Brilio.net - Nama kelompok musik Rupadhatu mungkin masih terasa asing di telinga penikmat musik Tanah Air. Sebenarnya grup musik ini sudah terbentuk sejak 2014 silam. Grup musik ini sangat unik.

Memadukan musik pop dan folk dengan musik etnik Nusantara. Menariknya lagi, mereka kerap meracik musik yang dipadukan dengan karya sastra seperti pada lagu Aku, sebuah proses daur ulang puisi karya penyair bohemian Chairil Anwar berjudul sama.

Lagu ini masuk dalam album mini perdana Rupadhatu bertajuk Mana yang baru saja dirilis. Dalam proyek pertamanya ini, Rupadhatu berangkat dari gagasan tentang eksistensi, kontemplasi diri, dan diskursus soal angan-angan di dunia modern.

Nah buat Sobat Brilio yang ingin tahu lebih jauh mengenai kelompok musik yang mengangkat alat musik dan nada-nada khas Indonesia dalam setiap lagu mereka, berikut faktanya.

1. Bermula pada pertengahan 2014

Rupadhatu  2020 brilio.net

Grup musik ini terbentuk pada pertengahan 2014. Berawal dari ngopi sepulang kuliah dan gitar seadanya, ditengah bimbingan skripsi yang masih luntang-lantung, saat itu Azhar Sacawiruna, Hakim Mohamad Akhsan dan Jonhny Hanjaya merasakan adanya kecocokan dalam bidang karya sastra dan musik. Mereka kemudian memutuskan membuat sebuah band dengan nama Rupadhatu.

2. Kosmologi Buddha

Rupadhatu  2020 brilio.net

Filosofi digunakannya nama Rupadhatu diambil dari tingkatan kedua dari tiga tingkatan spiritual dalam kosmologi Buddha yaitu Kamadhatu, Rupadhatu, dan Arupadhatu. Rupadhatu diisyaratkan sebagai dunia yang sudah dapat melepaskan diri dari nafsu, tetapi masih terikat oleh rupa dan bentuk.

Inilah yang menginspirasi mereka dalam meracik musik. Meskipun mereka menyadari dan menerima musik etnik sebagai genre musik yang harus dilestarikan, namun mereka masih terikat genre pop dan modern. Jalan tengahnya, mereka mencoba memadukan musik pop dan folk dengan musik etnik asli Nusantara.

3. Memadukan karya sastra

Dengan memadukan musik etnik ke dalam unsur pop dan modern, grup musik yang formasinya kini digawangi Sacawiruna (vokal, gitar, suling), Moh. Hakim (gitar, elektronik instrumen), Zajran (drum), dan Raynaldi Wahyu (perkusi), berusaha memekak telinga masyarakat lewat nada dan lirik sastra mengenai isu-isu budaya dan moral.

Dibalut dengan sederhana, unsur pop dan modern yang digunakan tidak lain bertujuan untuk menarik kembali minat masyarakat akan budaya. Grup musik ini pernah tampil di ASEAN Literary Festival 2015 yang digelar di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, pertengahan Maret 2015.

4. Musik etnik dan anak muda

Rupadhatu  2020 brilio.net

Di era post-modern, ketertarikan masyarakat Indonesia pada musik etnik asli dalam negeri, khususnya anak muda masih minim apresiasi. Paradigma mereka cenderung pesimistis, apatis, dan menganggap musik etnik Indonesia sebagai musik yang ketinggalan zaman. Padahal di mancanegara, Indonesia tidak hanya dikenal sebagai negeri kepulauan, tapi juga dikenal sebagai kesatuan Bhinneka Tunggal Ika yang kaya akan budaya dan ragam instrumen musik.

Karena itu Rupadhatu merasa perlu mengenal dan mempelajari kembali budaya asli Indonesia lewat alat musik dan nada-nada khas Indonesia. Lewat cara ini mereka berharap dapat turut membantu melestarikan dan menularkan kembali semangat budaya pada masyarakat luas. Dalam pandangan mereka, kalau bukan kita yang melestarikan budaya asli Nusantara, siapa lagi?

5. Merilis mini album perdana

Rupadhatu merilis mini album (extended play/EP) perdana bertajuk Mana yang mengeksplorasi berbagai corak bebunyian yang kental dengan ketukan-ketukan perkusif, serta lirik dialektis sederhana berbalut nada-nada pentatonik dan atmosferik.

Mini album yang berisi lima materi lagu ini (Nirmana, Ongkara, Aku, Altar, dan Tigris Sondaica) proses kreatifnya sudah diramu secara kolektif sejak 2014 silam. Melalui album mini ini juga Rupadhatu banyak meminjam terminologi dari epos nusantara untuk menangkap realita kehidupan modern, fenimena sosial-digital, dualisme duniawi, ode untuk kepunahan, dan hal metafisik.

Keseluruhan gagasan itu dituangkan dalam setiap lagu, termasuk Aku, sebuah musikalisasi puisi Chairil Anwar. Album mini ini sudah dapat didengar di sejumlah layanan streaming musik digital.

Kami mencoba mengejewantahkan energi metafisik dalam proses penjelajahan ide dan kreasi melalui medium musik dengan tema epos-epos terdahulu yang dirasa masih cukup relevan, terang Rupadhatu.