Brilio.net - Para ilmuwan telah menemukan jawaban atas pertanyaan apa yang menyebabkan seseorang tidak bahagia. Kelelahan, stres, serta kesendirian memang menjadi penyebab ketidakbahagiaan, namun hal lain yang mungkin seringkali dilakukan banyak orang juga mendorong wajah untuk tertekuk.
Dikutip brilio.net dari stylist, Selasa (24/11), berikut ini adalah 10 penyebab seseorang menjadi tidak bahagia berdasarkan sains:
1. Terlalu aktif di Facebook
Penelitian yang dilakukan oleh Ethan Kross dkk dari Universitas Michigan yang berjudul "Penggunaan Facebook Memprediksi Penurunan Kesejahteraan Subjektif pada Remaja" memberitahukan korelasi positif antara waktu yang dihabiskan untuk bersosial media dengan perasaan ketidakpuasan, kesendirian, dan isolasi. Peneliti mengirimi pesan singkat kepada 82 penduduk Michigan 5 kali per hari selama 2 pekan. Mereka menemukan bahwa masyarakat pengguna Facebook memiliki perasaan bahagia yang kurang.
Penelitian lain yang dilakukan oleh Muise A, Christofides E dan Desmarais S juga menemukan jawaban serupa. Facebook membuat seseorang mudah cemburu dan curiga dalam hubungan lelaki-perempuan.
Lisa Kelly, psikoterapis asal Toronto, Kanada, menyebutkan bahwa orang-orang kehilangan kemampuan menjadi jujur kepada sesama tentang perasaan, ketidakamanan, atau kebutuhan.
"Mereka sering tidak mengetahui bagaimana menjaga kejujuran dalam hubungan satu sama lain (di Facebook)," kata Lisa.
2. Memiliki uang terlalu banyak
Survey World Health Organization (WHO) pada 2010 terhadap 89.037 orang di 18 negara menemukan bahwa depresi lebih banyak dialami oleh mereka yang memiliki penghasilan lebih tinggi. Prancis merupakan negara yang masyarakat depresinya tertinggi yaitu sebanyak 21%, sedangkan Tiongkok dengan 6,5% merupakan negara yang masyarakat depresinya paling sedikit.
Belum jelas mengapa negara lebih kaya menyebabkan depresi lebih tinggi. Peneliti memperkirakan penyebabnya adalah ketidakmerataan kekayaan yang lebih besar. Namun peneliti lain mengindikasikan bahwa penyebab depresi itu adalah keinginan akan kekayaan dan harta benda terkait dengan kebutuhan untuk menutupi ketidakpuasan batin. Berjuang terus-menerus untuk kekayaan dan harta benda yang lebih lagi mendorong seseorang menjadi tidak bahagia.
"Tidak penting seberapa upaya kita untuk menuruti keinginan, ketidakpuasan batin dan ketidakcukupan selalu terbarui, memunculkan keinginan-keinginan baru," kata dosen psikologi Leeds Beckett University, Inggris, Steve Taylor.
3. Kurang kontrol di tempat kerja
Studi dari Aarhus University menemukan hubungan antara depresi akibat tempat kerja dengan kerja berlebihan yang terlalu membebani. Lingkungan kerja dan perasaan diperlakukan tidak adil oleh atasan dapat mengubah suasana hati secara dramatis.
Peneliti melemparkan kuisioner kepada 4.500 pekerja di Denmark di bidang pendidikan, rumah sakit, keperawatan, kantoran, dll. Mereka menemukan perlakuan tidak adil mendorong peningkatan hormon kortisol yang menyebabkan seseorang tidak dapat menjalankan tugas dengan baik. Depresi lebih disebabkan oleh perangai atasan dan lingkungan kerja, bukan soal teknis kerja berlebihan.
"Ini menunjukkan bahwa risiko depresi akibat tempat kerja tidak bisa diminimalisasi dengan mengurangi kerja yang berlebihan. Saya menyarankan gaya atasan lebih mengekspresikan kebijaksanaan untuk memperlakukan karyawan lebih nyaman, juga struktur organisasi yang transparan," kata Matias Brødsgaard Grynderup, dari Department of Clinical Medicine Aarhus University.
4. Terlalu banyak opsi untuk mengambil keputusan
Penelitian tahun 2010 yang dilakukan di Jurusan Psikologi Universitas Stanford menemukan bahwa terlalu banyak opsi membuat orang menderita. Orang-orang masih terus terngiang-ngiang apakah telah mengambil keputusan terbaik.
"Pilihan dapat menghasilkan rasa ketidakpastian, depresi, dan keegoisan." tulis Profesor Hazel Rose Markus.
5. Hubungan saudara yang renggang
Penelitian di American Journal of Psychiatry tahun 2007 menemukan bahwa pria yang memiliki hubungan yang renggang dengan saudara mereka semasa kanak-kanak memiliki risiko depresi lebih besar ketika dewasa, dibandingkan dengan mereka yang bergaul lebih baik dengan saudara-saudara mereka.
Para peneliti mempercayai bahwa hubungan saudara yang baik di masa kecil bisa membantu seseorang bersosialisasi dan berhubungan dengan rekan-rekan mereka di tempat lain.
6. Melamun
Studi tahun 2010 dari Harvard University yang dilakukan oleh Matius Killingsworth dan Daniel Gilbert mengidentifikasi lamunan sebagai penyebab utama ketidakbahagiaan. Mereka menemukan bahwa 46,9 % waktu dalam suatu aktivitas yang diberikan adalah untuk melamun. Kebahagiaan dari aktivitas mereka hanya sebesar 4,6 %. Kebahagiaan bisa hadir disebabkan pikiran fokus pada apa yang sedang dikerjakan.
7. Tamatnya serial TV favorit
Emily Moyer-Guse, asisten profesor komunikasi di Ohio State University menyatakan, orang akan mengalami 'pengalaman yang sulit' ketika mengetahui serial televisi favorit mereka berakhir.
Jeffrey Andrew Weinstock, profesor Bahasa Inggris di Central Michigan University, yang mengkaji studi ini, mengatakan beberapa orang menginvestasikan banyak waktu mereka untuk menonton serial televisi.
"Maka ketika tayangan itu selesai, mereka seperti kehilangan seseorang yang penting baginya. Ini meninggalkan luka di sana untuk sementara waktu. Ini adalah bentuk berkabung," ujarnya.
8. Suka mengonsumsi makanan cepat saji
Para peneliti di University of Las Palmas de Gran Canaria dan University of Granada mempelajari kebiasaan makan dari 8.964 peserta yang belum pernah didiagnosis dengan depresi selama enam bulan. Hasilnya menunjukkan bahwa mereka yang rutin mengonsumsi makanan cepat saji (seperti hamburger, hotdog, donat dan pizza) 51% lebih mungkin untuk terkena depresi, dibandingkan dengan mereka yang makan sedikit atau yang tidak sama sekali. Semakin instan, maka semakin besar risiko depresi.
"Asupan makanan jenis ini harus dikontrol karena implikasinya terhadap kesehatan (obesitas, jantung) dan kesehatan mental," kata Almudena Sánchez-Villegas, penulis utama studi tersebut.
9. Menganalisis pilihan secara berlebihan
Joyce Ehrlinger dan timnya di Florida State University mengidentifikasi ada dua jenis pengambil keputusan. Petama, 'maximizers' yaitu orang yang terobsesi keputusan (besar ataupun kecil) dan kemudian mengkhawatirkan pilihan mereka. Kedua, 'satisfiers' yaitu orang-orang yang membuat keputusan dan kemudian dapat menikmatinya.
"Mengidentifikasi pilihan 'benar' bisa menjadi semacam tugas yang tidak pernah berakhir (untuk seorang maximizers)," ujar Ehrlinger.
10. Tinggal di dataran tinggi
Sebuah studi pada 2011 oleh petugas medis di University Hospital Case Medical Center di Cleveland, Ohio, Amerika Serikat (AS) menemukan hubungan antara tingkat bunuh diri dengan letak pemukiman yang lebih tinggi seperti Nevada, Utah, Colorado dan Montana di Amerika Serikat.
"Jika kamu mengunjungi suatu tempat dengan ketinggian antara 2.000 dan 3.000 kaki, kamu mulai melihat tingkat bunuh diri meningkat. Korelasinya sangat, sangat, dan sangat tinggi," ujar penulis studi Barry E Brenner.
Selama dua dekade penelitian (1979-1998), tim menghubungkan lokasi tinggi dengan tingkat obesitas dan tidur apnea (tidur yang mengalami kesulitan bernapas), serta hipoksia (kekurangan oksigen).
Kalau kamu gimana? Apakah kamu termasuk orang yang santai dan bahagia setiap hari?