan sampel vili korion (CVS).

Hasil diagnosis ini memungkinkan orangtua untuk mempersiapkan diri serta mendapatkan konseling genetik. Konseling genetik memberikan informasi mengenai risiko, prognosis, hingga pilihan penanganan yang tersedia.

Studi yang diterbitkan dalam Journal of Community Genetics 2019 menunjukkan bahwa konseling genetik yang komprehensif dapat meningkatkan pemahaman dan kesiapan orangtua dalam menghadapi kemungkinan memiliki anak dengan thalasemia.

3. Edukasi masyarakat

Peningkatan kesadaran masyarakat tentang thalasemia sangat penting dalam upaya memutus rantai penyakit ini. Program edukasi dapat mencakup penyuluhan di sekolah, kampanye media, dan pelatihan untuk tenaga kesehatan.

Fokus edukasi meliputi pemahaman tentang penyakit thalasemia, pentingnya skrining, dan opsi penanganan yang tersedia. Sebuah penelitian yang dipublikasikan dalam Public Health Genomics pada 2021 menunjukkan bahwa program edukasi masyarakat yang intensif di Thailand berhasil meningkatkan partisipasi dalam skrining thalasemia hingga 40% dalam kurun waktu 5 tahun.

4. Pengembangan terapi gen

Meskipun masih dalam tahap penelitian, terapi gen menjanjikan harapan baru dalam upaya memutus rantai thalasemia. Teknik ini bertujuan untuk memperbaiki atau mengganti gen yang rusak sehingga tubuh dapat memproduksi hemoglobin normal.

Uji klinis yang dilaporkan dalam New England Journal of Medicine pada 2022 menunjukkan hasil yang menjanjikan, di mana beberapa pasien thalasemia beta mayor berhasil mencapai kemandirian transfusi setelah menjalani terapi gen. Meskipun masih memerlukan penelitian lebih lanjut, pengembangan terapi gen membuka peluang untuk mengatasi thalasemia pada tingkat genetik.

5. Peningkatan akses terhadap perawatan komprehensif.

Memutus rantai thalasemia juga melibatkan peningkatan kualitas hidup penderita melalui perawatan yang optimal. Hal ini mencakup akses terhadap transfusi darah berkualitas, terapi kelasi besi, hingga perawatan multidisiplin.

Oleh sebab itu, pemerintah dan lembaga kesehatan perlu bekerja sama untuk memastikan ketersediaan layanan ini, terutama di daerah dengan prevalensi thalasemia tinggi.