Brilio.net - Seorang siswi SD berusia 9 tahun di Kelurahan Mojo, Surabaya, mengalami nasib yang memilukan. Ia divonis mengidap HIV stadium akhir akibat tertular dari sang ibu. Berat badannya turun drastis dari 21 kilogram menjadi 12,4 kilogram, dan virus itu terus menggerogoti tubuhnya selama beberapa tahun hingga mencapai kondisi yang sangat kritis.

Penyakit HIV yang diderita gadis kecil ini sebenarnya sudah ada sejak ia merawat sang ibu yang juga terinfeksi HIV. Penyakit ini menyerang sistem kekebalan tubuh, membuat penderitanya rentan terhadap infeksi dan penyakit lain. Kasus ini menggugah kesadaran publik tentang pentingnya mengenali gejala HIV dan cara memeriksanya sejak dini, terutama pada anak-anak.

Mengetahui gejala HIV sejak dini bisa sangat membantu dalam penanganan dan pengobatan yang lebih cepat. Sayangnya, banyak orang masih belum menyadari tanda-tanda awal HIV, terutama ketika ditularkan dari ibu ke anak. Jadi, bagaimana cara mengenali gejala dan memeriksa HIV sejak dini?

Nah, berikut rangkuman lengkapnya seperti dihimpun brilio.net dari berbagai sumber pada Rabu (23/10).

Apa itu HIV dan bagaimana penularannya?

Siswi SD usia 9 tahun tertular HIV © 2024 brilio.net

foto: freepik.com

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, terutama sel CD4 yang berperan penting dalam melawan infeksi. Virus ini dapat ditularkan melalui cairan tubuh seperti darah, cairan vagina, air mani, dan air susu ibu (ASI). Salah satu cara penularan yang umum terjadi adalah dari ibu ke anak, baik selama kehamilan, persalinan, atau menyusui.

Penularan dari ibu ke anak, seperti yang terjadi pada kasus siswi SD berinisial F, sangat mungkin terjadi jika ibu hamil yang positif HIV tidak mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) selama masa kehamilan. Pengobatan ini penting untuk menekan jumlah virus dalam tubuh ibu, sehingga risiko penularan ke anak bisa dikurangi.

Menurut data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), tanpa intervensi medis, risiko penularan HIV dari ibu ke anak bisa mencapai 15-45 persen. Namun, dengan pemberian ARV, angka tersebut bisa ditekan hingga kurang dari 5 persen. Oleh karena itu, pengobatan ARV dan pemeriksaan rutin selama kehamilan sangat penting.

Gejala HIV pada anak-anak.

Mengenali gejala HIV pada anak-anak bisa menjadi tantangan, karena sering kali gejalanya tidak spesifik dan mirip dengan penyakit lain. Namun, beberapa tanda umum dapat dijadikan indikator awal bahwa seorang anak mungkin terinfeksi HIV. Gejala-gejala ini antara lain:

1. Pertumbuhan yang terhambat.

Anak yang terinfeksi HIV sering mengalami gangguan pertumbuhan. Mereka mungkin mengalami penurunan berat badan yang signifikan atau kesulitan mencapai berat badan yang sesuai dengan usia mereka. Pada kasus F, berat badannya menurun drastis hingga hanya 12,4 kilogram.

2. Infeksi yang berulang.

Anak dengan HIV rentan terhadap infeksi yang berulang seperti infeksi paru-paru (pneumonia), diare berkepanjangan, atau infeksi kulit. Sistem kekebalan tubuh yang lemah membuat tubuh sulit melawan penyakit-penyakit tersebut.

3. Pembesaran kelenjar getah bening.

Pembengkakan kelenjar getah bening di leher, ketiak, atau selangkangan bisa menjadi salah satu tanda bahwa tubuh anak sedang berusaha melawan infeksi. Jika terjadi tanpa penyebab yang jelas, ini bisa menjadi salah satu indikasi HIV.

4. Demam berkepanjangan.

Anak-anak yang terinfeksi HIV sering mengalami demam yang berlangsung lama tanpa penyebab yang jelas. Demam ini bisa datang dan pergi, atau berlangsung dalam waktu yang cukup lama.

Bagaimana cara cek HIV sejak dini?

Siswi SD usia 9 tahun tertular HIV © 2024 brilio.net

foto: freepik.com

Deteksi dini HIV sangat penting, terutama pada anak-anak yang lahir dari ibu positif HIV. Ada beberapa metode pemeriksaan HIV yang bisa dilakukan untuk mengetahui apakah seorang anak terinfeksi atau tidak. Berikut adalah beberapa langkah untuk memeriksa HIV sejak dini:

1. Tes HIV untuk ibu hamil.

Pemeriksaan HIV pada ibu hamil sebaiknya dilakukan sejak awal kehamilan. Tes ini biasanya dilakukan sebagai bagian dari skrining antenatal untuk mendeteksi berbagai penyakit, termasuk HIV. Jika ibu positif HIV, maka pengobatan ARV bisa segera diberikan untuk mengurangi risiko penularan ke janin.

2. Tes HIV pada bayi baru lahir.

Jika seorang ibu diketahui positif HIV, bayinya harus segera menjalani pemeriksaan HIV setelah lahir. Tes yang digunakan untuk bayi adalah tes PCR (Polymerase Chain Reaction) yang bisa mendeteksi adanya materi genetik virus dalam darah. Tes ini bisa dilakukan dalam beberapa tahap, biasanya pada minggu-minggu pertama setelah kelahiran.

3. Tes antibodi HIV.

Untuk anak-anak yang lebih besar, tes antibodi HIV bisa dilakukan. Tes ini mendeteksi keberadaan antibodi yang dihasilkan oleh tubuh untuk melawan HIV. Tes ini bisa dilakukan dengan sampel darah atau cairan mulut, dan hasilnya bisa diketahui dalam waktu singkat.

4. Tes CD4.

Tes CD4 digunakan untuk mengukur jumlah sel CD4 dalam darah. Tes ini penting untuk mengetahui seberapa kuat sistem kekebalan tubuh dalam melawan infeksi. Semakin rendah jumlah CD4, semakin lemah sistem kekebalan tubuh, yang menandakan bahwa HIV telah merusak tubuh secara signifikan.

Pentingnya pengobatan HIV sejak dini.

Siswi SD usia 9 tahun tertular HIV © 2024 brilio.net

foto: freepik.com

Jika hasil tes HIV menunjukkan positif, pengobatan harus segera dimulai untuk menekan perkembangan virus dalam tubuh. Pengobatan dengan ARV adalah langkah paling efektif untuk mengendalikan HIV. Menurut CDC (Centers for Disease Control and Prevention), ARV dapat memperlambat perkembangan penyakit, memperpanjang harapan hidup, dan mencegah penularan lebih lanjut.

Anak-anak yang menerima pengobatan ARV sejak dini memiliki peluang yang lebih baik untuk tumbuh dan berkembang dengan sehat. Pengobatan ini harus dilakukan secara konsisten, dan kontrol kesehatan secara rutin diperlukan untuk memastikan efektivitas pengobatan.

Stigma dan kesadaran masyarakat terhadap HIV.

Kasus seperti yang dialami siswi SD F sering kali menghadirkan stigma di masyarakat. Padahal, dengan pengobatan yang tepat, anak-anak yang terinfeksi HIV bisa hidup normal dan produktif. Kesadaran masyarakat mengenai HIV dan cara penularannya perlu ditingkatkan untuk mengurangi stigma dan diskriminasi terhadap mereka yang terinfeksi.

Edukasi tentang HIV harus dimulai sejak dini, baik di sekolah maupun lingkungan keluarga. Dengan pemahaman yang lebih baik, diharapkan masyarakat bisa lebih peduli dan mendukung mereka yang terinfeksi HIV, terutama anak-anak yang tidak bersalah dalam penularan virus ini.