Brilio.net - Pendarahan otak (brain hemorrhage) terjadi ketika pembuluh darah di otak pecah, menyebabkan aliran darah mengalir ke jaringan otak, yang dapat mengakibatkan kerusakan permanen. Berbagai penyebab, mulai dari hipertensi hingga kelainan pembuluh darah, berkontribusi terhadap risiko pendarahan otak, bahkan tanpa adanya cedera fisik.

Apabila pendarahan otak tidak segera ditangani dapat menyebabkan gangguan komplikasi serius, seperti gangguan fungsi kognitif, pembengkakan otak hingga kelumpuhan. Ada beberapa jenis pendarahan otak seperti pendarahan di jaringan otak (intraserebral), pendarahan di bawah membran (subarachnoid), pendarahan yang terjadi di lapisan selaput pelindung otak (subdural), hingga epidural atau pendarahan yang terjadi antara lapisan tulang tengkorak dan lapisan pelindung otak luar.

Kasus-kasus pendarahan otak sendiri kerap terjadi di Indonesia, bahkan kalangan selebriti seperti Tukul Arwana, Indra Bekti, Tio Pakusadewo, Nani Widjaya, hingga Chacha Sherly. Ada berbagai faktor yang memicu terjadi pendarahan otak, misalnya terjadinya cedera kepala maupun hipertensi.

Mengingat pendarahan otak cukup berbahaya dan bahkan bisa mengintai siapa saja, pentingnya untuk mengetahui penyebab serta cara mencegahnya agar tidak terjadi pada kamu maupun keluarga tercinta. Lantas apa saja penyebabnya? yuk simak selengkapnya di bawah ini, brilio.net sadur dari berbagai sumber, Rabu (2/10).

Penyebab pendarahan otak

penyebab pendarahan otak dan cara mencegahnya © 2024 freepik.com

penyebab pendarahan otak dan cara mencegahnya
freepik.com

1. Hipertensi (tekanan darah tinggi)

Hipertensi adalah salah satu penyebab utama pendarahan otak, terutama pendarahan intraserebral. Tekanan darah yang tinggi secara terus-menerus dapat melemahkan dinding pembuluh darah di otak, menyebabkannya rentan pecah atau bocor.

Sebuah studi besar yang dipublikasikan dalam jurnal Lancet Neurology pada 2019 menganalisis data dari lebih dari 1,5 juta orang dan menemukan bahwa risiko pendarahan otak meningkat secara signifikan seiring dengan peningkatan tekanan darah. Penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kenaikan 20 mmHg dalam tekanan darah sistolik dikaitkan dengan peningkatan risiko pendarahan intraserebral sebesar 44%.

American Heart Association melaporkan bahwa sekitar 45% dari semua kasus pendarahan intraserebral disebabkan oleh hipertensi. Pengendalian tekanan darah yang efektif melalui obat-obatan serta perubahan gaya hidup telah terbukti mengurangi risiko pendarahan otak secara signifikan.

2. Aneurisma serebral

Aneurisma serebral merupakan pembengkakan atau penonjolan pada dinding pembuluh darah di otak. Jika pecah, aneurisma dapat menyebabkan pendarahan subaraknoid, yaitu pendarahan di ruang antara otak dan jaringan yang menutupinya.

Menurut sebuah studi yang diterbitkan dalam New England Journal of Medicine, sekitar 2-3% populasi umum memiliki aneurisma serebral yang tidak pecah. Namun, risiko pecahnya aneurisma ini sekitar 1% per tahun, dengan konsekuensi yang seringkali fatal.

Faktor risiko untuk perkembangan maupun pecahnya aneurisma termasuk merokok, hipertensi, konsumsi alkohol berlebihan, hingga riwayat keluarga. Sebuah meta-analisis yang dipublikasikan dalam Lancet Neurology menunjukkan bahwa individu dengan riwayat keluarga aneurisma serebral memiliki risiko empat kali lebih tinggi untuk mengalami pendarahan subaraknoid dibandingkan populasi umum.

3. Trauma kepala

Cedera kepala akibat kecelakaan, jatuh, atau kekerasan dapat menyebabkan pendarahan otak. Jenis pendarahan yang paling umum terkait trauma yakni hematoma epidural (pendarahan antara tulang tengkorak dan lapisan terluar selaput otak) serta hematoma subdural (pendarahan di bawah lapisan terluar selaput otak).

Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melaporkan bahwa sekitar 1,5 juta orang di Amerika Serikat mengalami cedera otak traumatis setiap tahunnya, dengan sekitar 10-15% kasus melibatkan pendarahan intrakranial. Sedangkan di Indonesia sendiri, angka kematian akibat cedera kepala cukup banyak setiap tahunnya, diperkirakan mencapai 500.000.

Sebuah studi besar yang diterbitkan dalam Journal of Neurosurgery menganalisis lebih dari 1 juta kasus trauma kepala lalu menemukan bahwa risiko pendarahan intrakranial meningkat secara signifikan pada pasien yang lebih tua, pasien yang menggunakan obat pengencer darah, serta mereka yang mengalami trauma kepala yang lebih parah.

4. Malformasi arteriovenosa (AVM)

Selanjutnya, pendarahan otak diakibatkan oleh malformasi arteriovenosa yakni kelainan bawaan pada pembuluh darah di otak di mana arteri dan vena terhubung secara langsung tanpa adanya kapiler normal. Kondisi ini dapat menyebabkan pendarahan otak ketika pembuluh darah yang abnormal ini pecah.

Menurut American Stroke Association, AVM terjadi pada sekitar 1 dari 200-500 orang. Sebuah studi jangka panjang yang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine menemukan bahwa risiko pendarahan pada pasien dengan AVM yang tidak diobati adalah sekitar 2-4% per tahun.

Penelitian lain yang diterbitkan dalam Stroke menunjukkan bahwa faktor-faktor seperti ukuran AVM, lokasi di otak, maupun pola drainase vena dapat mempengaruhi risiko pendarahan. AVM yang lebih kecil serta yang terletak di daerah otak yang lebih dalam cenderung memiliki risiko pendarahan yang lebih tinggi.

5. Penggunaan obat-obatan antikoagulan dan antiplatelet

Obat-obatan pengencer darah, seperti warfarin, heparin, dan aspirin, yang digunakan untuk mencegah pembekuan darah, dapat meningkatkan risiko pendarahan otak, terutama jika dosis tidak dikelola dengan baik atau jika terjadi interaksi dengan obat lain.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam JAMA Internal Medicine menganalisis data dari lebih dari 30.000 pasien lalu menemukan bahwa penggunaan warfarin dikaitkan dengan peningkatan risiko pendarahan intraserebral sebesar 1,8 kali lipat. Risiko ini bahkan lebih tinggi pada pasien lansia dan mereka dengan kontrol INR (International Normalized Ratio) yang buruk.

Penelitian lain yang diterbitkan dalam Stroke menunjukkan bahwa penggunaan aspirin dosis rendah meningkatkan risiko pendarahan intraserebral sebesar 1,3 kali lipat. Namun, manfaat aspirin dalam mencegah serangan jantung serta stroke iskemik pada banyak pasien masih dianggap lebih besar daripada risikonya.

6. Tumor otak

Tumor otak, baik primer (berasal dari otak) maupun metastasis (berasal dari kanker di bagian tubuh lain), dapat menyebabkan pendarahan otak. Tumor dapat merusak pembuluh darah di sekitarnya atau menyebabkan pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh dan rentan pecah.

American Brain Tumor Association melaporkan bahwa sekitar 80.000 kasus tumor otak primer didiagnosis setiap tahun di Amerika Serikat. Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Journal of Neurosurgery menemukan bahwa sekitar 5-10% dari semua tumor otak primer mengalami pendarahan.

Risiko pendarahan bervariasi tergantung pada jenis tumor. Misalnya, penelitian yang diterbitkan dalam Neuro-Oncology menunjukkan bahwa glioblastoma, jenis tumor otak yang paling agresif, memiliki tingkat pendarahan sekitar 5-8%, sementara metastasis dari melanoma atau kanker ginjal memiliki risiko pendarahan yang jauh lebih tinggi, mencapai 20-30%.

7. Penggunaan narkoba

Penggunaan narkoba, terutama stimulan seperti kokain dan amfetamin, dapat menyebabkan pendarahan otak dengan meningkatkan tekanan darah secara drastis serta merusak pembuluh darah otak.

Sebuah studi yang dipublikasikan dalam Stroke menemukan bahwa penggunaan kokain meningkatkan risiko stroke hemoragik (pendarahan otak) hingga 6,5 kali lipat dalam 24 jam setelah penggunaan. Risiko ini bahkan lebih tinggi pada pengguna yang juga memiliki aneurisma atau malformasi arteriovenosa yang tidak terdiagnosis.

Penelitian lain yang diterbitkan dalam Journal of Neurology, Neurosurgery & Psychiatry menunjukkan bahwa penggunaan amfetamin jangka panjang dapat menyebabkan perubahan struktural pada pembuluh darah otak, meningkatkan risiko pendarahan otak bahkan setelah penggunaan dihentikan.

8. Gangguan pembekuan darah

Beberapa kondisi medis dapat mengganggu kemampuan darah untuk membeku dengan normal, meningkatkan risiko pendarahan otak. Contohnya termasuk hemofilia, trombositopenia (jumlah trombosit rendah), serta penyakit hati yang parah.

Melansir studi dari Blood, jurnal American Society of Hematology, menemukan bahwa pasien dengan hemofilia memiliki risiko pendarahan intrakranial yang 20-50 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Risiko ini meningkat seiring bertambahnya usia dan tingkat keparahan hemofilia.

Penelitian lain yang diterbitkan dalam Journal of Thrombosis and Haemostasis menunjukkan bahwa pasien dengan sirosis hati memiliki risiko pendarahan intraserebral yang 1,5-2 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum, terutama karena gangguan produksi faktor pembekuan oleh hati yang rusak.

Cara mencegah pendarahan otak.

penyebab pendarahan otak dan cara mencegahnya © 2024 freepik.com

penyebab pendarahan otak dan cara mencegahnya
freepik.com/kjpargeter

1. kontrol tekanan darah

Menjaga tekanan darah dalam rentang normal menjadi salah satu langkah paling penting untuk mencegah pendarahan otak. Menurunkan tekanan darah sistolik di bawah 120 mmHg dapat mengurangi risiko penyakit kardiovaskular, termasuk stroke, sebesar 25% dibandingkan dengan target standar 140 mmHg. Cara-cara untuk mengendalikan tekanan darah meliputi:

- Mengonsumsi diet rendah garam (DASH diet)
- Berolahraga secara teratur (minimal 150 menit aktivitas aerobik intensitas sedang per minggu)
- Mengurangi konsumsi alkohol
- Mengelola stres
- Mengonsumsi obat antihipertensi sesuai resep dokter

2. Berhenti merokok

Merokok meningkatkan risiko pendarahan otak dengan merusak pembuluh darah dan meningkatkan tekanan darah. Penelitian dalam Stroke menunjukkan bahwa perokok memiliki risiko stroke hemoragik 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan non-perokok. Namun, risiko ini menurun secara signifikan setelah berhenti merokok, dengan manfaat yang terlihat dalam waktu 2-4 tahun setelah berhenti.

3. Batasi konsumsi alkohol

Konsumsi alkohol berlebihan dapat meningkatkan tekanan darah sekaligus risiko pendarahan otak.

4. Jaga berat badan ideal

Studi yang diterbitkan dalam Neurology menemukan bahwa individu dengan indeks massa tubuh (IMT) di atas 30 memiliki risiko stroke hemoragik 1,3 kali lebih tinggi dibandingkan mereka dengan IMT normal. Penurunan berat badan melalui diet seimbang dan olahraga teratur dapat membantu mengurangi risiko ini.

5. Kelola diabetes dengan baik

Berdasarkan riset dari Diabetes Care menunjukkan bahwa kontrol gula darah yang ketat (HbA1c < 7%) dapat mengurangi risiko komplikasi mikrovaskular, termasuk kerusakan pembuluh darah otak, hingga 25%.

6. Gunakan obat pengencer darah dengan hati-hati

Jika kamu menggunakan obat pengencer darah seperti warfarin atau aspirin, pastikan untuk mengikuti petunjuk dokter dengan cermat dan melakukan pemeriksaan rutin. Manajemen antikoagulasi yang baik dapat mengurangi risiko pendarahan intraserebral hingga 70% pada pasien yang menggunakan warfarin.

7. Lindungi kepala dari cedera

Gunakan helm saat bersepeda atau berkendara motor, lalu pastikan rumah kamu aman dari risiko jatuh, terutama untuk lansia.

8. Skrining untuk aneurisma pada individu berisiko tinggi

Jika kamu memiliki riwayat keluarga aneurisma serebral atau penyakit ginjal polikistik, pertimbangkan untuk melakukan skrining. Sebuah studi dalam Lancet Neurology menemukan bahwa skrining hingga pengobatan aneurisma yang tidak pecah pada individu berisiko tinggi dapat mengurangi risiko pendarahan subaraknoid hingga 80%.

9. Kelola stres

Penelitian yang dipublikasikan dalam Stroke menunjukkan bahwa individu dengan tingkat stres tinggi memiliki risiko stroke 33% lebih tinggi dibandingkan mereka dengan tingkat stres rendah. Teknik manajemen stres seperti meditasi, yoga, atau terapi kognitif-perilaku dapat membantu mengurangi risiko ini.

10. Makan diet sehat

Konsumsi diet yang kaya buah, sayuran, biji-bijian utuh, dan rendah lemak jenuh dapat membantu mencegah pendarahan otak. Studi PREDIMED yang dipublikasikan dalam New England Journal of Medicine menunjukkan bahwa diet Mediterania yang diperkaya dengan minyak zaitun extra virgin atau kacang-kacangan dapat mengurangi risiko stroke hingga 30%.